Salin Artikel

Pendidikan yang Tak Hanya Mencerdaskan

KOMPAS.com - Agustus tahun 1965 adalah tahun paling sulit bagi Lee Kuan Yew. Semuanya dimulai dari minus, bukan NOL.

Ia harus memimpin sebuah republik seluas 700-an kilometer persegi untuk keluar dari sindrom ‘baru saja merdeka’. Tak ada sumber daya alam bisa digali, belum banyak teman untuk berbagi. Maklumlah, negara baru.

Lee Kuan Yew hanya punya pilihan bagaimana mencari jalan keluar mengkapitalisasi sumberdaya manusianya. Itu satu-satunya harta yang terlihat kasat mata waktu itu.

Hari ini Singapura menjadi rumah bagi sistem pendidikan yang luar biasa hebat.

OECD merilis PISA 2018 baru-baru ini. PISA (Programme for International Student Assessment), memberikan gambaran kira-kira performance siswa-siswa di negara-negara yang di-assess OECD dalam PISA seperti apa tingkatannya.

Berada di peringkat ke-2 setelah China, siswa-siswi Singapura unggul untuk tiga bidang: matematika, sains dan membaca (reading).

Tujuh tahun tinggal di Singapura saya merasakan sendiri sumpah Lee Kuan Yew yang sudah dinyatakannya: toko-toko buku tersebar di mana-mana, akses pembelajaran informal ada di semua pusat komunitas, sekolah dan kampus diguyuri dana milyaran dolar setiap tahun.

Semua dilakukan untuk memastikan bahwa sumpah Lew Kuan Yew, bapak pendiri Singapura, akan selalu relevan, penting, dan tak akan pernah lekang dimakan jaman.

Pegaruh sistem Eropa dan konten lokal

Sebut saja namanya Vincent asal Yogya, Albert dari Jakarta, dan Steven dari Tangerang Selatan.

Mereka adalah tiga dari empat belas anak yang tahun ini mendapatkan beasiswa dari pemerintah Singapura melalui MOE (Ministry of Education) untuk melanjutkan studi di sebuah sekolah menengah papan atas yang sangat prestisius di Singapura.

Mereka masuk di secondary 3. Harapan semua scholars secondary 3 tersebut (sebutan untuk para siswa penerima beasiswa) adalah mereka akan lulus O-Level dua tahun lagi, dengan nilai C6 atau lebih tinggi sebagai syarat minimum lolos masuk O-Level (Cambridge System).

Sebagai catatan, nilai A (1,2), B (3,4) dan C (5,6) adalah syarat untuk lulus O-Level untuk subjek/mata ajar tertentu.

Sistem pendidikan di Singapura memang sangat dipengaruhi sistem di Eropa, khususnya Inggris (Cambridge) dan Swiss (IB/ International Baccalaureate).

Sistemnya jelas, berlaku di semua sekolah, namun setiap sekolah memiliki kekhasan masing-masing sebagai faktor daya saing. Sebutlah itu semacam ‘local content’.

Sekolah sebagai "kawah candradimuka"

Saya berkesempatan mengikuti sesi induction dari awal sampai akhir, yang mencakup pengenalan kampus sekolah, protokol dan prosedur yang mereka terapkan, serta yang sangat penting adalah apa yang akan mereka lalui dan perjuangkan untuk sekian tahun ke depan.

Di saat di Indonesia sedang banyak argumentasi, well, diskursus, mengenai kurikulum pendidikan dasar dan menengah (SD hingga SMA), saya melihat negeri mungil di semenanjung Malaya ini sudah melampaui tahap trial and error.

Mereka sedang menjalankan – dan menikmati – sebuah sistem pendidikan dasar dan menengah yang sudah melampaui jamannya, sudah teruji, dan dengan kemajemukan scholars (penerima beasiswa) asing.

Sistem ini melebur bersama siswa-siswa lokal sehingga wawasan global serta keinginan untuk berjejaring atau berkolaborasi muncul sejak dini.

Sulit sekali untuk menemukan satu saja sekolah terakreditasi baik di Singapura yang isinya gontok-gontokan antar siswa untuk kejar ranking.

Hanya Swedia, Finlandia dan mungkin beberapa negara Eropa, yang seperti Singapura telah fokus untuk menjadikan sekolah sebagai kawah candradimuka dalam arti yang nyata: tak hanya soal survival, namun lebih dari itu – sebuah penaklukan masa depan. Conquest!

Benih untuk melebur dan berimajinasi

Anak-anak di sekolah-sekolah mereka disiapkan menjadi penakluk masa depan. Bukan sekedar penyintas.

Mereka dari awal disiapkan untuk ikut berimajinasi tentang masa depan seperti apa yang mereka lihat melalui mata mereka yang masih polos dan jernih dari apriori.

Vincent misalnya, dalam usia masih sangat muda sudah menjadi co-author sebuah buku antologi cerpen yang ia tulis dalam bahasa Inggris.

Setiap tahun ia menjadi langganan juara di sekolahnya. Begitu pula Steven, di sekolahnya kawasan Tangerang Selatan, ia menjadi salah satu lulusan terbaik. Tak beda jauh dengan Albert yang berasal dari Jakarta.

Mereka bertiga sudah diseleksi oleh alam untuk menjadi benih yang ditabur pemerintah Singapura melalui MOE untuk melebur bersama anak-anak lokal di sana dan turut berimajinasi dunia seperti apa yang diinginkan dunia di masa mendatang?

Tidakkah kita di sini menginginkan hal yang sama?

Mengubah dunia, mendidik anak muda kita

Di bilangan Tangerang Selatan saya sering melewati gerbang sebuah sekolah yang sangat besar dengan tulisan, "Educatio Puerilis Renovatio Mundi Est" yang kira-kira artinya seperti ini: Pendidikan bagi anak-anak muda (bisa) mengubah dunia.

Saya sangat suka motto ini.

Untuk mengubah dunia, kita harus didik dan latih anak-anak muda kita. Merekalah masa depan dunia, sebagaimana dua puluh atau tiga puluh tahun lalu kita adalah masa depan dunia bagi orang tua-orang tua kita.

Pendidikan hafalan memang tidak bisa dihilangkan. Beberapa ilmu sains menuntut beberapa macam hafalan, seperti menghafal rumus hitungan atau tabel periodik kimia.

Namun memaksakan pelajaran hafalan untuk sekedar hafal tak akan efektif mentransformasi dunia.

Hafalan dengan tujuan seperti ini, kita tak butuhkan lagi. Anak-anak muda di Singapura tak ditanya dalam ulangan di kelas mereka soal tanggal berapa Lee Kuan Yew meninggal.

Mereka akan ditanya siapakah Lee Kuan Yew itu dan mengapa ia penting bagi sejarah bangsa dan negara Singapura? Hmm, saya bahkan tidak ingat tanggal berapa nenek saya meninggal, padahal beliau sangat penting dalam kehidupan saya.

Pondasi: matematika dan membaca

Kembali ke ruang induksi bagi para siswa Indonesia di Singapura tadi, bahkan sejak awal mereka sudah dibantu untuk mengenali preferensi sekaligus potensi kemampuan akademik, serta strategi riil bagaimana mereka akan menggapainya.

Meski di Indonesia hal seperti ini sudah mulai terstruktur, tetapi logikanya belum disebarluaskan untuk dipahami para orang tuasiswa.

Misalnya saja, dalam dua tahun ke depan, para siswa dan orangtua mereka diberi paparan bila ingin studi life science, mereka harus mengambil penekanan pada kimia dan biologi. Bila ingin masuk studi engineering, mereka harus mengambil kimia dan fisika.

Dengan begitu pelajaran kimia adalah mandatory. Bagaimana dengan matematika? Ini pondasi penting di kurikulum Primary dan Secondary school di Singapura, dan itu menjawab pertanyaan mengapa Singapura unggul di tiga bidang: matematika, sains dan reading itu tadi.

Nilai matematika tak boleh jelek.

Reading. Ada apa dengan membaca? Mengapa penting?

Tidakkah pembaca ingat beberapa abad lalu Eropa dan bahkan Timur Jauh serta Timur Tengah membangun peradaban dengan beberapa strategi spesifik, dan salah satunya tulisan yang di buat dalam bentuk perkamen, manuskrip, lembaran-lembaran tulisan dari bahan serat pohon papirus dan lainnya?

Kebiasaan membaca, dan juga menuliskan segala hal, ternyata dalam rentang waktu yang panjang telah membangun peradaban yang mengenal apa itu ilmu, kebijaksanaan, pendidikan formal, dan apa itu karya sastra yang menginspirasi dinamika kehidupan, karya dokumenter/ dokumentasi.

Hal in kemudian mengilhami media-media cetak yang kemudian bertransformasi ke multi-media digital. Membaca memang merangsang rasa ingin tahu yang lebih besar.

Membaca adalah sebuah ‘”Aha!”….

Visi holistik pendidikan Lee Kwan Yew

Negeri kita memiliki tradisi tulisan (termasuk membaca tulisan-tulisan) yang jauh lebih panjang, tetapi sayang sekali anak-anak muda kita lebih menyukai apa yang menyenangkan telinga dan mata mereka.

Dan itu jelas bukan tulisan, melainkan gambar bergerak, grafik interaktif, asisten digital dengan kecerdasan buatan yang bisa diajak ngobrol.

Bila disrupsi di dunia industri telah mempertanyakan kemana perginya kapal-kapal layar, tidakkah kita ingin mempertanyakan juga kemana perginya buku-buku di keseharian anak-anak muda di negeri ini?

Bagaimana mungkin kita berharap mereka mengubah dunia bila mereka tidak diajak berimajinasi dan berwawasan luas melalui buku-buku yang mereka baca.

Prof. Bertil Andersson, Rektor Nanyang Technological University (NTU) mengingat bagaimana di awal kemerdekaan Singapura, Lee Kuan Yew sadar tanah airnya tak memiliki apapun untuk diolah.

Lee Kuan Yew telah memfokuskan daya upayanya membangun sebuah sistem pendidikan universal yang secara langsung menyediakan angkatan kerja bagi program industrialisasi Singapura yang sekaligus bertujuan menekan jumlah pengangguran pada waktu itu.

Hal lain diingat Andersson adalah begitu holistiknya visi Lee Kuan Yew hingga sempat terpikir bahwa untuk mewujudkan sistem pendidikan universal yang masif perlu satu armada besar guru-guru profesional, serta lembaga pendidikan tinggi yang kompetitif secara internasional.

Kuantum "from zero to hero"

Dengan begitu, Lee Kuan Yew membuat sebuah loncatan kuantum yang mengubah Singapura ‘from zero to hero’ persis sesuai visi dan impiannya, sebuah negara industri tanpa melalui sekuens bercocok tanam terlebih dahulu.

Cara berpikir dan logika cerdas Lee Kuan Yew tampaknya menjadi platform dalam mempersiapkan sebuah sistem pendidikan yang sangat unggul di dunia saat ini.

Algoritma yang sama ditularkan terus menerus dengan penyesuaian tuntutan jaman hingga ke hari ini.

Ke empat belas siswa Indonesia yang saya sebut tadi sedang melangkahkan kaki ke kawah itu, dan bersabarlah sedikit.

Sepuluh atau lima belas tahun yang akan datang bolehlah kita berharap, nama-nama mereka akan terdaftar di berbagai buku paten di seluruh dunia.

Beberapa bahkan mungkin akan menjadi CEO perusahaan-perusahaan global, dan bisa jadi sebagian lainnya menjadi pimpinan pemerintahan. Bila itu terjadi, mereka memiliki apapun yang diperlukan untuk mengubah dunia.

Semper fi!

https://edukasi.kompas.com/read/2020/01/08/14171541/pendidikan-yang-tak-hanya-mencerdaskan

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke