Salin Artikel

"Cool Village": Haruskah Belajar Dari Nol Lagi?

KOMPAS.com - Hari yang cerah di tanggal 4 Juli…

Dalam pidatonya, President Lanford mengenang kembali bagaimana dua puluh tahun sejak Amerika dan dunia porak poranda dalam perang yang tak terbayangkan menyampaikan wawasannya, …

“Kehilangan nyawa yang tak terbilang jumlahnya dua puluh tahun lalu tak membawa kita kepada kesia-siaan. Para pahlawan yang gugur itu telah menginspirasi kita untuk bangkit dari butiran abu menjadi penduduk bumi yang bersatu. Negara-negara telah mengesampingkan berbagai perbedaan dan perselisihan. Bersatu, kita semua membangun kembali keluarga-keluarga kita, kota-kota dan juga kehidupan kita. Penggabungan dari teknologi kita dengan teknologi asing tak hanya memampukan kita melawan gravitasi serta menjelajah angkasa dengan kecepatan yang tak terbayangkan sebelumnya, tetapi hal itu juga membuat bumi kita kembali menjadi tempat yang aman.” (President Elizabeth Lanford, 2016)

Pidato itu sungguh memberi inspirasi para audience. Dua puluh tahun yang penuh peluh dan air mata, kekuatan belajar bersama, agar perang besar dapat selalu dihindari atau dimenangkan di masa-masa mendatang.

Seperti dikisahkan dalam film epic “Independence Day: Resurgence” yang diolah dengan ciamik oleh Roland Emmerich bersama Dean Devlin, situasi tahun 2016 digambarkan sebagai suatu peradaban yang sangat kental dengan pembelajaran bersama, ketergantungan, keterhubungan semua bangsa untuk sekali lagi menjadikan bumi tempat yang aman untuk semua orang.

Dua puluh tahun lalu tak pernah terpikir bahwa di suatu titik di masa depan kehidupan mereka berubah drastis.

Dua dekade setelah film pertama dirilis (Independence Day, 1996), penonton disuguhkan pada sebuah periode panjang yang penuh dinamika pembelajaran.

Kehancuran kota-kota dunia serta tewasnya jutaan penduduk bumi di berbagai negara, dipakai sebagai titik balik untuk belajar menjadi siap, antisipatif, terhadap segala perubahan dan ancaman global.

Saat merefleksikan kedua film epic itu, tiba-tiba saja seorang sahabat saya mem-forward sebuah video pendek yang menayangkan Perdana Menteri (PM) Singapura, Lee Hsien Loong, tampil dengan sangat kasual di depan kamera sembari berbicara kepada warganya untuk tetap tenang menghadapi wabah virus Corona asal Wuhan, China, yang saat tulisan ini dibuat telah menjangkiti setidaknya 33 orang di wilayah Singapura.

Kemenangan Tak Menghentikan Pembelajaran

Dalam pidatonya di World Economic Forum di Davos, Swiss beberapa waktu lalu, PM Lee menyampaikan bagaimana Singapura telah belajar banyak sejak virus penyebab SARS menghantam Asia termasuk Singapura di tahun 2003.

“Setelah kasus SARS, kami melakukan review menyeluruh akan fasilitas apa saja yang kami miliki – seperti infrastruktur, rumah sakit, bangsal isolasi, dan kemampuan uji ilmiah. Kami jauh lebih siap saat ini (menghadapi corona-virus).”

Apa yang dikatakan PM Lee bukanlah wacana semata, bukan pula pencitraan. Di akhir tahun 2018 bahkan ia telah meresmikan The National Center for Infectious Disease (NCID) yang menjadi kulminasi daya upaya Singapura menjadi garda terdepan melawan wabah penyakit menular global.

Lihatlah tujuh belas tahun setelah SARS, apa yang dimiliki Singapura saat ini? Pengetahuan yang jauh lebih baik, fasilitas dan infrastruktur yang lebih memadai, dan sederetan protokol yang secara intense mengedukasi penduduk Singapura soal bagaimana bereaksi terhadap wabah global.

Memang sesekali kita melihat potret kepanikan penduduk Singapura yang memborong bekal makanan dan masker, tetapi itu hanya sebentar.

Semenjak PM Lee mengisyaratkan bahwa all supplies – termasuk makanan dan kebutuhan kesehatan – dijamin tetap tersedia di berbagai grocery store, penduduk Singapura lantas tenang kembali.

Singapura sedang melalui sebuah tahapan proses menjadi bangsa yang sangat siap dengan bencana seperti layaknya Jepang senantiasa siap menghadapi gempa bumi dan tsunami.

Silakan cari di channel Youtube mengenai CCTV footage di dalam gedung-gedung saat gempa-gempa besar melanda Jepang.

Tak ada mass histeria, tak ada commotion dalam jumlah masif yang menggambarkan orang-orang berebut keluar dari pintu gedung atau gambaran kekacauan di tangga darurat.

Masyarakat Jepang sudah sangat teredukasi soal ini: kepanikan hanya akan memperhebat kekacauan dan memperkecil peluang selamat.

Singapura, seperti Jepang, telah memenangkan berbagai ‘perang’ terhadap banyak bencana dan wabah, karena– meski telah menang ‘perang’ – mereka tak berhenti belajar, tak berhenti membuat terobosan baru, suatu protokol atau mekanisme tindakan yang akan dilakukan bila suatu kejadian bencana terjadi kembali di masa mendatang.

Bagaimana dengan kita di negeri nak keren ini?

Ooo, tunggu dulu, saya tidak sedang membahas soal virus corona ini.

Apakah kita bangsa yang gemar belajar dan bertumbuh?

Terus terang saja, saya takut mempertanyakan hal di atas bahkan kepada diri saya sendiri. Apakah saya yakin bahwa saya sangat peduli pada progress apapun yang membantu saya melalui jalan setapak menuju masa depan?

Seperti bangsa-bangsa lain, Indonesia tak terhindar dari berbagai masalah dan bencana. Dari yang paling rutin: wabah demam berdarah, liarnya peredaran narkoba, bencana alam tanah longsor, gempa bumi dan banjir, lemahnya pengawasan yang menyebabkan menjamurnya korupsi.

Yang rada berat: turbulensi politik setiap menjelang pilkada atau pemilu, turbulensi ekonomi sebagai imbas turbulensi ekonomi regional atau global, kebakaran hutan-hutan, dan demo-demo terkait ketenagakerjaan.

Lalu, apakah yang sudah kita pelajari? Apakah kita sudah membangun suatu protokol, suatu mekanisme ‘jaga diri’, atau suatu kebijaksanaan yang memampukan bangsa kita ini melalui apapun masalah itu?

Jujur saja, saya sedikit ragu soal ini. Saya merasa kita memang sedang ‘mempelajari sesuatu’ tapi entah apa itu. Tampak semua sibuk mempelajari sesuatu, tetapi saya tak melihat ada suatu terobosan baru yang sangat oke, kelihatan hasil positifnya.

Kita tak boleh menjadi bangsa yang berhenti pada status ‘problem solver’. Kita harus lebih daripada itu, bangsa pembelajar yang bahkan memiliki solusi saat masalah belum tiba di depan pintu rumah kita.

Pemerintahan datang silih berganti, tetapi peta jalan (road-map) pembelajaran nasional sebagai bangsa besar harus jadi tongkat estafet yang diteruskan dari pemimpin ke pemimpin.

Bukan soal apa yang sekolah-sekolah atau kampus-kampus sudah ajarkan kepada para siswa dan mahasiswa, tetapi apa yang keluarga-keluarga – yang difasilitasi oleh pemerintah – telah siapkan bagi anak-anak mereka untuk memenangkan kehidupan apapun masalah yang akan mereka hadapi kelak.

Tahukah anda, Singapura yang penduduknya tak lebih dari tujuh juta jiwa, dan China yang memiliki semilyar lebih penduduk, kedua-duanya bahkan relatif sama siapnya saat industri dan bisnis diambil alih oleh robot-robot dalam program otomasi menyeluruh.

Mereka sudah menyiapkan transformasi human-worker seperti apa yang akan menjadi ‘mitra kerja’ robot-robot itu di masa mendatang.

Dan lihatlah kita di sini, nyaris selalu mulai dari NOL setiap kali kita berhadapan dengan masalah-masalah yang lucunya sudah sangat rutin menimpa kita. Jadi, kita ini sebenarnya sudah belajar apa?

Mari kita renungkan bersama-sama kata-kata penutup dalam pidato President Elizabeth Lanford berikut, “On this day in 1996 the world escaped the clutches of extinction. But in their sacrifice we found the technology to build a stronger and safer Earth, because our survival is only possible when we stand together.” …

BECAUSE OUR SURVIVAL IS ONLY POSSIBLE WHEN WE STAND (and learn) TOGETHER ….

Semper Fi!

https://edukasi.kompas.com/read/2020/03/01/08400711/cool-village-haruskah-belajar-dari-nol-lagi

Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke