Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Membentuk Komunitas Sains Muslim Dunia dari Keluarga

KOMPAS.com - Sejarah telah menunjukan dunia Islam memberikan sumbangan besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan dunia. Peran memajukan sains ini masih terus berjalan hingga saat ini di mana peran keluarga diharapkan menjadi cikal bakalnya.

Pandangan ini mengemuka dalam seminar internasional yang digelar Mata Air dan Eduversal Indonesia via Zoom yang mengangkat tema "Bagaimana Membentuk Komunitas Sains Muslim Dunia" bersama Prof. Hadi Susanto, Matematikawan Dunia dari Indonesia, Sabtu lalu (9/5/2020).

Dalam pemaparan awalnya, Prof. Hadi menyampaikan sesungguhnya antara sains dan Islam tidak bisa berdiri sendiri.

Dikotomi atau pemisahan antara agama dan sains di masyarakat, menurutnya, terlihat dari adanya pandangan masyarakat yang melihat dunia dan akhirat sebagai dua hal yang terpisah.

"Sedikit banyak ini mencerminkan pandangan keberagamaan kita bahwa dunia dan akhirat itu dua hal yang terpisah. Agama hanya diterjemahkan sebagai ibadah mahdhah sehingga mengurus dan menyejahterakan kehidupan dunia tidak termasuk bagian dari agama dan ibadah," jelas Prof. Hadi kepada Kompas.com.

Sumbangan pengetahuan dunia Islam

Prof. Hadi lebih jauh menjelaskan dunia Islam telah memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap ilmu pengetahuan dunia.

Salah satu masa keemasan ilmu pengetahuan dari dunia Islam kala itu datang Baytul Hikmah atau "House of Wisdom" yang melihat peran buku kala itu sebagai hal yang sangat penting dan bernilai.

"Buku dihargai sangat tinggi. Buku punya posisi penting sehingga, bahkan menjadi salah satu syarat gencatan senjata," jelas Prof. Hadi.

Tokoh-tokoh cendikiawan Islam juga memberikan sumbangan pemikiran yang masih mempengaruhi ilmu pengetahuan dunia hingga saat ini, beberapa di antaranya yakni; Abu Ali al-Hasan Ibn al Haytam, Abu Rayham Muhammad al-Biruni, dan Abu Ali al-Hussein Ibn Sina.

"Banyak sejarawan yang menyejajarkan Haytam dengan pemikiran Newton dan Archimedes dalam hal ilmu optik," kata Prof. Hadi.

Ia menambahkan, "Ibn Sina pada level saintifik adalah salah satu tokoh besar pengetahuan dari dunia islam yang pemikiran-pemikirannya masih dipakai dalam pengembangan ilmu modern saat ini di dunia Eropa."  

Termasuk di antaranya, peran penting dunia Islam yang memperkenalkan angka "nol" dalam matematika yang sebelumnya tidak dikenal dalam perhitungan romawi.

"Bayangkan jika tidak ada angka nol, maka hingga saa ini kita akan sulit menjumlahkan angka 10 + 9, misalnya. Tentu ilmu pengetahuan tidak akan berkembang seperti saat ini," kata Prof. Hadi.

Lebih lanjut Prof. Hadi menyampaikan setidaknya ada dua alasan mengapa ilmu pengetahuan berkembang.

Pertama karena alasan mistis dan yang kedua adalah alasan spiritualis.

"Alasan mistis adalah semacam dzauq atau kenikmatan spiritual seseorang yang merasa lebih dekat dengan Tuhannya ketika mempelajari ilmu pengetahuan, dan inilah yang membedakan antara sains Islam dan sains Barat, bahwa sains Barat hanya berhenti di konsep ‘Mengapa dan Bagaimana’," jelasnya.

Ia melanjutkan, "Sementara Sains Islam akan mengarahkan seseorang pada kontemplasi akan kebesaran Tuhannya. Alasan kedua adalah sebab spiritualis.

Misalnya menurutnya, Astronomi berkembang di dunia Islam dan dianggap penting karena telah menjadi perantara penentuan awal Ramadan dan Syawal.

Geometri misalnya, menjadi pengalihan kaum muslimin dalam mengejawantahkan sisi seni dan keindahan pada Islam dalam bentuk mozaik dan hiasan di dalam masjid, dan tidak dengan menggambar manusia atau pun mahluk hidup lainnya.

Pada akhir pemaparannya, ia menyampaikan, "Alih-alih meributkan tentang definisi Sains Islam, yang terpenting justru terus berjalan dan berkarya agar ada bukti nyata sumbangsih ilmuwan Islam pada bidang Sains di dunia."

Oleh karenanya, Prof. Hadi menekankan peran penting keluarga dalam menumbuhkan minat sains kepada anak sejak usia dini.

"Anak di Asia lebih cenderung didoktrin untuk mendengar dan patuh, sementara pada budaya Barat, anak diajak berpikir kritis, tapi bila tidak terkontrol dapat menjadi cenderung suka membantah," ujarnya.

"Kita harus mengambil yang baik dari keduanya. Ketika anak suka bertanya jangan dimatikan, tapi harus dikendalikan. Untuk itu orangtua harus rajin belajar menambah ilmu dan mengajak anak berdiskusi di saat mereka punya pertanyaan-pertanyaan yang kritis," papar Prof. Hadi.

Ia menegaskan pentingnya orangtua di rumah dan guru di sekolah untuk menumbuhkan kecintaan anak pada sains.

"Yang terpenting adalah menyampaikan rasa cinta bukan teori. Misalnya matematika. Karena yang diberikan pada anak adalah terori maka yang terekam adalah teori. Kalau anak ditanya apa esensi matematika, maka anak akan menjawab angka," ujarnya.

"Padahal bukan itu. Matematika itu adalah logika. Dan dengan logika, anak akan bisa mengambil keputusan yang tepat atau menyelesaikan berbagai macam persoalan," Prof. Hadi menjelaskan.

Pesan di masa PSBB dan Ramadhan

Prof. Hadi juga mengingatkan mengenai beratnya tantangan dunia digital bagi orangtua.

"Di era digital, orangtua harus sering-sering berbincang dengan anak dari hati ke hati. Mengobrolkan macam-macam, termasuk tontonan dan pelajaran apa yang mereka ambil dari tontonan itu," ujarnya.

Hal senada disampaikan Astri Katrini Alafta, Pemimpin Redaksi Majalah Mata Air menyampaikan peran penting orangtua dan keluarga, terutama di tengah masa karantina wabah Corona dan saat Ramadhan ini. 

"Semoga banyak keluarga Indonesia yg bisa menggiatkan dan memaksimalkan potensi masing-masing anggota keluarga," harapnya.

"Ayah menjadi sebenarnya fungsi ayah, hadir dan mengayomi keluarganya. Ibu menjadi sebenarnya ibu yg menyeimbangkan dan menghidupkan dinamika keluarga nya sementara anak menjadi sebenarnya anak yang menjadi benih keceriaan dan cahaya mata bagi orang tuanya," ujar Astrid.

Ia menambahkan, "Semoga keluarga Indonesia bisa menyeimbangkan kegiatan digital dengan kegiatan literasi dan ibadah di rumah masing-masing, yakni memperbanyak kegiatan membaca , menulis dan menghidupkan sendi ruhaninya kembali secara positif agar anak anak Indonesia menemukan kembali hakikat kehidupannya."

"Dan PSBB mengingatkan kita kembali bahwa ibu bapak dan rumah adalah pusat pertama pendidikan dan kecintaan seorang anak pada ilmu dan imannya," tutup Astrid.

Seminar internasional ini diikuti lebih dari 430 peserta dari seluruh Indonesia, di antaranya klub parenting dari 10 mitra Eduversal Indonesia dan juga diaspora Indonesia dari berbagai negara dunia.

https://edukasi.kompas.com/read/2020/05/10/183837771/membentuk-komunitas-sains-muslim-dunia-dari-keluarga

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke