KOMPAS.com - Jelang 100 hari menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI, ada sejumlah program baru diusung "Mas Menteri" Nadiem Makarim.
Dua program unggulan Nadiem jelang masa jabatan 100 harinya ialah "Merdeka Belajar" dan "Kampus Merdeka". Dari program "Merdeka Belajar", kebijakan "penghapusan" Ujian Nasional (UN) menjadi yang paling ramai diperbincangkan.
Dengan ditetapkanya kebijakan tersebut, maka tahun 2020 ini adalah pelaksanaan UN terakhir. Di 2021, UN akan digantikan dengan sistem penilaian baru yakni asesmen kompetensi.
Tentu, kebijakan ini juga menjadi bagian dari "penilaian" masa kerja 100 Hari Jokowi Ma'ruf dalam bidang pendidikan.
UN tak lagi jadi satu-satunya acuan kompetensi
Selain disambut gembira oleh sejumlah siswa, orangtua, guru dan berbagai kalangan masyarakat, kebijakan penggantian sistem UN ini juga disambut baik oleh Tasya Kamila yang saat ini menjadi "Super Teacher" untuk pelajaran Geografi dan Bahasa Inggris di platform edukasi Quipper.
Sebagai mantan siswa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang pernah stres saat akan hadapi UN, Tasya menilai kebijakan baru tersebut adalah ide segar yang perlu diapresiasi.
"Kalau aku masih anak SMA dan mendengar UN dihapus pasti akan senang, merdeka," kata Tasya dalam talkshow "Siap Berjuang Hadapi SBMPTN bersama Quipper" yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Namun, kesenangan yang dirasakan Tasya bukanlah karena UN ditiadakan, melainkan karena UN tidak lagi dijadikan satu-satunya acuan untuk kelulusan siswa.
"UN tidak dijadikan satu-satunya acuan kelulusan adalah sesuatu yang sangat baik. Karena setelah tiga tahun bersekolah, masa hanya dalam seminggu dievaluasinya. Pasti akan lebih baik bila sekolah yang mengevaluasi karena lebih tahu siswanya seperti apa," papar Tasya.
Tasya menekankan bahwa tak adanya UN di tahun 2021 bukan berati siswa bisa bersantai, sebab ujian berupa asesmen kompetensi akan tetap dilaksanakan.
"Ujian ataupun tes tetap diperlukan karena itu merupakan metode untuk mengevaluasi kemampuan siswa dalam menyerap pelajaran," imbuh lulusan Ekonomi Universitas Indonesia tersebut.
Lintas prodi membuat mahasiswa berwawasan luas
Selain menanggapi kebijakan Merdeka belajar, dalam kesempatan yang sama Tasya juga menyambut ide "lintas prodi" yang menjadi salah satu kebijakan dalam program Kampus Merdeka.
Kebijakan tersebut memungkinkan siswa belajar di program studi (prodi) atau jurusan lain dan masuk dalam satuan kredit semester (SKS).
"Dapat mengambil SKS di prodi yang berbeda (lintas jurusan) di PT yang sama sebanyak 1 semester (setara dengan 20 SKS)," ungkap rilis remis program Kampus Merdeka yang diterima Kompas.com.
Tasya bercerita, saat berkuliah di UI sebenarnya mahasiswa disediakan kesempatan untuk lintas prodi. Walau begitu, ada proses administrasi yang panjang untuk bisa transfer kredit.
Begitu pula saat ia berkuliah di Columbia University. Kampus yang berlokasi di Kota New York, Amerika Serikat itu juga memberikan kesempatan yang lebih mudah bagi mahasiswa untuk mengambil beberapa pilihan mata kuliah yang disediakan oleh fakultas lain atau jurusan lain.
"Itu adalah experience yang sangat menyenangkan karena ilmu sifatnya luas. Interdisipliner membuat satu kasus dapat dilihat dari berbagai perspektif dan itu yang menambah keilmuan kita," kata Tasya.
Tak hanya menambah ilmu, Tasya menilai kebijakan lintas prodi juga bisa membuat mahasiswa memiliki wawasan yang luas dalam memandang satu masalah, di samping lebih semangat untuk belajar. "Ini adalah ide yang sangat baik," katanya.
Walau begitu, perjalanan Nadiem untuk mewujudkan misi Merdeka Belajar maupun Kampus Merdeka jelas masih panjang.
Menurut Tasya, 100 Hari masa jabat Nadiem barulah awal perjalanan. Tasya berharap, kebijakan-kebijakan yang dihadirkan dapat diaplikasikan dengan baik sehingga memberi dampak positif bagi pelajar maupun sistem pendidikan di Indonesia.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/01/28/18561651/jelang-100-hari-tasya-kamila-sebut-perjuangan-mendikbud-nadiem-masih-panjang