KOMPAS.com – Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa bidang Manajemen Pendidikan Karakter Berbasis Budaya kepada Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Rektor UNY Sutrisna Wibawa mengatakan Sultan terpilih karena dinilai mempunyai keistimewaan dalam mengembangkan pendidikan di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang tidak lepas dari budaya.
“Sri Sultan Hamengku Buwono X telah mempromosikan pendidikan karakter secara strategis,” ucap Sutrisna Wibawa, seperti dipublikasikan laman resmi UNY, Kamis (5/9/2019).
Dia mengharapkan pemerintah daerah lain bisa mengadopsi pendidikan karakter berbasis budaya yang diterapkan DIY sebab budaya merupakan salah satu pilihan yang pas dalam menerapkan pendidikan karakter.
Perkuat toleransi
Disebutkan budaya memberikan pembelajaran mengenai keberagaman yang bisa memperkuat integrasi dan toleransi. UNY melihat Gubernur DIY sungguh-sungguh melakukan hal itu dalam kiprahnya selama ini.
Salah satu bukti yaitu adanya Perda tentang Pendidikan Berbasis Budaya di DIY. Perda tersebut berdasarkan budaya asli tanah Mataram. Budaya itu kemudian dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman, tanpa meninggalkan akar budaya.
Sementara itu, dalam orasi ilmiahnya, Sri Sultan Hamengku Buwono X menuturkan,
implementasi pengembangan karakter secara dinamis dan adaptif terhadap pesatnya perubahan belum bisa berjalan optimal.
Ada dua faktor penyebabnya. Pertama, yaitu para guru kurang terampil menyelipkan pendidikan karakter dalam pembelajaran. Maka dari itu, pendidikan karakter perlu direformulasi dan direoperasionalkan melalui transformasi budaya dan kehidupan satuan pendidikan.
Faktor kedua, yakni sekolah terlalu fokus mengejar target akademik, terutama agar siswa lulus ujian nasional. Namun di sisi lain, aspek kecakapan hidup (soft-skills) yang merupakan non-akademik kurang diajarkan.
Hal itu mengakibatkan kecakapan hidup justru diabaikan, padahal itu adalah unsur utama pendidikan karakter.
2 faktor penentu
Sri Sultan pun mengungkapkan, pendidikan karakter terdiri dari pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah, mendorong, dan memudahkan orang untuk mengembangkan kebiasaan baik.
Kebiasaan ini tumbuh dan berkembang sesuai kesadaran, keyakinan, kepekaan, dan sikap subyek didik.
“Dengan demikian, pendidikan karakter bersifat inside-out. Artinya, perilaku yang menjadi kebiasaan baik ini terjadi karena dorongan dari dalam, bukan karena paksaan dari luar,” ujar Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Ada dua faktor yang memengaruhi proses pendidikan karakter, yakni faktor bawaan (nature) dan faktor lingkungan (nurture). Faktor bawaan berada di luar jangkauan masyarakat untuk memengaruhinya.
Gubernur DIY tersebut menambahkan, pendidikan karakter merupakan daya dan upaya untuk memajukan pertumbuhan budi-pekerti (karakter), pikiran (intelektual), dan tubuh subyek didik dalam satu kesatuan utuh untuk memajukan kesempurnaan kehidupan dan penghidupannya selaras dengan dunianya.
3 pusat pendidikan
Seharusnya pendidikan karakter bisa menjadikan seorang anak terbiasa berperilaku baik sehingga dia juga terbiasa dan akan merasa bersalah jika tidak melakukannya.
Dengan begitu, kebiasaan baik yang menjadi insting otomatis membuat seorang anak merasa bersalah bila tidak melakukannya.
Menurut Sri Sultan, ada tiga pusat pendidikan, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat. Ketiganya harus saling bersinergi dan seimbang dalam merancang, melaksanakan, dan mengembangkan pendidikan.
Sebab, pendidikan bukan hanya tugas sekolah, melainkan sekolah justru hanya memberi kerangka dan melengkapi pendidikan utama di keluarga.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/09/06/15475621/kembangkan-pendidikan-karakter-sultan-hb-x-raih-doktor-honoris-uny