Perhelatan menghadirkan ilmuwan diaspora yang selama ini tersebar di berbagai negara untuk membagikan ilmu pengetahuan dan pengalaman mereka sebagai ilmuwan yang bekerja di luar negeri.
Kehadiran mereka diharapkan bisa memberikan kontribusi nyata bagi bangsa Indonesia, termasuk dalam akselerasi dan transfer keilmuan, serta pengembangan dalam penelitian yang berguna agar mendapatkan hasil bermanfaat bagi negara.
Dalam paparannya, Bagus Putra Muljadi asisten profesor Departemen Teknik Kimia dan Lingkungan, University of Nottingham mengatakan seiring dengan perkembangan zaman ilmuwan diaspora menginginkan pemerintah menghasilkan kebijakan berbasis pada bukti data dan melibatkan perguruan tinggi dalam mengembangkan teknologi.
“Kami rindu agar kebijakan negara ini bersandar pada evidence, didasari fakta. Kami ingin agar universitas-universitas di negeri ini jadi mercusuar penggerak bangsa dan jadi ujung tombak pengembangan teknologi mutakhir,” ujar Bagus dalam SCKD 2019 di Jakarta, Jumat (23/8/2019).
Perekonomian berbasis teknologi
Dia menuturkan, diaspora juga harus dilibatkan karena memiliki sumber daya mumpuni, bahkan sangat dihormati dan berpengaruh di negara tempat mereka berkarya selama bertahun-tahun.
Sebagai contoh, Hutomo Suryo Wasisto yang memimpin kelompok riset besar di Technische Universitat Braunschweig, Jerman. Ada pula Sastia Prama Putri, asisten profesor di Departemen Bioteknologi, Fakultas Teknik, Osaka University, yang berjuang di tengah dominasi ilmuwan pria di sana.
“Di sini hadir para diaspora yang sangat berpengaruh di negara masing-masing tempatnya bekerja. Mereka masih muda dan sangat dihormati,” imbuh Bagus.
Dia menjelaskan, saat ini telah terjadi perubahan dari sistem perekonomian berbasis bahan baku menjadi sistem yang berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dalam transisinya, sangat penting bagi sumber daya manusia Indonesia untuk menguasai teknologi, mengembangkan jaringan internasional, dan melakukan kolaborasi.
Menurut Bagus, simposium ini menjadi ajang untuk membangun kembali persahabatan dengan saudara-saudara di Tanah Air yang bertahun-tahun kurang terjalin baik.
“Kami merasakan kehadiran negara dalam kehidupan. Dulu gedung-gedung negara terasa dingin dan tidak terjangkau, sekarang kami sudah dikunjungi. Simposium ini bukan hanya ingar-bingar hingga larut malam, layaknya kembang api. Ini adalah upaya untuk meningkatkan iklim akademis bangsa,” jelasnya.
Dampak positif nyata
Sebelumnya, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti Ali Ghufron Mukti mengatakan, pihaknya menginginkan agar acara semacam ini tidak hanya bersifat seremonial, tetapi ada pengaruhnya secara langsung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Kita tidak ingin acara diaspora ini seperti kembang api, menyala sebentar setelah itu redup. Tapi seharusnya terencana, sistematik, berkelanjutan, dan terukur,” ucap Ali Ghufron.
Dia mengharapkan hasil dari rangkaian acara dalam simposium ini memiliki dampak positif yang bisa dirasakan secara nyata oleh masayarakat di Tanah Air.
Ali pun mengungkapkan, tercatat 172 orang diaspora yang melamar untuk mengikuti SCKD tahun ini. Namun, tidak semuanya bisa ikut karena keterbatasan dana dari pemerintah. Maka dari itu, mereka diseleksi hingga akhirnya terpilih 52 diaspora.
“Acara diaspora ini yang melamar 172 orang, tapi dievaluasi karena dana terbatas. Mereka dipilih yang punya track record bagus dan melakukan kerja sama dengan Indonesia ada dampak atau outputnya. Itu yang jadi referensi,” jelasnya.
Program beasiswa diaspora
Untuk pendaftar dari dalam negeri ada lebih dari 2.500 orang. Mereka pun diseleksi karena keterbatasan dana dan kapasitas, hingga akhirnya yang diterima hanya sekitar 700 orang.
Selain itu, diundang pula post doctoral yang dimaksudkan untuk regenerasi ilmuwan sehingga lebih dikenal masyarakat. Sebab, selama ini umumnya kebanyakan orang Indonesia hanya tahu segelintir ilmuwan, misalnya BJ Habibie.
Ali menginginkan nantinya diaspora memiliki program beasiswa untuk memberikan kesempatan kepada para ilmuwan muda bisa menjalani studi dan mengembangkan karier di luar negeri.
Dengan demikian, jumlah ilmuwan dan diaspora bekualitas dari Indonesia akan semakain banyak dan tersebar di berbagai penjuru dunia.
“Kita ingin ada program beasiswa diaspora. Kita bisa pilih berbagai universitas di dunia. Jadi agen-agen diaspora yang sudah ada memberi bimbingan, bikin koneksi, dan jaringan,” pungkasnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/08/26/17145641/ilmuwan-diaspora-kebijakan-negara-harus-berbasis-bukti-data