KOMPAS.com - Bila di kelas ada anak yang sama-sama mendapatkan nilai 9, belum tentu soal yang benar atau salah tiap-tiap anak seragam.
Anak yang satu bisa saja lebih andal dalam menjawab soal A, sedangkan anak lain mungkin lebih andal menjawab soal lain atau mata pelajaran lainnya.
Praktisi pendidikan sekaligus pendiri Kampus Guru Cikal Najelaa Shihab mengatakan, nilai terkadang bisa menjadi "feedback" atau umpan balik yang salah untuk mengukur hasil belajar anak.
Menurutnya, mendapat nilai tinggi tidak termasuk dalam 9 kompetensi yang dibutuhkan anak di masa depan, melainkan mandiri dalam belajar, refleksi dalam proses belajar hingga kemampuan berkomunikasi.
"Ada anak yang dapat nilai 10, ada yang dapat 5, apakah itu berarti anak yang dapat 10 dua kali lebih pintar dari anak yang dapat nilai 5? Tidak begitu, harus dilihat secara detail dan spesifik," papar Najelaa dalam konferensi daring "PINtalk Online: Memaksimalkan Peran Orang Tua dalam Mendampingi Produktivitas Anak dan Keluarga" yang diadakan oleh Platform Pinjaman Dana Pendidikan Pintek, Kamis (16/4/2020).
Umpan balik, lanjut Najelaa, merupakan satu dan sejumlah poin penting yang memengaruhi kegiatan belajar anak, terlebih saat anak belajar di rumah terkait pandemi Covid-19 ini.
"Salah satu faktor yang mempengaruhi belajar adalah umpan baliknya, bukan nilainya. Jadi kita jangan mencampur aduk nilai dengan umpan balik," imbuh Najelaa.
Najelaa mengatakan, anak selalu membutuhkan umpan balik yang berkelanjutan untuk bisa mencapai kompetensi sebagai tujuan utama pendidikan.
Umpan balik sangat penting untuk mempengaruhi "performance" atau kinerja apapun, mulai dari belajar hingga dunia kerja, menjadi sesuatu yang berharga.
"Jangan sampai hanya menyuruh anak mengerjakan tugas tetapi dalam prosesnya, revisi dan koreksinya tidak diberikan. Ini pesan yang sama juga untuk guru-guru," imbuh dia.
Untuk memberikan umpan balik yang tepat, Najelaa menyarankan guru dan orangtua untuk tidak hanya memberikan instruksi anak harus mengerjakan apa, tetapi juga membangun metode komunikasi dua arah selama proses belajar.
Caranya dengan memberi asesmen atau penilaian terhadap hasil belajar, seperti apakah siswa masih harus memperbaiki tugasnya, apakah usahanya sudah 100 persen, termasuk mengajak siswa berdiskusi tentang kesulitan belajar yang ia hadapi.
Menurut Najelaa, hanya dengan bertanya "apakah kamu sudah mengerjakan tugas ini sebaik mungkin?" sudah merupakan umpan balik yang baik bagi anak.
Bila orangtua dan guru terus memberikan umpan balik kepada anak, anak akan menjadi reflektif apakah ia sudah melakukan usaha maksimal dan tahu apakah masih ada yang harus diperbaiki, anak pun akan tumbuh menjadi pembelajar mandiri, terlepas dari berapa nilainya.
"Jadi, kalau orangtua melihat yang terjadi adalah proses yang hanya satu arah atau tidak adanya komunikasi, tidak ada review dari guru, maka ini merupakan satu hal yang sangat penting untuk disampaikan kepada guru sehingga anak kemudian jadi tahu apa yang berhasil, apa yang tidak berhasil, termasuk apa yang perlu diperbaiki dalam proses belajar," papar Najelaa.
Faktor yang mempengaruhi belajar anak di rumah
Selain umpan balik, Najelaa juga memaparkan sejumlah hal yang dapat memengaruhi proses belajar anak di rumah, yakni:
1. Kesiapan emosional
Memaksakan kegiatan belajar saat anak tidak siap secara emosional dapat menciptakan pengalaman yang membebani, pengalaman belajar yang tidak menyenangkan bagi anak. Sehingga anak tidak suka dengan kata "belajar".
2. Dukungan lingkungan sesuai dengan kebutuhan
Faktor lain yang mempengaruhi proses belajar anak adalah dukungan lingkungan. Ada bersama anak 24 jam belum tentu mendukung anak belajar.
Ajak anak untuk terlibat aktif menciptakan lingkungan paling tepat baginya untuk belajar. Misalnya, apakah anak senang belajar di ruang yang tenang, apakah ia senang sambil mendengarkan musik, dan bentuk suasana yang nyaman bagi anak.
3. Paham tujuan belajar
"Bantu anak memahami kenapa saya harus belajar ini? Apa yang saya dapatkan setelah menyelesaikan tujuan ini?" saran Najelaa.
Baiknya, guru atau orangtua tidak hanya memberi perintah karena sesuai kurikulum namun tidak melihat relevansi terhadap kehidupan sehari hari.
4. Kemandirian mengerjakan tugas
Sesungguhnya melatih kemandirian belajar anak-anak dilakukan sejak dini. Najelaa memaparkan, data yang didapat dari Rangkul Keluarga Kita banyak sekali orangtua yang menyesal karena selama ini kemandirian mengerjakan tugas ini kurang ditumbuhkan pada anak-anak.
"Sederhananya, anak SD kelas 1 sudah bisa belajar sendiri 10-20 menit per hari.
5. Pengalaman sukses mengatasi tantangan
Jangan pula dilupakan, kesenangan anak dalam belajar akan sangat mempengaruhi hasil belajar. Jadi, lanjut Najelaa, belajar di rumah jangan melulu diisi dengan marah-marah dan selalu diakhiri dengan konflik dalam keluarga.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/04/20/100100871/agar-anak-kompeten-najelaa-beri-anak-umpan-balik-bukan-nilai