Bagi Sri, ia sempat tak membayangkan jadi guru di Sekolah Luar Biasa (SLB). Sementara, Budi justru sudah memutuskan jalan hidupnya menjadi guru SLB sejak di bangku kuliah.
Sri adalah seorang guru di Sekolah Luar Biasa khusus Tuna Rungu (SLB B) Santi Rama Jakarta. Ia merupakan lulusan Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa (SGPLB) di Yogyakarta di tahun 1980.
Awalnya Sri memilih SGPLB yang setara Diploma Dua (D2) lantaran administrasinya yang murah untuk melanjutkan studinya di Yogyakarta.
"Namanya orang kampung ya. Kan waktu itu kuliah agak mahal gitu. Jadi saya cari yang murah. Kuliah di pendidikan khusus itu bayarnya sejajar SMA. Jadi masuk di sana (SGPLB)," kata Sri saat ditemui Kompas.com di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Senin (25/11/2019).
Awal kuliah Sri tak mengetahui tentang pendidikan khusus. Ia hanya tahu, SLB adalah sekolah untuk berkebutuhan khusus.
Murid dengan kebutuhan khusus seperti apa, Sri pun tak tahu. Ia lalu mencari pengalaman untuk mengetahui keadaan anak penyandang tunarungu.
"Melihat anak tunarungu itu seperti biasa padahal malah hambatannya begitu besar gak tahunya," kata perempuan kelahiran Sleman, 26 Februari 1958.
Setelah Sri terjun ke dunia tunarungu, ia lalu mendapatkan ilmu dari studi lapangannya. Akhirnya, ia mengajar anak penyandang tunarungu hingga saat ini.
"Ya sudah hampir 40 tahun mengajar. Itu ngajar dari umur 22 tahun," tambah Sri yang kini menjabat wakil koordinator guru di SLB Santi Rama.
Selama menjadi guru SLB di SLB Santi Rama, ia mengaku senang ketika melihat anak-anak didiknya bisa berbicara sesuai yang diajarkan.
Di Santi Rama, siswa-siswa penyandang tunarungu miskin secara bahasa sehingga ia memulai dari anak-anak yang belum bisa berbicara.
"Itu rasanya seneng banget, sampai orangtua juga seneng banget. Biasanya cuma a u a u lalu punya bahasa. lalu dia bisa mengembangkan bahasanya," ujarnya.
Kini, seharusnya Sri sudah pensiun dari tugasnya menjadi guru. Namun, ia diminta terus mendampingi guru-guru muda untuk menjalankan tugas.
"Sebenarnya sudah harus istriahat tapi masih ada pekerjaan," tukas Sri.
Budi sempat merasa seperti "tercebur" di dunia pendidikan luar biasa. Namun, ia juga merasa menemukan jalan hidup ketika menjalani masa perkuliahan.
"Jadi saya mencurahkan jiwa raga saya, untuk anak berkebutuhan khusus," kata Budi kepada Kompas.com di kesempatan yang sama.
Budi memulai karirnya menjadi guru SLB sejak tahun 1997 melalui jalur tes Calon Pegawai Negeri Sipil. Setelah lulus, ia ditempatkan di SLB A Pembina Jakarta sejak tahun 1998.
"Waktu itu umur 29-30. Sekarang sudah 22 tahun saya menangani anak berkebutuhan khusus tuna netra," pungkas Budi.
Niat untuk beribadah menjadi salah satu motivasi Budi untuk tetap menjadi guru SLB hingga kini. Setiap berangkat ke sekolah untuk bekerja, ia mengaku berniat untuk mencerdaskan dan memberikan bekal yang terbaik untuk anak berkebutuhan khusus.
"Dari awalnya, sekolah saya itu pendidikan khusus. Dari awal saya sudah tahu yang dikerjakan ketika bekerja," tambah laki-laki lulusan jurusan Pendidikan Khusus Universitas Negeri Sebelas Maret.
Selama menjadi guru SLB, hal yang paling bahagia ketika ia bisa melihat keberhasilan muridnya dalam bentuk apapun. Budi tak membedakan prestasi yang diraih baik di dalam sekolah maupun sekolah dan akademik maupun non akademik.
"Apalagi setelah mereka bisa terjun di masyarakat. Itu yang lebih membanggakan. Jadi tak membebani orang lain lagi," tambah laki-laki yang lahir di Pacitan tanggal 13 Agustus 1970.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/11/25/20193771/kisah-sri-dan-budi-guru-slb-puluhan-tahun-mengajar-siswa-disabilitas