KOMPAS.com - Demo pelajar di seputaran Senayan kemarin berakhir ricuh. Kelompok pelajar dari berbagai sekolah melakukan kerusuhan di beberapa lokasi. Mereka bentrok dengan polisi dan melakukan pembakaran seperti pos polisi dan motor.
Akhirnya, sejumlah pelajar diamankan polisi terkait aksi unjuk rasa di sekitar Kompleks Parlemen Senayan ini, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono mengatakan polisi telah mengamankan 570 pelajar SMP dan SMA hingga pukul 22.00 WIB. "Iya benar sudah 570 pelajar (yang diamankan)," kata Argo saat dikonfirmasi.
Menurut Argo, para pelajar yang diamankan menjalani pembinaan di Polda Metro Jaya. Kemudian, sebagian dari para pelajar telah dijemput oleh orangtua mereka.
"(Sebagian pelajar) didata kemudian dijemput orangtuanya," ujar Argo. Polisi sebelumnya melakukan sweeping dan menangkap sejumlah pelajar berseragam putih abu-abu dan pramuka yang mengendarai motor menuju Kompleks Parlemen Senayan.
Hingga saat ini, polisi belum mengetahui tujuan aksi unjuk rasa tersebut yang digelar pelajar tersebut.
Mudah terpancing
Pengamat pendidikan Ahmad Rizali kepada Kompas.com (26/9/2019) menyampaikan para pelajar ini, khususnya siswa SMK sangat mudah terpantik "heroisme" yang mereka pandang melawan ketidakadilan.
"Di DKI faktanya ada perbedaan mencolok antara SMA/K Negeri dan Swasta dalam semua aspek terutama mutu pengajaran dan guru, sehingga swasta jauh lebih sulit dikendalikan karena waktu belajar mereka tak sedisiplin negeri. Jadi wajar ketik dipantik "heroisme" melawan ketidakadilan mereka lebih cepat bersikap," ujar Ahmad Rizali yang juga akrab disapa Nanang.
Lebih jauh Nanang menjelaskan, "Di SMKN bukannya tak kesulitan mengelola murid-muridnya yang pasti dianggap "cemen" kawan-kawan sebayanya, nyaris semua SMKN di Jakarta mengunci pagar sekolah dan hanya boleh pulang jika dijemput orangtua. SMKN Jakarta sebetulnya sedang kesulitan karena besarnya rombel. Ideal 25/30 perkelas, sekarang berlebih dan kesulitan saat praktek."
"Mitigasi demonstrasi"
Kejadian "kebobolan" sekolah dan orangtua dalam peristiwa ricuhnya demo pelajar membuktikan masih minimnya koordinasi sekolah, orangtua dan bahkan kepolisian dalam mengantisipasi hal ini.
Nanang memandang sangat dibutuhka semacam "mitigasi demonstrasi" guna mengantisipasi terulangnya demo pelajar yang berakhir rusuh di masa mendatang.
"Dalam kondisi tak normal, orangtua harus siap menjemput anaknya dan komunikasi dengan sekolah harus intensif," ujarnya.
Ia menambahkan, "Polisi wajib menutup jalur yang mungkin dilewati anak-anak saat pulang jika perlu menyediakan angkutan dan meminta motor yang mereka bawa ditinggalkan di sekolah guna mengurangi mobilitas."
Dalam mitigasi demonstrasi, lanjutnya, guru dan kepala sekolah wajib menahan siswa di sekolah dan jangan diberi tanggung jawab (tugas) di luar area sekolah.
Nanang juga menegaskan, "Meski koordinasi dengan dinas pendidikan perlu, tetapi koordinasi langsung antara orangtua, polisi, guru tidak boleh terganggu otoritas kepala dinas (pendidikan)."
"Karena sangat sulit mengharap sumber persoalan pemantiknya diselesaikan, saya pikir pemda wajib memitigasi jika kejadian seperti ini terjadi, semacam "tanggap darurat" demonstrasi hingga bisa menghindari chaos yang lebih jauh," tutupnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/09/27/12091711/ricuh-demo-pelajar-pengamat-pandang-perlu-adanya-mitigasi-demo