Oleh: Prof. Muchlas Samani
KOMPAS.com - Mendikbud Nadiem Makarim telah memastikan UN 2020 akan menjadi UN terakhir. Ujian Nasional (UN) 2021 akan diganti dengan uji kompetensi dan survei karakter.
UN yang berbasis konten dipandang tidak lagi cocok dengan kebutuhan anak-anak menghadapi masa depan, sehingga harus diganti dengan uji kompetensi.
Dengan kompetensi, siswa diharapkan akan dapat belajar sendiri apa yang dia perlukan dalam kehidupannya. Begitu kira-kita ungkapan yang saya dengar, ketika beberapa teman membahas kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
Apa yang dimaksud kompetensi? Ternyata, sama dengan apa yang sering disebut dengan istilah 4C (critical thinking, creativity, communication, collaboration).
Kadang ditambah satu C lagi, yaitu confident, sehingga menjadi 5-C. Ditambah satu C lagi, yaitu curiosity, sehingga menjadi 6-C.
Bahkan ada yang menambahkan 1-P, yaitu problem solving, dan 1-E, yaitu empathy, sehingga menjadi 6C+1P+1E.
Kemampuan personal dan sosial
Jika ditelusur, aspek-aspek kompetensi tersebut telah disebut Tony Wagner (2007) dalam buku The Global Achievement Gap, dan diberi istilah the survival skills.
Bernie Trilling dan Thomas Fadel (2009) menyebutnya dengan istilah 21st century skills for live in our time. The Economist-Intelligence Unit menyebutnya dengan istilah the future skills.
Kemendikbud (2003) dalam Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill Education) menyebut kemampuan seperti itu dengan istilah generic skills.
Walaupun menggunakan istilah berbeda-beda, tetapi intinya sama, yaitu kemampuan yang diperlukan untuk menghadapi kehidupan, apapun profesinya.
Penelitian Samani dkk (2014) yang menggabungkan berbagai konsep dan memverifikasi di lapangan, menyimpulkan dua kemampuan pokok yang diperlukan dalam kehidupan.
Pertama, memecahkan masalah secara kreatif (solving problem creatively). Kedua, hidup bersama di masayarakat secara harmonis (living together in a harmony).
Kemampuan pertama disebut personal skills karena diperlukan setiap orang walaupun dalam keadaan sendiri.
Kemampuan kedua disebut social skills karena diperlukan ketika yang bersangkutan bekerja dan atau hidup berkelompok.
Messi: konten, kompetensi dan karakter
Critical thinking, creativity, problem solving merupakan bagian dari personal skills, sedangkan communication, collaboration, empathy merupakan bagian dari social skills.
Adapun confident dan empathy lebih merupakan karakter.
Namun perlu dicatat, karakter semestinya tidak hanya terkait dengan baik terhadap orang lain, seperti jujur, sabar, suka menolong dan sejenisnya, tetapi juga kerja keras, tangguh dan pantang menyerah (grit), yang menurut penelitian Angela Duckworth (2016) merupakan kunci kesuksesan dalam kehidupan.
Lantas, apa hubungannya dengan konten dan karakter? Untuk membahasnya, saya ingin mengajukan pertanyaan, ketika pesepak bola dari klub Barcelona, Lionel Messi, sukses membuat gol, kemampuan apa yang diterapkan?
Saya yakin dia memerlukan critical thinking untuk memahami situasi lapangan saat itu, creativity untuk menemukan posisi tembak yang paling ideal.
Dia juga harus memiliki keterampilan menggiring bola dan menembakkan ke gawang lawan.
Inilah konten yang dimiliki oleh Messi dalam bermain bola. Messi pasti juga memiliki karakter hebat, misalnya kerja keras, pantang menyerah, tidak emosi walaupun diganjal lawan dan sebagainya.
Jadi performa hebat Messi dalam bermain bola, didukung oleh kompetensi, konten dan karakter. Performa adalah interseksi antara ketika aspek tersebut.
Pola ini tentu tidak hanya berlaku pada pemain bola, tetapi juga profesi lain, misalnya insinyur, dokter dan guru.
Performa akan maksimal jika ditunjang oleh ketiga aspek tersebut secara proporsional, sesuai dengan karateristik tugas yang dihadapi seseorang.
Yang pasti tidak mungkin performa akan baik kalau salah satu dari aspek tersebut tidak ada. Dengan kata lain, ketiga aspek terebut diperlukan, sehingga harus ditumbuhkembangkan dalam pendidikan.
Dalam konteks pendidikan, ketiganya tidak dapat dilepaskan. Sepertinya pesan Ki Hajar Dewantara pengembangan aspek intelektual, karakter, dan raga tidak dapat dipisahkan agar anak kita tumbuh dengan sempurna.
Konten dapat diibaratkan sebagai wahana, sedangkan kompetensi dan karakter sebagai isi. Wahana, dalam konteks pendidikan, dapat berupa matapelajaran, tugas, proyek dan sejenisnya.
Tidak dapat dibayangkan bagaimana menumbuhkan critical thinking tanpa wahana, misalnya magnet dalam IPA atau Perang Diporegoro dalam IPS.
Tidak dapat dibayangkan mengembangkan karakter percaya diri tanpa wahana misalnya tugas yang sederhana dan anak pasti dapat mengerjakan.
Tantangan mengukur kompetensi
Dengan demikian antara kompetensi, karakter, dan konten tidak perlu dipertentangkan.
Yang perlu dicari bentuknya adalah wujud performa, yang mengandung ketiganya. Bagaimana wujud pembelajaran yang dapat mengembangkannya.
Misalnya bagaimana dirancang ketika siswa SMP mempelajari topik magnet di IPA, mengapa suatu benda mengandung magnet, mengapa yang tidak.
Bagaimana menggunakan magnet untuk keperluan sehari-hari, dan sebagainya.
Ketika belajar topik Perang Diponegoro, siswa didorong berpikir mengapa Diponegoro melawan Belanda, bagaimana seandainya Diponegoro justru menang dalam perang tersebut.
Jika pembelajaran IPA dan IPS tersebut dikerjakan dalam bentuk tugas kelompok, bagaimana karakter sabar, tenggang rasa dan juga kerja keras dapat ditumbuhkan.
Jika AKSI akan menggantikan UN, bagaimana soal-soal AKSI dapat mengukur kompetensi dalam wadah konten.
Misalnya dapat mengukur critical thinking, creativity, dan problem solving dalam konten persamaan kuadrat di Matematika SMP. Dapat mengukur kompetensi yang sama dalam topik Pemerintahan Daerah di PPKn, dan sebagainya.
Lebih dari itu, perlu dirancang upaya bagaimana agar guru mampu melaksanakan konsep tersebut. Tidak hanya tahu teori, tetapi juga mampu mengimplementasikan di kelas.
Tidak hanya yang terkait dengan pembelajaran, tetapi juga bagaimana mengukur ketercapaikan target sehingga dapat melaksanakan remidial bagi yang belum mencapai dan pengayaan bagi yang melaju lebih dahulu.
Terkait dengan karakter, perlu dicatat bahwa pendidikan karakter yang paling efektif adalah melalui budaya sekolah (Samani dan Haryanto, 2011).
Oleh karena itu, pendidikan karakter tidak dapat diserahkan kepada guru agama dan PPKn saja, tetapi semua guru adalah guru karakter.
Lebih dari itu, karakter tidak dapat diajarkan melalui ceramah tetapi harus ditularkan, sehingga semua guru harus menjadi contoh bagaimana berkarakter yang baik.
Penulis: Prof. Muchlas Samani
Guru Besar Universitas Negeri Surabaya, Anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah 2018-2022, Ketua Lembaga Akreditasi Mandiri Kependidikan, dan Penasihat Program Pendidikan Dasar Tanoto Foundation
https://edukasi.kompas.com/read/2020/01/20/20221891/lionel-messi-dan-tantangan-gantikan-un-2021-dengan-kompetensi-dan-karakter