KOMPAS.com - Memasuki era persaingan global, Indonesia diharapkan mampu melahirkan SDM berkualitas, di antaranya menyiapkan kompetensi dasar abad 21; kemampuan berpikir kritis, kreatif, dapat berkolaborasi dan kemampuan berkomunikasi.
Sayangnya, semenjak menerapkan K13 siswa SD tidak lagi diwajibkan menerima pelajaran bahasa Inggris sebagai materi uji atau penilaian dan kebijakan mengenalkan bahasa Inggris diserahkan kepada kebijakan wali kelas.
Menjawab tantangan itu, Hasmawati guru kelas VI Madrasah Ibtidaiyah (MI) Darud Da'wah Wal Irsyad (DDI) Tani Aman, Samarinda, Kalimantan Timur, membuat terobosan dengan memberikan waktu khusus pembelajaran bahasa Inggris pada jam mata pelajaran (mapel) Pengembangan Diri.
"Saya khawatir bahasa Inggris yang telah mereka pelajari semenjak kelas satu sampai kelas lima hilang, jika bahasa Inggris tidak lagi diajarkan di kelas enam. Oleh karena itu, ia mencoba mengisi pada jam pengembangan diri dengan pelajaran bahasa Inggris," ujar Hasma.
Membangun kreativitas
Biasanya mapel Pengembangan diri digunakan untuk pembelajaran terkait pengembangan kreativitas siswa seperti pembuatan kaligrafi, menggambar dan lain-lain.
Terobosan pembelajaran dilakukan Hasma: mengolaborasi pembelajaran bahasa Inggris dan pengembangan kreavitas siswa lewat belajar membuat komik bahasa Inggris.
Siswa diminta membuat sebuah komik berangkat dari kisah kehidupan sehari-sehari. Mereka dibebaskan menulis apa saja terkait tema kegiatan sehari-hari tersebut.
Sebelum dilakukan kegiatan tersebut, Hasma mengenalkan dulu model menggambar komik Doraemon dan beberapa komik lain. Ia juga mengajari sedikit teknik menggambar.
“Gambarnya tidak musti berbentuk persis seperti manusia, bisa saja berbentuk bulatan bulatan yang bisa membentuk seperti tubuh atau kepala. Saya bebaskan anak-anak berkreatifitas memilih topik dan model gambarnya,” ujarnya.
Kemampuan komunikasi
Karena dibebaskan menentukan topik sendiri, para siswa menyodorkan berbagai macam judul berbeda. Ada tentang main bola, perjalanan, kegiatan pagi hari dan lain-lain.
Kertas HVS kemudian dibagikan. Masing-masing mendapatkan satu kertas. Untuk menggambar komik, mereka menggunakan pensil dahulu sebagai dasar. Setelah dirasa gambar dan cerita yang dihasilkan bagus, mereka gunakan pen atau spidol menimpa gambar pakai pensil tersebut.
“Saya tidak mau mereka mewarnai lebih lanjut. Beberapa siswa tidak bisa mewarnai dengan baik dan saya takutkan hasilnya lebih jelek. Lebih baik gambarnya tetap hitam putih saja,” jelas Hasma.
Dalam proses pembuatan, siswa dibebaskan membuka kamus, komik dan buku-buku bahasa Inggris yang bisa menginspirasi untuk mengembangkan kosa-kata bahasa Inggris, asal tidak menjiplak.
Para siswa juga diberi kebebasan belajar sama teman lainnya. Dari Kebebasan yang diberikan ini, diharapkan membuat siswa mampu berpikir kritis dan juga saling belajar satu dengan lainnya.
Para siswa yang sudah selesai membuat komik, diminta bu guru untuk mempresentasikan di depan siswa yang lain. Yang tidak presentasi hari itu, presentasi besok harinya.
Ternyata hasil karya siswa untuk pembelajaran tersebut hari itu, menurut ibu Hasmawati, membuatnya cukup terkagum-kagum.
“Ternyata dibebaskan berekspresi, membuat para siswa mampu menghasilkan karya orisinil yang bagus. Dalam segi kemampuan menggambar dan menyusun cerita menurut saya, anak-anak itu luar biasa walaupun percakapan dalam bahasa Inggrisnya masih perlu diperbaiki,” ujarnya.
Ia mengaku mendapatkan inspirasi mengembangkan kreativitas siswa tersebut, setelah mengikuti pelatihan Program PINTAR Tanoto Foundation.
Hasil tersebut sebagian disimpan, dan sebagian dipajang untuk jadi sumber belajar terus menerus, baik untuk cara menggambar maupun struktur dan kosa kata bahasa Inggrisnya.
Melalui cara ini Hasmawati berharap sekolahnya akan mampu melahirkan lulusan-lulusan unggul dan mampu bersaing secara global.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/09/29/13552191/hadapi-tantangan-global-madrasah-ddi-samarinda-siapkan-komikus-kelas-dunia