KOMPAS.com – Era disrupsi teknologi yang semakin maju sekarang ini memengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dunia pendidikan. Semua pihak yang terlibat, termasuk guru dan murid, diharapkan mampu mengikuti perkembangan zaman.
Mereka dihadapkan pada masa yang membutuhkan pemikiran tingkat tinggi, analitis, di luar dari rutinitas, dan tidak manual yang hanya mengikuti kebiasaan yang ada selama ini.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Totok Suprayitno, ada tiga tantangan yang harus dihadapi oleh para pelaku pendidikan saat ini.
1. Kurikulum
Ini merupakan pegangan sebagai bekal kegiatan belajar anak-anak di sekolah. Selama ini Indonesia mempunya tradisi mengganti kurikulum setiap 10 tahun, padahal perubahan dunia terjadi setiap hari.
“Harus dipikirkan caranya membentuk kurikulum yang bisa beradaptasi, ini mendisrupsi kebiasaan yang ada selama ini. Mungkin lebih baik secara bertahap sehingga polanya mengikuti perkembangan zaman,” ujar Totok Suprayitno dalam simposium internasional tentang pendidikan di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Selasa (3/9/2019).
Melalui kurikulum itu, kita ditantang untuk menyiapkan anak-anak yang bisa mempunyai pemikiran antisipatif, kritis, analitis, kreatif dalam memecahkan masalah, berinovasi, dan memiliki karakter yang bisa beradaptasi untuk hal-hal baru yang tidak terduga.
“Karakter itu akan membekali anak-anak kita agar bisa hidup dalam zaman yang penuh kompleksitas dan ketidakpastian, tapi pada saat yang sama penuh dengan kesempatan,” imbuhnya.
2. Pembelajaran
Tantangan kedua, ucap Totok, yakni mengenai pengajaran atau penyampaian. Materi pelajaran yang bisa diajarkan oleh guru dengan mudah biasanya akan mudah pula digantikan dengan teknologi.
Kalau guru mengajar hanya menyampaikan materi yang tertulis di buku, maka tidak ada bedanya dengan internet. Bahkan informasi di internet jauh lebih banyak dan kaya, di mana anak-anak sekarang sudah bisa mencarinya sendiri tanpa bantuan guru.
Menurut dia, mengubah kebiasaan mengajar bukan persoalan mudah. Selama ini segala macam hal mengenai pengajaran diatur dari pemerintah pusat.
Pengajaran seolah-olah pekerjaan manual, padahal sebenarnya penuh dengan kreativitas, inovasi. Maka dari itu, harus ada perubahan aspek di semua lini.
“Jadi tantangannya adalah perubahan paradigma mengajar. Hal yang gampang diajarkan biasanya akan gampang juga diotomasi. Biasanya guru mengajarkan yang mudah, itulah yang gampang diganti oleh mesin. Bagaimana caranya supaya tidak gampang diganti? Yang tidak dimiliki mesin adalah hati,” jelasnya.
Totok menerangkan pemerintah membuat kurikulum tahun 2013 sebagai upaya mengatasi tantangan itu. Para siswa diharapkan lebih banyak belajar sendiri secara aktif dibanding terus-menerus diajar oleh guru.
Dalam hal ini, buku memegang peranan penting untuk menunjang dan melatih anak-anak mempunyai pemikiran yang analitis, antisipatif tentang problem yang belum pernah dihadapi, dan memiliki pemikiran tingkat tinggi (higher order thinking skills/HOTS).
Selain itu, melalui buku juga anak-anak didorong untuk bisa belajar sendiri, mempunyai rasa keingintahuan yang tinggi, berpikir kreatif dan kritis, mampu memecahkan persoalan, dan terus melakukan inovasi.
“Kalau buku-buku kita hanya sekadar informasi, ini yang perlu dapat perhatian. Kebanyakan buku masih tradisional, tidak memancing anak-anak untuk ingin tahu lebih lanjut,” tutur Totok.
3. Asesmen
Tantangan ketiga, tambahnya, yakni mengenai tes atau asesmen. Saat ini pemerintah terus berusaha memperbaiki itu. Sebab, asesmen diperlukan untuk mengetahui keberhasilan suatu sistem belajar.
Asesmen yang baik adalah yang benar-benar bisa menunjukkan kemajuan dan perkembangan seorang siswa dengan jujur, tanpa dibuat-buat.
“Asesmen harus melihat diri kita apa adanya untuk mengetahui kemajuan hasil pembelajaran anak-anak dan bisa memperbaiki diri sehingga belajarnya lebih baik,” pungkasnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/09/03/15390441/3-tantangan-pendidikan-era-disrupsi-teknologi-apa-saja