KOMPAS.com – Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menyelenggarakan Jakarta International Literary Festival (JILF) pada 20 sampai 24 Agustus 2019 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat.
JILF 2019 mengambil tema “Pagar” yang mencerminkan semakin leburnya batasan-batasan dunia. Pagar yang berfungsi sebagai pelindung sekaligus pemisah antara dunia luar dan ketenangan rumah adalah sesuatu yang harus dilintasi jika kita ingin mengenal dan dikenal oleh yang lain.
Dalam sambutannya, Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Sri Hartini mengatakan, meski nama JILF berbau internasional, tetapi perhelatan ini didedikasikan untuk pengembangan dan kemajuan di bidang sastra dan kebudayaan Indonesia pada umumnya.
Menurut dia, sastra merupakan produk peradaban yang tidak mungkin dapat dipagari dengan sekat atau batas-batas nasionalitas negara, apalagi batas administratif.
Ekosistem global
“Dalam konteks itulah maka karya sastra tidak lagi hanya menjadi milik negara atau entitas di mana karya sastra itu lahir. Ia adalah milik masyarakat yang jauh lebih luas, terlebih dalam era globalisasi saat ini,” ucap Sri Hartini pada pembukaan JILF 2019 di Jakarta, Selasa (20/8/2019).
Dia menambahkan, sastra adalah ekosistem global. Seperti tercantum dalam Pasal 4 huruf (j) UU Pemajuan Kebudayaan, disebutkan secara eksplisit bahwa tujuan kemajuan adalah untuk mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia.
Hal itu semakin menunjukkan bahwa karya sastra dapat berinteraksi dengan lingkup yang lebih luas berskala global.
Bertindak selaku kurator dalam JILF 2019 adalah Eka kurniawan, Isyana Artharini, dan Yusi Avianto Pareanom. Ada pula sejumlah pihak yang diundang, yakni 55 penulis, 26 penerbit, dan 21 komunitas sastra.
Mereka berasal dari berbagai negara, yaitu Afrika Selatan, Botswana, Filipina, India, Indonesia, Inggis, Jerman, Malaysia, Mauritius, Palestina, Singapura, Siprus, Somalia, Thailand, dan Turki.
“JILF menghadirkan puluhan sastrawan dari dalam dan luar negeri. Saya berharap mereka dapat memberikan kontribusi dan menginspirasi kita semua dalam memajukan sastra dan memajukan kebudayaan pada umumnya,” imbuh Sri Hartini.
Penyelenggaraan JILF 2019 dibagi menjadi dua program. Program Utama terdiri dari pidato kunci, simposium, bincang sastra dan penulis, malam pembacaan karya, lab ekosistem sastra, pameran sastra liar era kolonial, serta pasar hak cipta buku yang mempertemukan penerbit-penerbit internasional dan nasional.
Rangkaian kegiatan
Adapun Program Pendukung terdiri dari diskusi prafestival dan ruang sastra dan komunitas yang akan diisi oleh pentas teater, musik, dan pemutaran sinema film.
Sepanjang rangkaian festival ini, berbagai tema yang diangkat dalam delapan simposium antara lain “Lepas dari Komodifikasi”. Tema ini membahas praktik komodifikasi kesusastraan yang menjadi akar masalah atau adakah faktor lain, atau tentang karya sastra dari satu negara yang dianggap tak memenuhi kategori untuk menembus pasar internasional dan diterima dengan baik.
Simposium itu akan diisi oleh Laura Prinsloo (Indonesia), Linda Christanty (Indonesia), Shenaz Patel (Mauritius), dan Oliver Precht (Jerman).
Selain itu, ada tema “Melawan Bias” yang membahas mengenai feminin dan maskulin dalam sastra dan bagaimana menyikapi bias-bias ini. Akan hadir sebagai pembicara yaitu Bejan Matur (Turki), Zainab Priya Dala (Afrika Selatan), dan Saras Dewi (Indonesia), serta Hera Diani (Indonesia) sebagai moderator.
Adapun enam tema lain dalam simposium itu yakni “Kuratorial Tak Tampak”, “Ketidaksetaraan 4.0”, “Membaca Satu Sama Lain”, “Selatan Menatap Balik”, “Dilema Tema Umum Selatan”, dan “Perlukah Kanon Selatan”.
Berbagai kegiatan dalam JILF 2019 diadakan di Taman Ismail Marzuki ini terbuka untuk umum dan dapat dinikmati secara gratis.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/08/21/12403771/kembangkan-sastra-dan-budaya-indonesia-jilf-2019-digelar-di-tim