Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Akademisi Diminta Kawal "Omnibus Law" Bidang Pendidikan Tinggi

KOMPAS.com - Undang-undang Cipta Kerja yang juga dikenal dengan Omnibus Law mendapat beragam respon dari masyarakat. Salah satu aspek yang menjadi sorotan adalah bidang pendidikan tinggi.

Hal inilah menjadi pembahasan utama dalam seminar nasional daring bertema "RUU Cipta Kerja Bidang Pendidikan Tinggi" yang digelar Asosiasi Profesor Indonesia (API) dan Dewan Guru Besar IPB pada Senin, 11 Mei 2020.

Acara menghadirkan beberapa pembicara, yakni; Prof. Nizam (Plt. Dirjen Dikti Kemendikbud), Ferdiansyah (Komisi X DPR), Hetifah Sjaifudian (Komis X DPR), dan beberapa Guru Besar IPB, di antaranya Prof. Harjadi Karto Diharjo, Prof. Sonny Priyarsono dan Prof. Ari Purbayanto selaku Sekretaris Umum API.

Perlu masukan akademisi

Ferdiansyah dari Komisi X dalam paparan awalnya berdasarkan data UNDP (United Nation Development Program) menyoroti kondisi pendidikan tinggi Indonesia yang masih berada di peringkat 111 dunia.

"Posisi ini jauh berada di bawah negara tetangga kita seperti Malaysia, Thailand, Brunei dan Singapura," tegas Sekretaris Fraksi Golkar MPR RI ini.

Ferdiansyah menjelaskan kondisi ini dipicu oleh beberapa faktor mulai dari sebaran guru yang belum merata, sarana dan prasarana yang belum memadai hingga birokrasi yang ia nilai masih berbelit dan belum memiliki kebijakan berkelanjutan.

Ia berharap dengan adanya Omnibus Law Bidang Pendidikan Tinggi ini akan dapat menjadi pemantik perbaikan dalam dunia pendidikan tinggi meliputi; Perbaikan Pada tataran Pengelolaan SDM Guru dan Dosen (Culture); Keberpihakan Pada Anggaran Pendidikan Tinggi; (Structure) dan Perbaikan pada Regulasi(Subtstance).

"Salah satu energi positif dari RUU Ciptaker adalah dukungan terhadap riset dan inovasi yang memasukan keduanya menjadi ruang lingkup yang diatur melalui pasal 6 RUU Ciptaker," ujarnya.

Ia menambahkan, "Hal ini adalah peluang besar bagi lembaga pendidikan seperti universitas untuk menjadi gerbang terbuka berlomba-lomba menciptakan riset dan inovasi yang nantinya dapat langsung terhubung dan digunakan dalam bidang industri," ujar Ferdiansyah.

"Inilah yang kita harapkan selama ini bahwa dunia pendidikan harus link and match dengan industri, melalui dukungan riset dan inovasi," tambahnya.

Terkait polemik yang timbul rancangan Omnibus Law ini Ferdiansyah menyampaikan, "Perlu dipahami bahwa RUU Cipta Kerja adalah sebuah draft RUU yang belum final, masih memerlukan proses panjang. Masukan para akademisi tentu menjadi perhatian untuk perbaikan."

Mempertahankan landasan pendidikan nasional

Dalam kesempatan sama, Prof. Nizam (Plt. Dirjen Dikti Kemendikbud) menyampaikan arah kebijakan strategis Indonesia dalam penguatan pendidikan tinggi.

Beberapa hal yang menjadi fokus perhatian Pemerintah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPMJN) 2020-2024 bidang pendidikan tinggi di antaranya; penguatan lembaga pendidikan tinggi, pengembangan keilmuan dan inovasi, penguatan iptek dan inovasi hingga peningkatan kualitas lulusan pendidikan tinggi.

Lebih jauh Prof. Nizam menjelaskan setidaknya terdapat beberapa isu penting dalam Omnibus Law Bidang Pendidikan Tinggi; terkait UU Dikti, UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen.

"Landasan filosofis, yuridis dan sosiologis sistem Pendidikan Nasional harus dipertahankan dengan mengembalikan pada amanah UUD ’45," tegas Prof. Nizam.

Ia menambahkan, "Prinsip otonomi penyelenggaraan pendidikan tinggi, kebebasan akademis harus dipertahankan dengan memasukan sistem penjaminan mutu, good university governance, dan perlindungan masyarakat dalam UU."

Ia menyampaikan PTN sebagai bentuk layanan pendidikan tinggi oleh negara tetap harus berprinsip nirlaba. Sedangkan penyelenggaran pendidikan tinggi swasta dapat menggunakan dual track penyelenggaraan pendidikan tinggi swasta baik nirlaba maupun non-nirlaba.

Prof. Nizam kembali menegaskan, "Untuk ketegasan dan membuka peluang investasi pendidikan tinggi berkualitas perlu didalami pengaturannya agar sejalan dengan tujuan Pendidikan tinggi. UU sebaiknya mengatur prinsip-prinsip, pengaturan detail di PP, agar lebih fleksibel mengikuti perubahan zaman."

Pasal Cipta Kerja jadi sorotan

Prof. Ari Purbayanto dari Asosiasi Profesor Indonesia menyoroti perubahan undang-undang perguruan tinggi yang perlu dicermati.

Beberapa hal tersebut yakni; (1) perolehan pendapatan negara dan kemudahan masuknya ivestasi asing, (2) kekhawatiran soal pengabaian asas kesetaraan mutu perguruan tinggi dan penegakan hukum yang  cenderung lemah serta (3) perguraun tinggi yang bisa menjadi lembaga profit, akreditasi prodi yang menjadi tidak wajib serta mudah masuknya perguruan tinggi asing.

Pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja Bidang Perguruan Tinggi yang menjadi sorotan Prof. Ari antara lain;

  • Badan hukum pendidikan dapat berprinsip Nirlaba (Pasal 53)
  • Perguru tinggi asing tidak wajib bekerjasama dengan perguruan tinggi Indonesia (Pasal 65)
  • Pelanggaran sanksi administratif, sanksi pidana dan denda dihapus (Pasal 67, 68, 69)
  • Serdos tidak wajib bagi dosen lulusan perguruan luar negeri terakreditasi (pasal 45:2)
  • Penyelenggara/satuan pendidikan yang melakukan pelanggaran dikenakan sanksi administratif (Pasal 78)
  • Otonomi pengelolaan perguruan tinggi, prinsip nirlaba dihapus (Pasal 63)
  • Program studi tidak wajib diakreditasi (Pasal 33:6-7)
  • Beberapa persyaratan perguruan tinggi asing dihapus (Pasal 90)

Hal senada disampaikan Prof. Hariadi Kartodihardjo, Guru Besar IPB, “Privatisasi substansial perguruan tinggi secara nasional berpotensi memisahkan kehidupan akademis dengan realitas kehidupan di dunia nyata di mana lembaganya berdiri."

Ia mengingatkan, "Hasil pendidikan (yang) dianggap sebagai komoditi berpotensi bertentangan dengan pasal 28C dan 28E UUD 1945."  

https://edukasi.kompas.com/read/2020/05/12/201147371/akademisi-diminta-kawal-omnibus-law-bidang-pendidikan-tinggi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke