JAKARTA, KOMPAS.com - Akhir-akhir ini, Gracia Billy Mambrasar menjadi salah satu sosok yang cukup banyak dibicarakan.
Pasalnya, pemuda asal Papua berusia 31 tahun itu ditunjuk sebagai salah satu dari tujuh staf khusus Presiden Joko Widodo yang berasal dari generasi milenial.
“Billy adalah talenta hebat tanah Papua yang kita harapkan bisa banyak berkontribusi dengan gagasan inovatif dalam membangun tanah Papua,” ucap Jokowi, seperti dikutip dari Kompas.com, Jumat (22/11/2019).
Untuk diketahui, Billy merupakan kandidat penerima gelar master dari Oxford University dan akan meneruskan pendidikan S3 di Harvard University. Selain itu, Billy merupakan pendiri Kitong Bisa Foundation.
Akan tetapi, pemilihan Billy sebagai staf khusus presiden mengundang berbagai komentar dari warganet. Ada yang menyindir bahwa Billy dan keenam staf khusus lain terpilih karena privilege.
Billy mengaku keberatan jika makna privilege yang dimaksud adalah hak istimewa karena ketujuh staf khusus pernah bersekolah di luar negeri dan memiliki keluarga yang mapan dari segi ekonomi.
“Saya keberatan jika mereka mendefinisikan privilege adalah itu. Karena mereka tidak melihat kerja keras dari masing-masing kami untuk mencapai titik tersebut,” papar Billy pada acara Graduation & Alumni Gathering 2019, di Soehanna Hall, Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Adapun acara itu merupakan perayaan kelulusan 167 mahasiswa penerima beasiswa Teladan dari Tanoto Foundation. Acara ini sekaligus menjadi tanda bahwa mereka siap memasuki dunia profesional dan menjadi pemimpin di masyarakat.
Billy sendiri dipilih Presiden Jokowi karena kemampuan dan prestasinya. Dia merupakan kandidat penerima gelar master dari Oxford University dan akan meneruskan pendidikan S3 di Harvard University. Selain itu, Billy merupakan pendiri Kitong Bisa Foundation.
Perjuangan untuk bisa sekolah
Jika menengok ke belakang, keluarga Billy cukup sederhana. Ayahnya adalah guru honorer dan ibunya berjualan kue untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Billy pun harus belajar hanya ditemani lampu pelita karena rumahnya tidak dialiri listrik.
“Saya berangkat sekolah dengan membawa kue dagangan mama untuk saya jualkan ke sekolah. Lalu gantian, pulang sekolah saya sampai rumah mama pergi ke pasar untuk berjualan,” ucapnya.
Begitu juga saat menempuh pendidikan S1 di Institut Teknologi Bandung (ITB). Meski mendapat beasiswa, dia harus berjualan kue untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Lulus dari ITB, dia bercita-cita untuk melanjutkan Pendidikan di Oxford University. Namun, perjalanannya juga tidak mudah. Billy gagal pada percobaan pertamanya.
Barulah pada percobaan kedua Billy berhasil lolos seleksi dan resmi diterima sebagai mahasiswa di salah satu kampus terbaik di dunia itu.
Pendapat Billy tentang makna privilege itu juga disetujui oleh Sukardi (22), salah satu penerima program kepemimpinan dan beasiswa Teladan yang lulus hari itu.
Sukardi setuju bahwa tidak ada kesempatan yang lahir begitu saja, termasuk privilege. Dia mencontohkan, untuk bisa menjadi seseorang dengan kepandaian, dibutuhkan usaha keras untuk terus belajar.
“Bagi saya, bakat itu sebenarnya harus diasah. Tidak mungkin tiba-tiba bisa langsung pintar. Mungkin saja ada orang yang agak lebih mudah untuk mengerti, tapi tetap harus dilatih sejak awal dengan kerja keras,” cerita Sukardi kepada Kompas.com seusai acara.
Sukardi bercerita, dirinya juga bukan anak yang lahir dengan apa yang disebut sebagai privilege. Pria asal Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan, ini sejak kecil hidup dengan sederhana. Orang tuanya yang berprofesi sebagai buruh tani memiliki penghasilan pas-pasan.
“Dari waktu sekolah SD hingga awal kuliah itu orang tua saya selalu minta saya untuk cari beasiswa soalnya biaya buat sekolah itu mahal. Tapi waktu itu agak susah buat dapat beasiswa, enggak pernah lolos,” cerita dia.
Meksipun kondisi kurang mendukung, Sukardi tidak menyerah. Dia kembali mencoba mengikuti seleksi beasiswa dan akhirnya berhasil lolos dan meraih beasiswa Teladan.
“Orang tua senang sekali saya dapat beasiswa full dari Tanoto Foundation ini. Dari segi dana pasti sangat terbantu, terus banyak hal positif yang saya dapatkan,” cerita mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan, itu.
Sebagai informasi, program beasiswa Teladan merupakan upaya Tanoto Foundation menghasilkan generasi berjiwa pemimpin bertanggung jawab, mampu menghadapi tantangan masa depan, dan memberikan kontribusi baik untuk masyarakat sekitar mereka.
“Tanoto Foundation ingin generasi muda Indonesia menjadi pemimpin dan teladan bagi komunitas dan lingkungan tempat mereka berada,” ucap CEO Global Tanoto Foundation J Satrijo Tanudjojo, Rabu (27/11/2019).
Mengembangkan diri
Setelah mendapatkan beasiswa bukan berarti Sukardi bersantai dan malas-malasan. Justru kesempatan kuliah dan mendapat beasiswa itu dia gunakan untuk terus mengembangkan dirinya.
“Pelatihan yang pernah saya dapat itu, pelatihan public speaking, penulisan, membuat video dokumenter. Ada juga pelatihan karier menjelang lulus,” cerita Sukardi yang bercita-cita menjadi pengacara itu.
Selain mengikuti pelatihan, Sukardi juga memperkaya dirinya sendiri dengan mengkuti berbagai macam kompetisi untuk mahasiswa. Salah satunya meraih gelar The Best Contract dalam kompetisi Contract Drafting Business Week Universitas Airlangga tahun 2017.
Sukardi bercerita, selama mengikuti program beasiswa tersebut, dia banyak merasakan dampak positif, baik untuk dirinya maupun kariernya di masa depan.
“Salah satunya adalah kepercayaan diri. Karena semenjak saya menerima beasiswa ini, saya punya kepercayaan diri yang lebih baik,” ujar Sukardi yang saat ini telah bekerja di salah satu firma hukum di Jakarta.
Dia juga merasa dengan mengikuti program beasiswa Teladan, dirinya bisa membangun relasi yang cukup luas. Apalagi, untuk berkarier di dunia hukum dan menjadi pengacara.
Kerja keras Sukardi selama berkuliah itu pun membuahkan hasil manis. Perjuangannya selama 3,5 tahun berkuliah dan terus mengembangkan diri diganjar dengan gelar wisudawan terbaik tingkat Universitas Hasanuddin tahun 2019.
Pada acara Graduation and Alumni Gathering 2019 itu pun kerja keras Sukardi kembali mendapat pengakuan. Dari 167 mahasiswa yang hadir malam itu, dia dinobatkan sebagai Best Graduates Tanoto Scholars 2019.
Sementara itu, terkait perayaan kelulusan 167 penerima beasiswa Tanoto Foundation, Satrijo menyampaikan pesan khusus. Dia ingin para lulusan senantiasa menerapkan prinsip 3K, yakni kepandaian, kepedulian, dan kebiasaan.
Kepandaian, menurut dia, dibutuhkan agar lulusan tidak pernah berhenti belajar dan selalu relevan dengan semua perkembangan yang terjadi.
Kemudian, selalu peduli terhadap sesama dan menggunakan privilege yang mereka miliki untuk memberikan kontribusi positif di masyarakat.
“Ketiga, kebiasaan atau habit. Di Tanoto Scholars ada sembilan karakter yang kami tanamkan. Karakter itu bisa terbentuk jika dilakukan setiap hari,” papar Satrijo.
Adapun kesembilan karakter itu adalah integritas, peduli sesama, ketekunan, inovatif, daya juang, jiwa pemberdaya, motivasi kuat, sikap wirausaha, dan berwawasan internasional.
https://edukasi.kompas.com/read/2019/11/30/10050021/keterbatasan-tak-jadi-halangan-bagi-dua-pemuda-ini-untuk-berprestasi