KOMPAS.com - Perhatian publik tertuju pada "merdeka belajar" ketika konsep tersebut ditulis sebagai tagar di naskah pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Hari Guru Nasional tahun 2019.
Beberapa sebaran di media sosial mengubahnya menjadi merdeka bergerak atau istilah lain, seolah merdeka belajar hanya sebuah jargon. Apa sebenarnya merdeka belajar?
Spirit kemerdekaan dalam pendidikan Indonesia dicetuskan pertama kali oleh Ki Hadjar Dewantara.
“...kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu "dipelopori”, atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain (1952). Namun kajian atas kemerdekaan belajar tidak banyak berkembang hingga tahun 1980-an (Barry J. Zimmerman) yang berakar pada teori psikologi sosial Albert Bandura.
Berbeda dengan pendekatan sebelumnya yang menekankan pada kemampuan kognitif, pada 1980-an berkembang kajian yang lebih menekankan pada kemampuan murid mengendalikan proses belajarnya atau biasa disebut sebagai self regulated learning.
Miskonsepsi belajar mandiri
Self regulated learning pada awalnya diterjemahkan sebagai pembelajaran mandiri. Namun, refleksi kami menemukan bahwa istilah pembelajaran mandiri tidak tepat secara konsep dan seringkali diplesetkan secara praktik.
Secara konsep, mandiri hanyalah satu dimensi dari 3 dimensi self regulated learning, yang berarti istilah tersebut hanya menggambarkan secara parsial, tidak utuh.
Pada sisi praktik, pembelajaran mandiri yang tidak memadai secara konsep menghasilkan praktik yang tidak berpihak pada anak.
Anak dituntut belajar secara mandiri tapi untuk melayani tujuan belajar yang ditetapkan semena-mena oleh guru, sekolah maupun kurikulum nasional.
Cara belajar memang mandiri, murid presentasi sendiri, tanpa umpan balik yang memadai. Proses dan hasil belajarnya pun dinilai tanpa melibatkan murid. Jauh dari konsep self regulated learning.
Konsep Ki Hajar Dewantara
Miskonsepsi self regulated learning tersebut harus dipatahkan, baik secara konsep maupun secara praktik.
Secara konsep, kami mengkaji ulang konsep Self Regulated Learning dengan mempelajari 3 dimensinya yaitu komitmen pada tujuan, mandiri pada cara dan refleksi. Pada titik ini, kami bersepakat untuk menggunakan istilah merdeka belajar, sebagai pengganti istilah pembelajaran mandiri.
Pilihan merdeka belajar sendiri terinpirasi dari ajaran Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara.
Merdeka belajar menggambarkan 3 hal:
1. Menetapkan tujuan belajar sesuai kebutuhan, minat dan aspirasinya, bukan karena didikte pihak lain.
2. Menentukan prioritas, cara dan ritme belajar, termasuk beradaptasi dengan cara baru yang lebih efektif.
3. Melakukan evaluasi diri untuk menentukan mana tujuan dan cara belajar yang sudah efektif dan mana yang perlu diperbaiki.
Merdeka bukan berarti bebas (freedom), tapi kemerdekaan (independence) mengarahkan tujuan, cara dan penilaian belajar. Sebagaimana negara merdeka, guru merdeka belajar berarti menentukan dan mengarahkan nasib dan masa depannya, dalam suatu konteks kehidupan bersama.
Merdeka belajar di ruang kelas
Merdeka belajar di ruang kelas diawali dari diri guru yang merdeka belajar, sadar dan memprioritaskan esensi tujuan pendidikan, fleksibel dalam menentukan strategi belajar dan menjadikan respon murid sebagai bahan untuk berefleksi.
Guru yang merdeka belajar akan menjadi penggerak kelas merdeka belajar. Merdeka belajar dari lingkup diri disebarkan menjadi lingkup kelas.
Murid dilibatkan dalam mengelola kelas, seperti penggunaan kesepakatan kelas, komunikasi positif dan menghindari sogokan dan hukuman untuk memotivasi murid.
Pada proses pengajaran, guru merdeka belajar melibatkan murid dalam menentukan tujuan belajar. Guru menjadi penghubung antara tujuan belajar pada kurikulum dengan kebutuhan murid.
Pemahaman terhadap kebutuhan dan potensi murid dijadikan pertimbangan bagi guru untuk menyusun pilihan cara belajar di kelas. Guru merdeka belajar melibatkan murid dalam merancang penilaian terhadap proses dan hasil belajar.
Pada akhir pelajaran, guru merdeka belajar meminta masukan dari murid untuk melakukan perbaikan.
Ketika pertama mensosialisasikan merdeka belajar, baik melalui media sosial, diskusi grup daring, maupun seri pelatihan merdeka belajar, kami mendapatkan banyak respon terkejut dari kebanyakan guru yang bisa dikategorikan menjadi 2 kategori: otonomi dan orientasi pada anak.
Ketidakpercayaan pada guru dan murid
Kategori otonomi menggambarkan kekhawatiran dan keraguan guru mempunyai otonomi dalam mengajar.
Isinya kekhawatiran guru terhadap tuntutan kepala sekolah dan pengawas, meski mereka jarang berkunjung ke kelas. Keraguan apakah guru mempunyai kewenangan dalam merancang proses belajar di kelas.
Kategori orientasi pada anak menggambarkan ketidakpercayaan guru dalam melibatkan murid.
Isinya pandangan meragukan atau merendahkan kemampuan dan kemauan murid untuk terlibat dalam proses belajar. Mereka khawatir murid jadi besar kepala dan menjadi berlagak di kelas.
Namun sejumlah guru tetap meyakini merdeka belajar dan mempraktikkannya di ruang kelas. Dari mereka lahir praktik baik pengajaran merdeka belajar yang disebarkan dalam Komunitas Guru Belajar.
Banyak guru yang tertular dan akhirnya terbit buku Merdeka Belajar di Ruang Kelas, yang berisi praktik pengajaran merdeka belajar di berbagai daerah dari jenjang menengah, dasar hingga anak usia dini.
Bukti praktik pengajaran merdeka belajar selaras dengan temuan risetnya. Sejumlah riset (semisal oleh Moos & Ringdal, 2012) menunjukkan pengajaran merdeka belajar berkorelasi positif pada capaian belajar murid baik pada pendidikan dasar maupun menengah.
Lebih jauh lagi, merdeka belajar adalah prediktor terbaik untuk memprediksi kinerja guru (Kamyabi Gol, Atiyeh & Royaei, Nahid, 2013). Riset di Indonesia pun menunjukkan korelasi positif antara merdeka belajar dengan penurunan prokrastinasi dan peningkatan capaian belajar.
Bagaimanapun, dibandingkan istilah pembelajaran mandiri, merdeka belajar lebih renyah diucapkan dan terdengar lebih keren.
Namun lebih dari itu, merdeka belajar bukan sekadar jargon, tapi sebuah konsep yang terbukti melalui riset dan praktik pengajaran. Dan menariknya, merdeka belajar sekarang pun disebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Menanti gebrakan "merdeka belajar"
Nadiem Makarim tentu tidak asal mencomot merdeka belajar. Dari rekaman video maupun pernyataan di media menunjukkan penyebutan berulang konsep merdeka belajar.
Artinya, ada kesadaran khusus untuk mendukung kemerdekaan belajar sebagai pondasi pengembangan guru dan secara luas pengembangan ekosistem pendidikan.
Pidato Menteri Pendidikan di hari guru telah menjadi viral. Ada yang mendukung, menyebarkan dan membuat konten tambahan.
Sejumlah kepala sekolah menyerukan gurunya untuk mempelajari merdeka belajar. Ada pula yang mengkritik atau meragukan pidato tersebut.
Meski beragam respon, tapi sebenarnya mereka punya sikap dasar yang sama: menanti gebrakan kebijakan kementerian untuk mewujudkan kemerdekaan belajar sebagai spirit ekosistem pendidikan.
Penulis: Bukik Setiawan, Ketua Kampus Guru Cikal
https://edukasi.kompas.com/read/2019/11/25/17303721/viral-video-mendikbud-pengamat-menanti-gebrakan-merdeka-belajar-mas-nadiem