KOMPAS.com - Sokola Institute melakukan peluncuran buku terbaru berjudul "Setan Bermata Runcing: Pengalaman Gerakan Pendidikan Sokola".
Para penulis buku tersebut terdiri dari beberapa anggota tim Sokola Institute, yaitu Butet Manurung, Aditya Dipta Anindita, Dodi Rokhdian, Fadilla M Apristawijaya, dan Fawaz. Sedangkan ilustrasi cover buku dikerjakan Oceu Apristawijaya.
Isi buku merupakan kumpulan pengalaman mereka saat mengembangkan berbagai program pendidikan sebagai usaha membantu masyarakat adat setempat dalam menghadapi berbagai persoalan dengan tetap mempertahankan adat istiadat.
Butet menceritakan, ketika dia bersama teman-teman mengajarkan baca-tulis-hitung kepada para warga dan anak-anak dari komunitas adat Orang Rimba yang tinggal di hutan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, terdengar bunyi gergaji mesin.
Penduduk setempat itu menanyakan apakah mereka bisa mengusir pembalak hutan setelah bisa membaca dan menulis.
Pengalaman inilah yang membuat Butet berkesimpulan bahwa pengetahuan baca-tulis-hitung saja tidak cukup bagi Orang Rimba untuk menjaga hutan adat dan kelangsungan hidupnya.
Belajar dari kearifan lokal
Hidup mereka tergantung pada hutan, maka ancaman kelestarian hutan juga merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup mereka.
Itulah latar belakang Butet dan empat rekannya mendirikan Sokola Institute pada 2003. Lembaga itu fokus pada pendidikan dan masyarakat adat. Sokola kemudian mengembangkan kurikulum yang tujuannya untuk membantu masyarakat adat menghadapi persoalan.
“Kami memulainya di rimba dengan banyak coba-coba dan melakukan kesalahan. Justru dari murid-murid dan komunitaslah kami berguru hingga akhirnya menyempurnakan metode dan pendekatan yang kami gunakan,” ujar Butet dalam peluncuran buku Setan Bermata Runcing: Pengalaman Gerakan Pendidikan Sokola, Rabu (30/10/2019) di Jakarta.
Pengalaman selama dua dekade mengembangkan program pendidikan di komunitas Orang Rimba lalu menluas ke 15 lokasi lain di Indonesia inilah yang menjadi pelajaran penting yang diceritakan dalam buku tersebut.
Metode Sokola menekankan pada pentingnya menetap (live in) bersama komunitas dalam jangka watu yang lama, bahkan sampai bertahun-tahun, menyesuaikan diri dengan adat istiadat setempat dan sebisa mungkin mengajar dalam bahasa lokal.
“Interaksi intensif di lapangan dan tempaan dari komunitas serta murid-murid, khususnya di Sokola Rimba di Jambi, akhirnya membantu kami merumuskan metode dan pendekatan pendidikan yang ramah budaya dan kontekstual,” imbuh Butet.
Filosofi dan story telling
Butet dan teman-teman menuliskan pengalaman lapangannya dengan struktur kombinasi antara gaya bercerita (story telling) dan berurutan sesuai dengan metodologi penyelenggaraan program pendidikan Sokola mulai dari melakukan kajian awal hingga pembentukan kader dan pengorganisasian.
Selain itu, buku ini juga berisi mengenai landasan filosofis serta prinsip-prinsip kerja kerelawanan Sokola.
“Kami berharap pengalaman-pengalaman di dalamnya dapat menjadi panduan untuk guru, relawan mengajar, atau siapa saja yang bekerja di komunitas,” tutur Butet.
Buku ini juga ditujukan agar masyarakat adat di sana dapat memecahkan persoalan keseharian yang mereka hadapi, khususnya saat berhadapan dengan “orang luar”. Hal lain yang tidak kalah penting yaitu masyarakat adat dapat mempertahankan identitas adat mereka.
Buku setebal 260 halaman ini terdiri dari tujuh bab, yakni Sejarah Pendekatan Sokola oleh Dodi Rokhdian, Pendekatan Dialogis Sokola oleh Fadilla M Apristawijaya, Volunterisme oleh Aditya Dipta Anindita dan Butet Manurung, Memahami Komunitas oleh Dodi Rokhdian, Literasi Dasar oleh Butet Manurung, Literasi Terapan: Pendidikan Kontekstual dan Keberpihakan oleh Fawaz dan terakhir Kader, serta Organisasi dan Pengorganisasian oleh Aditya Dipta Anindita.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/10/31/16210031/sokola-institute-saat-kearifan-lokal-melawan-setan-bermata-runcing