KOMPAS.com - Presiden ketiga RI, Bacharuddin Jusuf Habibie meninggal dunia. Pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936 itu meninggal akibat penyakit yang dideritanya.
Sebelum meninggal, keluarga dekat sudah berkumpul di RSPAD Gatot Soebroto, tempat Habibie dirawat. Informasi mengenai Habibie meninggal dunia disampaikan putra Habibie, Thareq Kemal.
Diketahui, Habibie telah menjalani perawatan intensif di rumah sakit sejak 1 September 2019. Putra Presiden ke-3 RI Bacharudin Jusuf Habibie, Thareq Kemal Habibie, mengonfirmasi meninggalnya sang ayah.
"Dengan sangat berat, mengucapkan, ayah saya Bacharudin Jusuf Habibie, Presiden ke-3 RI, meninggal dunia jam 18.05 WIB," ujar Thareq di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta, Rabu (11/9/2019).
Anak cerewet dan ingin tahu
Siapa tak kenal Prof. Baharuddin Jusuf Habibie Dipl Eng. , Presiden RI ke-3 periode 21 Mei 1998 – 20 Oktober 1999, dan sebelumnya pernah menjabat wakil presiden, Menteri Riset dan Teknologi serta berbagai jabatan strategis lainnya semasa pemerintahan Presiden Soeharto.
Namun, yang paling fenomenal adalah kejeniusannya dalam bidang teknologi penerbangan sehingga ia memperoleh gelar doktor di Jerman. Salah satu penemuan yang sampai sekarang dipakai oleh semua pesawat di dunia adalah apa yang disebut - "Crack Progression Theory" atau faktor Habibie.
Dilansir dari laman Sahabat Keluarga Kemendikbud, kejeniusan Habibie telah terbentuk sejak kecil. Selain karena keenceran otaknya, juga karena hasil didikan dan gemblengan ayahnya, Alwi Abdul Djalil Habibie.
Dalam buku biografi BJ Habibie berjudul “Rudy: Kisah Masa Muda Sang Visioner” yang ditulis Gina S Noer dan diterbitkan tahun 2015, Rudy, nama kecil BJ Habibie digambarkan sebagai anak yang selalu cerewet, dan ingin tahu segala sesuatu.
Sejak berusia 2-3 tahun, Rudy adalah anak yang selalu ingin tahu dan menanyakan segala sesuatu yang ditemui dan dilihat pada ayahnya. Apapun dilihat, ingin ia diketahui penyebabnya dan kenapa begini kenapa begitu.
Menjawab serius dan sederhana
Ayahnya, Alwi Abdul Djalil Habibie, adalah yang pertama ditanya Rudy, nama kecil BJ Habibie. Ayahnya pun selalu menjawab dengan serius tapi dengan cara yang sesederhana mungkin sehingga Rudy kecil juga mengerti dan paham.
Suatu contoh, suatu waktu saaat berusia 3 tahun, Rudy menanyakan, apa yang dilakukan ayahnya dengan menggabungkan kedua pohon yang berbeda atau tak sejenis. Ayahnya memang menjabat landbouwconsulent atau setara dengan Kepala Dinas Pertanian di Pare Pare, Sulawesi Selatan.
Ayahnya tidak kesel dengan pertanyaan Rudy tersebut, tapi menjawabnya dengan serius. Ia tak menjawab dengan jawaban yang sederhana, tetapi menjawabnya dengan serius tapi dengan cara yang sesederhana mungkin sehingga anak kecilpun tahu.
“Papi sedang melakukan eksperimen, jadi kita bisa menemukan jawaban dari percobaan. Nah, ini namanya setek. Batang yang di bawha itu adalah mangga yang ada di tanah kita, tapi rasanya tidak seenak mangga dari Jawa. Jadi, batang Mangga dari jawa, Papi gabungkan dengan batang yang di bawah ini”, kata ayahnya.
Rudy kembali bertanya, “Mengapa Papi gabungkan?” Jawaban ayahnya: “Agar kamu dan teman-teman bisa makan Mangga yang enak”. Lantas Rudy bertanya lagi: “Kalau gagal bagaimana?”.
Jawaban ayahnya: “ Kita cari cara lain dan pohon Mangga lain agar bisa tumbuh di sini”. Rudy pun puas atas jawaban ayahnya itu.
Itulah yang selalu dilakukan ayahnya setiap kali Rudy bertanya segala sesuatu, dijawab dengan cara sesederhana mungkin agar bisa dipahami anak kecil. Dengan cara itulah, keingintahuan Rudy terus tumbuh dan terasah sampai dewasa.
Cinta pertama Habibie: buku
Namun, ayahnya tidak setiap saat selalu ada saat Rudy ingin bertanya sesuatu.
Hasilnya, usia 4 tahun, Rudy sudah lancar membaca dan rajin melahap buku-buku yang disediakan ayahnya. Pendek kata, sejak usia empat tahun, buku menjadi cinta pertama Rudy dan membaca menjadi bagian hidupnya.
Rudy membaca buku apa saja, mulai ensiklopedia sampai buku cerita. Buku-buku karya Leonardo Da Vinci dan buku fiksi ilmiah karya Jules Verne menjadi buku-buku favorit Rudy. Rudy pun senang sekali membuka buku-buku dalam bahasa Belanda.
Setiap menemukan kata-kata yang sulit dan tak dipahami, Rudy tak segan bertanya pada orang tuanya sehingga akhirnya orang tuanya membelikan kamus Indonesia-Belanda sehingga bisa belajar sendiri.
Kegemarannya membaca ini rupanya berefek samping. Rudy jadi terus mengurung diri di kamar dan harus dipaksa untuk keluar. Rudy juga menjadi anak yang gagap karena tidak terbiasa berbicara dengan orang di luar rumah.
Literasi baca dan sains
Apa yang dilakukan Alwi pada Rudy merupakan salah salah praktek penanaman kebiasaan membaca di rumah. Yang lebih spesifik lagi, cara Alwi menjawab setiap pertanyaan anaknya itu merupakan salah satu metode penanaman literasi sains di keluarga.
Melalui cara Alwi tersebut, Rudy tumbuh menjadi manusia yang gemar mencari setiap masalah dan menemukan solusinya, termasuk dalam teknologi kedirgataraan yang membuatnya menjadi pakar ilmu penerbangan yang terkenal di dunia.
Saat peluncuran buku biografinya “Rudy, Kisah Masa Muda Sang Visioner” (12/10/2015) BJ Habibie mengatakan: "Saya dari lahir, cuma butuh tidur empat jam, selebihnya yang dua puluh jam, panca indera saya menyerap lingkungan sekitar dan bertanya-tanya," kata Habibie.
Karena panca inderanya sangat aktif, lanjut Habibie, saat kecil dirinya sudah mulai bertanya-tanya dan kalau tidak bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan, ia pun menangis.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/09/11/21270301/bj-habibie-jenius-lewat-pola-asuh-ayahnya