Salin Artikel

Karya Dosen Unair, "E-Nose" Bisa Deteksi Dini Penyakit Gigi dan Bahan Makanan

KOMPAS.com – Selama ini cara untuk mendeteksi penyakit pada gigi dilakukan ketika sudah terasa sakit dan parah. Begitu juga untuk mengetahui pembusukan bahan makanan, yang dilakukan dengan hanya melihat secara kasat mata dan sentuhan yang kadang belum tentu benar.

Itulah yang membuat Suryani Dyah Astuti, dosen Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga (Unair), bersama timnya, yaitu Anak Agung Surya Pradhana, dan bekerja sama dengan Kuwat Triyana dari Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan Electronic Nose (E-Nose).

Alat itu merupakan perangkat untuk mendeteksi secara dini penyakit gigi dan mulut serta kualitas bahan makanan.

“Saat ini yang berkembang E-Nose itu di UGM dengan peneliti Dr Kuwat. Beliau bekerja sama dengan Mabes Polri untuk mendeteksi narkoba,” ucap Suryani dalam keterangan tertulis Unair, Rabu (2/10/2019).

Dia bersama Kuwat saling berbagi ilmu tentang potensi E-Nose mendeteksi dini penyakit. Mereka pun melanjutkan hasil diskusi dengan dokter gigi Prof. Ernie Maduratna Setiawatie yang merupakan dosen di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Unair dan juga seorang dokter gigi.

Diskusi itu untuk meningkatkan motivasi memperdalam dan menerapkan penggunaan sensor larik gas itu.

Menurut Prof. Ernie, pada umumnya selama ini pasien datang ke dokter dalam keadaan gigi sudah sakit. Itulah sebabnya diperlukan deteksi dini agar dapat dilakukan antisipasi.

Suryani menjelaskan, E-Nose merupakan suatu perangkat yang meniru cara kerja dari penciuman hidung manusia. Secara teknis, perangkat tersebut menggunakan sensor gas yang dapat memberikan respons terhadap aroma tertentu.

Kemudian, respons sinyal yang dihasilkan E-Nose terhadap aroma tertentu akan dianalisis menggunakan perangkat lunak pengenalan pola sehingga dapat dianalisis dan diidentifikasi.

Apabila dibandingkan dengan teknik analisis lainnya, seperti kromatografi gas, maka sistem hidung elektronik dapat dibangun dan bisa memberikan analisis sensitif dan selektif secara real time.

Tahap penelitian

Penelitian E–Nose untuk deteksi dini penyakit gigi ini terdiri dari dua tahap, yaitu in vitro (skala laboratorium) dan klinis. Tahap in vitro bertujuan untuk pembelajaran E–Nose tentang aroma berbagai bakteri penyebab penyakit gigi.

Tahap ini telah dilakukan Yanuar Mukhammad, alumnus S2 Teknik Biomedis dan Sirlus, dengan pembimbing kedua Dr Riries Rulaningtyas. Penelitian lebih lanjut untuk penyempurnaan E-Nose dilakukan oleh Anak Agung Surya Pradhana, seorang mahasiswa S2 Teknik Biomedis Unair.

Surya menerangkan, pada E–Nose terdapat enam sensor gas seperti hidung manusia yang memiliki reseptor dan memori. Dari reseptor, data dikirim ke tempat penyimpan data (database).

Selanjutnya, data tersebut digunakan untuk melatih E–Nose dengan algoritma statistik pohon keputusan (decision tree) sehingga E-Nose mampu mengklasifikasikan sampel.

“Penelitian in vitro di skala laboratorium berfungsi untuk mengumpulkan data gas yang akan digunakan sebagai pembelajaran terhadap karaketeristik berbagai bakteri penyebab penyakit gigi, seperti bakteri S. mutan, A.a, P. Gingivalis, E. Faecalis, dan sebagainya,” jelas Surya.

Dia menambahkan, algoritma yang digunakan untuk melatih E–Nose tersebut melakukan klasifikasi bakteri-bakteri tertentu berdasarkan pola gas yang dihasilkan. Hasil pelatihan pengenalan pola menggunakan algoritma pada in vitro digunakan sebagai referensi saat pengujian E-Nose secara klinis.

Hasil dari uji coba yang dilakukan saat in vitro menunjukkan hasil yang bagus. Berbagai bakteri menghasilkan konsentrasi bau yang berbeda-beda tergantung pada jumlah hari penyimpanannya.

Penelitian tersebut menggunakan sensor MQ2, MQ3, MQ7, MQ8, MQ 135, dan MQ 136 yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Contohnya sensor MQ 135 yang spesifik untuk mendeteksi ammonia.

“Jadi ada sensor yang spesifik untuk karbon dioksida, ada juga yang untuk amoniak. Pada bakteri gigi umumnya bau yang dikeluarkan adalah jenis amonia. Hasil uji coba pada biofilm berbagai bakteri gigi menunjukkan adanya karakteristik fisis yang berbeda-beda pada berbagai bakteri. Sedang uji coba pada ayam yang diberi kuman E-coli menunjukkan perbedaan yang signifikan dibandingkan tanpa adanya E-coli,” imbuh Surya.

Penggunaan

Suryani menuturkan, penelitian tersebut menggunakan sensor larik gas khusus. Untuk deteksi penyakit gigi disarankan menggunakan sampel biofilm yang diambil dari gigi/gusi pasien dan ditumbuhkan pada media baru dideteksi. Metode tersebut akan menghasilkan data yang spesifik untuk karakteristik bakteri tertentu.

Metode yang lain dengan menggunakan sampel saliva. Namun, penggunaan saliva menghasilkan data yang kurang spesifik karena bau yang dihasilkan tidak hanya berasal dari mikroba penyebab penyakit gigi.

Selain untuk kesehatan, E-Nose juga telah banyak digunakan untuk deteksi kualitas bahan makanan, antara lain kualitas susu, daging, ikan, dan ayam.

Hasil penelitian untuk deteksi kualitas daging ayam oleh Haidar Tamimi dengan pembimbing kedua Dr Miratul Khasanah, MSi menunjukkan perbedaan pola gas yang terdeteksi oleh sensor karena adanya penurunan kualitas daging berdasarkan masa simpan dan aktivitas bakteri yang mampu dikenali oleh E–Nose.

“Dengan menggunakan sensor ini, kita bisa mengklasifikasi kualitas daging berdasarkan masa simpan maupun aktivitas jenis bakteri yang mengkontaminasi bahan makanan. Ternyata, semakin lama masa simpan daging ayam tidak menjamin konsentrasi gasnya semakin meningkat karena pada jam tertentu protein yang terkandung di dalam daging ayam sudah habis. Jadi setiap jam ada pola khas dari gas yang dihasilkan. E–Nose mampu untuk membedakan kualitas daging ayam,” paparnya.

Melalui hasil yang didapat dari riset tersebut, Suryani mengharapkan dapat menghasilkan karya-karya berbasis inovasi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dengan harga murah.

https://edukasi.kompas.com/read/2019/10/04/21430781/karya-dosen-unair-e-nose-bisa-deteksi-dini-penyakit-gigi-dan-bahan-makanan

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke