KOMPAS.com - Bisa mengeja lalu membaca dengan lancar hanyalah awal dari proses pembelajaran literasi. Lebih dari itu, literasi perlu dipahami lebih dalam agar siswa memiliki kompetensi literasi yang utuh.
Kemampuan literasi akan sangat memengaruhi penalaran dan kompetensi. Sehingga siswa Indonesia perlu dibekali dengan kecintaan pada aktivitas literasi sejak dini.
Sejak 2021, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim resmi mengganti Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter. Penggantian tersebut tak hanya sekadar nama, melainkan bentuk soal secara keseluruhan.
Soal-soal AKM akan terbagi atas soal Literasi dan Numerasi. AKM Numerasi terdiri dari beberapa level, yakni level pemahaman konsep, level aplikasi konsep, dan level penalaran Konsep.
Sedangkan AKM Literasi terbagi atas level penalaran konsep, level mencari informasi dalam teks, serta level literasi membaca. Artinya, bisa membaca saja tidaklah cukup.
Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, peringkat nilai Programme for International Student Assessment PISA Indonesia berdasarkan survei tahun 2018 berada dalam urutan bawah.
Untuk nilai kompetensi Membaca, Indonesia berada dalam peringkat 72 dari 77 negara. Untuk nilai Matematika, berada di peringkat 72 dari 78 negara. Sedangkan nilai Sains berada di peringkat 70 dari 78 negara.
Merangkum Sekolahmu, platform pendidikan yang didirikan oleh praktisi sekaligus Ketua Kampus Guru Cikal Najelaa Shihab, ada sejumlah miskonsepsi tentang literasi yang menjadi salah satu pemicu rendahnya nilai literasi di Indonesia.
1. Literasi bukan hanya kemampuan membaca, tetapi juga kemampuan menalar
Literasi berkaitan dengan kompetensi berpikir dan memproses informasi. Sehingga bukan sekadar keterampilan membaca apalagi mengeja.
Seseorang dengan tingkat literasi tinggi, mempunyai kemampuan penalaran dan pemecahan masalah dalam berbagai bidang, termasuk dalam sains, numerasi juga finansial.
2. Belajar untuk membaca, namun tidak membaca untuk belajar
Belajar untuk membaca berkaitan dengan kemampuan bahasa dalam mengenal huruf, mengeja, dan instruksi yang cenderung lebih sederhana, bisa dikuasai di tingkat dasar dalam waktu singkat.
Sedangkan membaca untuk belajar adalah kemampuan lintas disiplin yang menempatkan membaca sebagai alat untuk memahami dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan.
Sehingga, dalam literasi sesungguhnya, membaca bukanlah tujuan akhir, tetapi alat untuk tujuan belajar yang lebih besar.
3. Aktif membaca, tetapi tidak membaca aktif
Membaca banyak tulisan, tidak otomatis meningkatkan kemampuan literasi. Malah terkadang, menurunkan minat atau menghasilkan pengetahuan yang tidak tepat. Kunci keberhasilan dari setiap aktivitas membaca adalah membaca aktif.
Membaca aktif dapat diartikan sebagai kemampuan memprediksi isi bacaan atau berempati dengan latar belakang penulis sebelum membaca, mempertanyakan argumen dan beridentifikasi dengan karakter selama membaca, menyimpulkan dan mengaplikasikan dengan hal yang relevan dalam kehidupan sesudah membaca.
Jadi, jangan dahulu bangga pada jumlah buku atau lamanya waktu membaca, belajar terjadi dari interaksi dengan literasi.
4. Lupa menghubungkan kemampuan menulis dengan kemampuan membaca
Salah satu cara paling efektif meningkatkan kemampuan sebagai penulis adalah pelajaran dari bacaan berkualitas.
Semakin beragam bacaan, surut genre, format yang dipaparkan, eksplorasi dan pendalamannya, pada akhirnya akan mengantarkan pada kemahiran dalam dua kemampuan sekaligus, yakni membaca dan menulis.
5. Bukan bawaan lahir tetapi potensi yang dapat dikembangkan
Tidak ada anak yang terlahir dengan kecenderungan tidak suka membaca.
Literasi berkaitan dengan banyak dimensi yang dapat ditumbuhkan sepanjang hayat, misalnya yang berkaitan dengan latihan untuk kreatif dan kritis serta memahami perspektif.
Sebagaimana semua proses belajar, keberhasilan seseorang bukan hanya tergantung individu yang bersangkutan, tetapi ditentukan oleh dukungan lingkungan.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/04/21/150640071/5-penyebab-rendahnya-kemampuan-literasi-siswa-indonesia