KOMPAS.com - Teknologi membuat banyak hal menjadi terbuka. Ruang ini memberikan kesempatan untuk memperkuat masyarakat dalam mengawasi kinerja dan akuntabiltas pemerintahm, baik pusat maupun daerah.
"Dengan demikian pemerintah harus lebih responsif, harus lebih berhati-hati dalam membuat membuat keputusan atau pernyataan. Masyarakat dapat melihat apa yang dilakukan pemerintah dan dapat menagih apa yang menjadi janji-janji pemerintah," ujar Prof. Eko Prasojo (Dekan dan Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi/FIA UI) dalam konferensi internasonal yang digelar Universitas Terbuka di Tangerang Selatan (31/10/2019).
Konferensi internasional “Open Society Conference (OCS) 2019” ini digagas oleh Fakultas Hukum, Ilmu Sosial, dan Ilmu Politik Universitas Terbuka (FHISIP-UT) dan mengangkat tema “Demokrasi dan Akuntabilitas Publik di Era Digital”.
Konferensi menghadirkan pembicara Internasional dalam diskusi panel, yaitu Prof. Grace Javier Alfonso (University of the Philippines Open University /UPOU) dan Prof. Eko Prasojo (Dekan dan Guru Besar Fakultas Ilmu Administrasi/FIA – Universitas Indonesia/ UI), serta Dr. Lim Tai Wei (Singapore University of Social Sciences /SUSS) melalui video conference dan dimoderatori Prof. Daryono.
Keterbukaan dan budaya birokrasi
Prof. Eko Prasojo melihat contoh penggunaan teknologi e-budgeting menjadi sarana masyarakat untuk ikut bagian dalam mengontrol kinerja program pemerintah daerah. "Pemerintah tidak bisa bilang; saya tidak tahu, saya belum pelajari atau saya belum baca. Sekali dipublish ke masyarakat maka dianggap data tersebut valid dan trusted," ujar Prof. Eko Prasojo.
Ia juga menyampaikan pemerintah harus mampu menjawab berbagai pertanyaan masyarakat terkait hal itu. "Prinsip kehati-hatian harus menjadi prinsip. Tidak bisa kemudian pemerintah menyampaikan salah ketik, atau salah hitung," tegasnya.
Saat penguatan dari pengawasan masyarakat sudah siap, tambahnya, pemerintahnya juga harus mengubah mental dan budaya pemerintahan.
"Yang saya lihat pengawasan masyarakat sudah kuat, yang belum siap justru pemerintahnya karena belum banyak berubah dari sisi culture, dari sisi kompetensi dan kesiapan berinteraksi secara terbuka terhadap masyarakat," jelas Prof. Eko Prasojo.
Seiring peran "open society" di era teknologi yang kian menguat, ia mendorong birokrasi pemerintahan melakukan tranformasi atau perubahan baik dalam budaya melayani masyarakat dan keterbukaan seiring dengan peningkatan kompetensi.
Hal senada disampaikan Dekan Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UT, Sofjan Aripin. "Diharapkan di era keterbukaan ini, aspek budaya perlu tetap perlu dijaga terlebih Indonesia memiliki nilai Pancasila sebagai falsafah bernegara," ujar Sofjan.
Sofjan melihat pertemuan budaya Timur dan Barat yang ada di Indonesia membuat nilai-nilai demokrasi yang berkembang di Indonesia bersifat dinamis.
"Oleh karena itu, kemajuan teknologi di revolusi industri harus diikuti dengan kemajuan pendidikan karakter yang harus dibina sejak dini. Apalagi Presiden Jokowi saat ini telah menekankan penguatan sumber daya manusia, sehingga pendidikan karakter menjadi modal utama dalam penguatan open society dalam demokrasi," tegasnya.
Peran pendidikan tinggi, tambahnya, adalah memberikan edukasi terhadap masyarakat dalam mengambil peran dalam open society agar menjadi
"UT memiliki kemampuan mendelivery nilai-nilai dan pengetahuan itu, tidak hanya kepada masyarakat di pelosok Indonesia namun juga di seluruh dunia melalui teknologi pembelajaran jarak jauh yang dimilikinya," ujar Sofjan.
Sofjan menyampaikan sebanyak 123 pemakalah dari 19 universitas baik dari dalam maupun luar negeri dan 3 institusi pemerintah Indonesia berpartisipasi dalam OSC 2019 ini untuk memaparkan hasil penelitian mengenai perubahan dan tantangan besar demokrasi dan akuntabilitas publik di tengah masifnya adaptasi teknologi digital.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/11/04/15584821/universitas-terbuka-keterbukaan-publik-perlu-diikuti-budaya-baik-pemerintahan