KOMPAS.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) memberikan apresiasi atas capaian literasi 98 persen di Indonesia. Hal tersebut diutarakan Mendikbud pada Puncak Peringatan Hari Aksara Internasional (HAI) ke-54 yang jatuh setiap tanggal 8 September, di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (07/09/2019).
Semangat memberantasan buta aksara, kata Mendikbud, telah dinyalakan Bung Karno sejak awal kemerdekaan melalui gerakan “Bantulah Usaha Pemberantasan Buta Huruf”.
“Gerakan ini membuahkan hasil, Indonesia yang pada awal kemerdekaan banyak masih buta aksara, setelah 74 tahun kemerdekaan berubah drastis menjadi bangsa dengan mayoritas melek aksara, dan semakin maju,” jelas Mendikbud dilansir dari rilis resmi Kemendikbud.
Mendikbud juga menyampaikan sata saat ini Indonesia telah mencapai angka literasi mencapai di atas 98 persen. "Padahal waktu awal kemerdekaan, saat dicanangkannya gerakan pemberantasan buta huruf, kondisi penduduk Indonesia 97 persen buta aksara,” tutur Mendikbud.
Iqra sebagai gerakan literasi
Peringatan HAI 2019 mengangkat tema “Ragam Budaya Lokal dan Literasi Masyarakat”.
“Tema ini sangat tepat yang didasarkan pada kesadaran atas keberagaman budaya yang harus dipelihara dan kita kembangkan sebagai wahana bersama dalam meningkatkan literasi masyarakat, dan mendorong pemberantasan buta aksara,” ujar Mendikbud.
Mendikbud menambahkan, gerakan literasi bukan hanya gerakan di zaman modern, melainkan sejarahnya dimulai sejak zaman rasul.
“Kalau kita berangkat dari pendekatan profetik (keagamaan), sebetulnya pemberantasan buta huruf justru bagi yang beragama Islam hukumnya wajib karena bagian dari sunnah rasul. Kenapa? Karena Nabi Muhammad pertama mendapatkan wahyu adalah untuk melakukan gerakan literasi, yaitu ketika di gua Hira diperintahkan oleh Allah melalui malaikat Jibril untuk membaca atau iqra (bahasa Arab)," ujar Menteri Muhadjir.
Mendikbud menjelaskan, "Iqra pada dasarnya adalah gerakan literasi karena itu saya kira di semua agama, tidak hanya Islam saja, wajib bagi kita untuk menuntaskan literasi ini.”
Literasi jawab persoalan
Literasi saat ini, ungkap Mendikbud, mengalami pengembangan, ada literasi digital, literasi finansial, literasi kebudayaan, kewargaan, dan lain-lain.
Sehingga menurutnya tidak cukup membina masyarakat hanya sekadar membaca, menulis, dan berhitung, melainkan harus betul-betul bisa memanfaatkan kemampuan literasi untuk menyelesaikan berbagai persoalan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Maka tugas kita sekarang adalah meningkatkan peranan pendidikan untuk menyongsong abad ke-21, menyiapkan generasi emas 2045 dalam rangka memasuki era revolusi industri 4.0,” pesan Mendikbud.
Pada kesempatan yang sama Gubernur Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah, mengatakan bahwa nilai-nilai yang sudah dimiliki secara turun-temurun tetap relevan dan harus dipegang teguh di zaman modern ini.
Literasi berbasis budaya luhur
“Sesuai dengan tema perayaan, maka izinkan saya mengenalkan salah satu nilai luhur yang lahir dari Sulawesi Selatan yaitu “sipakatau, sipakainge’ dan sipakalebbi”. Dalam bahasa Indonesia artinya saling memanusiakan, saling mengingatkan, dan saling menghargai,” ujar Gubernur Nurdin.
Nilai-nilai yang diajarkan turun temurun oleh orangtua, tutur Nurdin, adalah untuk membentuk karakter para generasinya.
Ia optimis penerapan nilai-nilai luhur para orangtua dalam kehidupan sehari-hari dapat menciptakan keharmonisan dan suasana kondusif di tengah-tengah masyarakat.
Muhadjir menyampaikan, “Alangkah baiknya jika kita gunakan teknologi sosial media untuk menyebarkan berita yang baik dan alangkah baiknya jika kita mengingatkan saudara-saudara kita yang menyebarkan berita yang isinya hoax."
"Inilah tantangan literasi pada abad ke-21 yang lebih dari kemampuan baca, tulis, dan hitung. Literasi yang berdasarkan budaya luhur saling menghargai, menyebarkan kebaikan dan kritis dalam menerima setiap informasi yang kita terima,” tutupnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/09/08/13034101/hari-aksara-internasional-angka-bebas-buta-aksara-indonesia-capai-98-persen