Salin Artikel

Terinspirasi BJ Habibie, di Usia 26 Tahun Ilmuwan Ini Bergelar Dr Ing

KOMPAS.com - Presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie, meninggal dunia di Paviliun Kartika, RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2019), akibat penyakit yang dideritanya.

Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, itu meninggal setelah menjalani perawatan intensif di rumah sakit tersebut sejak 1 September 2019.

Semasa hidupnya Habibie tercatat pernah beberapa kali menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi Kabinet Pembangunan dalam masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Karena keahliannya di bidang teknik, terutama teknologi dirgantara, Habibie juga memiliki gelar Prof Dr Ing yang disandangkan di bagian awal namanya.

Rupanya hal itu menginspirasi banyak orang untuk bisa menyandang gelar seperti beliau. Salah satunya adalah Hutomo Suryo Wasisto. Dia merupakan ilmuwan diaspora Indonesia yang hingga saat ini telah bermukim dan bekerja di Technische Universitat Braunschweig, Jerman.

Sejak kecil Hutomo bercita-cita bisa memiliki gelar seperti Prof Dr Ing BJ Habibie, ilmuwan sekaligus menteri yang populer pada era Orde Baru.

"Saya lihat di televisi dan koran, ingin ke Jerman dan punya gelar seperti BJ Habibie. Waktu itu mimpinya sudah tinggi sekali. Teman-teman bilang enggak usah mimpi tinggi-tinggi, susah, bahasa Inggris juga pas-pasan," ujar Ito, panggilan akrab Hutomo Suryo Wasisto, kepada Kompas.com, Jumat (23/8/2019) di Jakarta.

Tekadnya meraih cita-cita itu membuat Ito begitu bersemangat menempuh studi, mulai tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi.

Saat duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama di Purbalingga, dia selalu berhasil menduduki peringkat pertama di antara teman-teman seangkatannya.

"Didikan orang tua menanamkan bahwa jangan lihat kita di mana. Meski di daerah, tapi lakukan yang terbaik. Belajar keras," ucapnya.

Kemudian, masuk ke sekolah menengah atas di Yogyakarta, Ito berhasil terpilih menjadi siswa yang masuk kelas akselerasi. Hal itu membuatnya hanya menempuh studi selama dua tahun di SMA Negeri 3 Yogyakarta.

"Ada program kelas akselerasi, saya coba-coba aja dan diterima. Dari ratusan siswa, yang diterima cuma tiga orang dan sekolahnya cuma dua tahun," kata pria kelahiran 7 September 1987 itu.

Setelah lulus SMA, dia pun melanjutkan studi di Fakultas Teknik Jurusan Teknik Elektro, Universitas Gadjah Mada (UGM). Di kampus itu pun dia mampu menunjukkan menjadi lulusan yang terbaik.

Dia bisa menyelesaikan kuliah lebih kurang hanya 3,5 tahun dengan IPK 3,81 sekaligus keluar sebagai lulusan S1 tercepat dan terbaik, serta yang termuda karena lulus pada usia 20 tahun.

Kemudian, melanjutkan keinginan studi ke luar negeri dan sejalan dengan nasihat ayahnya yang menyarankan agar mencari pengalaman baru dengan merantau ke negara lain, Ito pun mencoba untuk memperoleh beasiswa. Jerman menjadi negara pilihannya, sesuai cita-citanya sejak kecil.

Dia juga mendaftar ke RWTH Aachen University, Jerman. Ini merupakan universitas untuk pengembangan teknologi melalui riset dan aplikasinya dalam dunia industri. Perguruan tinggi tersebut juga almamater BJ Habibie.

Namun, dia tidak diterima di kampus itu karena harus menyerahkan ijazah S1 sebagai syarat administratif, padahal ijazah dari UGM belum bisa langsung keluar sehingga harus menunggu selama satu semester.

Singkat cerita, Ito mendapat tawaran dari seorang profesor dari Taiwan untuk program kuliah master melalui pembiayaan dari perusahaan semikonduktor di sana. Dia memutuskan menerima tawaran itu dan akhirnya menempuh studi di Asia University, Taiwan.

Ito berhasil lulus dengan gelar Master of Engineering in Computer Science and Information Engineering. Dia pun tampil sebagai lulusan terbaik dengan meraih GPA 92 dan menyandang predikat Outstanding scholar of semiconductor engineering industry R and D master degree.

"Saya jadi lulusan terbaik, dapat master degree award. Itu kelas spesial yang menggabungkan industri dengan universitas. Masalah yang dihadapi di industri dilempar ke universitas," tuturnya.

Rupanya, tekad untuk mewujudkan impiannya ke Jerman terus membara. Akhirnya, dia diterima sebagai scientific student sekaligus research assistant di negeri beribu kota di Berlin itu.

Persisnya, Ito bisa menempuh studi dan bekerja di Technische Universitat Braunschweig. Kota itu dikenal sebagai sister city Bandung.

Waktu terus berjalan, Ito pun bisa menghasilkan begitu banyak journal paper yang mengantarnya mendapat sejumlah penghargaan, antara lain Best Young Scientist Poster Award pada 2012 di Krakow, Polandia, dari Eurosensors.

Tercatat sebanyak 45 journal paper berhasil diterbitkan sejak 2011 sampai 2019. Berbagai pencapaian itu membuat orang-orang Jerman di kampus merasa bingung bagaimana cara dia bisa melakukannya.

"Tadinya saya diremehin, dibilang itu susah, enggak berhasil. Tapi, semakin diremehin dan ditantang, saya semakin ingin membuktikan bahwa saya bisa," tegas Ito.

Hingga akhirnya, dia berhasil mewujudkan cita-cita masa kecilnya itu. Setelah menjalani studi S-3 bidang nanoteknologi di Technische Universitat Braunschweig sejak 2010, Ito dinyatakan lulus pada 24 Juni 2014.

Tak main-main, gelar yang berhak disandangnya itu adalah Doktor-Ingenieur (Dr Ing) in Electrical Engineering, Information, and Physics dengan status Summa Cum Laude with distinction/honor.

Bukan sembarangan bisa mendapat status itu. Parameter penilaiannya antara lain dilihat dari lamanya kuliah, kualitas dan pengaruh hasil riset, penghargaan yang diperoleh, dan jumlah journal paper.

"Waktu wisuda saya diumumkan jadi Phd terbaik. Umur saya waktu itu 26 tahun dan akhirnya saya meraih gelar Dr Ing seperti Habibie. Itu doktor teknik yang cuma ada di Jerman," imbuh Ito.

Atas prestasinya selama ini, akhirnya dia menyandang status German permanent residency for high-qualified person. Saat ini, Dr Ing Hutomo Suryo Wasisto menduduki posisi sebagai Research Group Leader.

Dia bertanggung jawab di Laboratory for Emerging Nanometrology (LENA) dan Institute of Semiconductor Technology (IHT), di Technische Universitat Braunschweig, Jerman.

Bisa dikatakan bahwa kedudukan itu setara dengan asisten profesor di Amerika Serikat. Artinya, selain sebagai dosen, Ito mempunyai kelompok mahasiswa sendiri dan otoritas untuk menentukan arah pengembangan riset apa yang akan dilakukan.

Tak terasa, sudah sekitar 9 tahun dia tinggal di Jerman. Status ilmuwan diaspora yang disandangnya sekarang membuatnya tidak bisa melupakan Indonesia sebagai tanah airnya. Ito ingin berkontribusi nyata.

https://edukasi.kompas.com/read/2019/09/11/20114641/terinspirasi-bj-habibie-di-usia-26-tahun-ilmuwan-ini-bergelar-dr-ing

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke