KOMPAS.com - Muhadjir Effendy selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2016-2019 menetapkan sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 sebagai strategi pemerataan pendidikan di Indonesia.
Dalam pelaksanaannya, banyak tanggapan pro dan kontra terjadi menanggapi sistem zonasi PPDB ini.
Berita ini turut menjadi salah satu topik hangat yang diperbincangkan dan mencuri perhatian para pembaca di Kompas.com di kanal Edukasi selama 2019.
Kompas.com mencoba merangkum isu-isu hangat terkait penerapan sistem zonasi PPDB selama tahun 2019 berdasarkan tanggapan dari para tokoh, mulai dari Presiden Joko Widodo, Gubernur Jawa Barat, Gubernur Jawa Timur, hingga orangtua.
1. Jokowi: Zonasi 2019 alami banyak masalah
Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempersilakan awak media untuk menanyakan langsung permasalahan sistem zonasi dalam PPDB kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy.
"Tanyakan pada Menteri Pendidikan. Memang di lapangan banyak masalah yang perlu dievaluasi, tapi tanyakan kepada Menteri Pendidikan," kata Jokowi saat ditanyai awak media usai menyerahkan 3.200 sertifikat di GOR Tri Dharma, Gresik, Jawa Timur, Kamis (20/6/2019).
Jokowi tidak menutupi bahwa memang banyak permasalahan yang perlu dievaluasi dari penerapan sistem zonasi di PPDB pada tahun ajaran kali ini dibanding dengan sebelumnya.
2. Ridwan Kamil: Zonasi sekolah buat saya gundah
Ridwan Kamil yang akrab di sapa Kang Emil, selaku Gubernur Jawa Barat periode 2018 – sekarang, mengaku gundah menyikapi masalah sistem zonasi sekolah saat mencarikan sekolah untuk anak keduanya tahun lalu.
"Saya punya pergulatan batin, antara WhatsApp kepala dinas, tapi akhirnya membohongi diri sendiri, maka saya putuskan masuk ke swasta," ujarnya.
Terlepas dari hal itu, menurut Emil, masalah keresahan orangtua siswa menyikapi sistem zonasi merupakan dinamika di semua daerah.
Emil mengungkapkan, dinamika ini tidak terjadi di Bandung saja, tetapi juga di seluruh Indonesia.
“Persoalan PPDB tahun ini terletak pada kuota sistem zonasi di Bandung yang mencapai 90 persen,” pungkasnya.
"Dari dua tahun terakhir kan sudah disiasati, kepada mereka yang tidak mampu dan harus sekolah swasta, kita kan ada program pembantuan, nah itu tolong dimanfaatkan, kan tidak boleh ada anak di Bandung yang tidak sekolah akibat kekurangan biaya," tutur Emil.
3. Khofifah Indar Parawansa: Ajak warga dukung sistem zonasi
Di tengah polemik masalah zonasi sekolah, Khofifah Indar Parawansa selaku Gubernur Jawa Timur justru pro dengan adanya sistem zonasi ini. Dirinya mengungkapkan sistem zonasi PPDB adalah upaya memotong rantai kemiskinan.
Khofifah yakin bahwa sistem zonasi akan memberikan hak yang sama bagi warga untuk memperoleh pendidikan gratis dan berkualitas.
"Di negara maju lainnya, sistem semacam ini sudah diterapkan sejak tahun '90-an, karena itu saya mengajak warga Indonesia untuk mendukung program pemerintah yang baik ini, karena sebagai upaya pemerintah memotong rantai kemiskinan," kata Khofifah, Kamis (20/6/2019) dini hari, seusai sidak pusat data sistem zonasi di Fakultas Teknik Informatika, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya.
4. Wakil Wali Bandung: Utamakan pemerataan infrastruktur dan guru
Wakil Wali Kota Bandung Yana Mulyana mengatakan, sebenarnya Kota Bandung belum siap menjalankan sistem zonasi dalam PPDB.
“Jujur, (pendidikan) Kota Bandung sebetulnya belum merata,” ujar Yana kepada Kompas.com di sela-sela Big Bad Wolf di Kota Baru Parahyangan, Kamis (20/6/2019).
Yana menambahkan, tidak semua kecamatan atau kelurahan di Kota Bandung memiliki sekolah baik SD, SMP, maupun SMA. Begitu pun dengan kualitas pengajarnya, belum merata.
“Sebelum sistem zonasi diterapkan, saya lebih setuju jika dilakukan pemerataan baik dari infratsruktur sekolah maupun pengajarnya dulu. Guru-guru yang punya potensi juga seharusnya dimutasi demi pemerataan,” ungkap Yana.
Menurut Yana, kalaupun mutasinya harus dilakukan, paling tidak sebaiknya bertahap 20-30 persen dulu. “PPDB baiknya tetap mengutamakan akademik,” pungkasnya.
6. Panitia PPPDB sekolah: Kejanggalan proses pendaftaran dengan sistem zonasi
Syaiku selaku Panitia PPDB SMPN 3 Tulungagung mengungkapkan, dirinya menemukan sejumlah kejanggalan saat proses pendaftaran PPDB di sekolah pada hari ke dua.
“Dari data azimut yang diserahkan, ternyata ditemukan adanya jarak dari rumah ke sekolah yang tidak masuk akal. Saat dimasukkan ke dalam sistem, rumah pendaftar itu ada jaraknya yang mencapai 5.000 kilometer dan 11.000 kilometer dari sekolah,” ujar Syaiku.
Menurut Syaiku, kalau dilihat dari jarak itu, maka rumahnya ada di tengah laut, Samudera Hindia sana.
“Ada juga siswa yang tinggal di 4 derajat lintang selatan dan lokasinya dekat di garis khatulistiwa di Pulau Kalimantan,” ungkapnya.
Melihat masalah itu, panitia pendaftaran segera menghubungi SD asal para siswa itu.
"Yang disarankan memang (aplikasi) open camera. Mungkin ada aplikasi lain yang dipakai memotret sehingga azimutnya keliru," pungkas Syaiku.
7. Orangtua murid: Khawatir anaknya tak bisa masuk sekolah negeri
Sejumlah orangtua siswa di Kabupaten Lebak, Banten, khawatir jika anaknya gagal dan tidak bisa masuk ke SMA negeri.
Kekhawatiran tersebut muncul lantaran adanya sistem zonasi di dalam proses seleksi.
Atikah, salah satu orangtua murid yang ditemui Kompas.com di SMAN 1 Rangkasbitung, mengaku waswas lantaran lokasi rumahnya berjarak lima kilometer dari SMA negeri terdekat.
“Jarak tersebut, belum terlalu aman jika mengikuti sistem zonasi,” ujarnya kepada Kompas.com, Senin (17/6/2019).
Menurut Atikah, informasi yang Atikah dapat mengenai jarak aman zonasi di Rangkasbitung itu sekitar 3 kilometer. Sementara itu, rumah Atikah di Kolelet, jarak sampai ke SMA negeri yang terdekat adalah 5 kilometer.
“Saya kecewa dengan adanya sistem zonasi ini. Padahal, anak saya punya prestasi mumpuni dan juga berasal dari SMP negeri favorit di Rangkasbitung,” ungkap Atikah.
8. Pengamat pendidikan: Evaluasi persentase dan sistem zonasi
Darmaningtyas selaku salah satu pakar pendidikan mengatakan bahwa sistem zonasi PPDB ini berpotensi melanggar undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional.
"Penerimaan murid baru menjadi kewenangan sekolah. Dengan kata lain, kebijakan zonasi itu melanggar UU Sisdiknas yang seharusnya (aturan itu) dilakukan Kemendikbud," kata Darmaningtyas kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Rabu (19/6/2019) siang.
“Pada dasarnya sistem zonasi bisa dilakukan, tetapi besaran persentase zonasi tetap menjadi kewenangan sekolah, bukan pemerintah pusat, apalagi dengan besaran kuota 90 persen,” ungkap Darmaningtyas.
Menurut Darmaningtyas, pada intinya dia setuju dengan adanya sistem zonasi, tetapi tidak 90 persen, itu kebijakan yang menyesatkan.
“Mungkin 50:50 lah, sehingga bisa mengakomodasi dua belah pihak (siswa di sekitar sekolah dan siswa berprestasi)," pungkasnya.
Sementara itu, pengamat pendidikan Ahmad Rizali mengatakan, ada empat hal yang harus diperbaiki sebelum sistem zonasi diberlakukan.
Keempat hal itu adalah sinkronisasi pusat dengan daerah, perlunya adanya lembaga bersama atau clearing house, hasil kajian zonasi, dan kesiapan sekolah.
Menurut Ahmad, banyak pihak yang masih belum memahami konsep zonasi. Hal ini menimbulkan protes dari mereka, selain karena adanya faktor kepentingan masing-masing.
“Esensi sistem zonasi belum dipahami banyak gubernur dan bupati atau wali kota. Tentu karena berbagai kepentingan, mereka memprotes sistem ini,” pungkasnya.
(Penulis: Hamzah Arfah, Reni Susanti, Erwin Hutapea, Yohanes Enggar Harususilo, Rachmawati, Luthfia Ayu Azanella I Dirangkum oleh: Fahjie Prasetyo)
https://edukasi.kompas.com/read/2019/12/23/10061301/8-fakta-ppdb-2019-tuai-pro-kontra-ini-kata-jokowi-kang-emil-khofifah-dan