Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

"Bumi yang Tak Dapat Dihuni, Kisah tentang Masa Depan"

Oleh: Andi Tarigan | Kepala Redaksi Nonfiksi, Gramedia Pustaka Utama

KOMPAS.com - Manusia barangkali perlu segera berkemas dan pergi meninggalkan planet ini. Pilihan itu bisa jadi akan menjadi satu-satunya jalan untuk bertahan hidup, jika akhirnya bumi sungguh tak dapat lagi dihuni. Tetapi, ke mana? Itu masalahnya.

Sampai hari ini, belum ada satu pun penelitian yang menunjukkan secara meyakinkan adanya tanda-tanda kehidupan di luar Bumi.

Berbagai penemuan masih bersifat sementara, tentatif. Itu yang terbaca misalnya dalam program "Exoplanet Exploration" yang dikerjakan NASA.

Manusia artinya belum akan pergi ke mana-mana dan tetap harus bertahan hidup di Bumi dengan berbagai ancaman yang bukan main besarnya.

Masa depan mengerikan

“Lebih buruk, jauh lebih buruk dari yang Anda pikirkan,” demikian kalimat pertama David Wallace-Wells dalam buku "Bumi yang Tak Dapat Dihuni, Kisah tentang Masa Depan" (The Uninhabitable Earth) (Gramedia Pustaka Utama, 2019).

Ini bukan semata-mata soal naiknya permukaan air laut. Ada yang lebih parah dari itu, dan itu jelas terlihat.

Apa yang dikisahkan Wallace-Wells dalam buku yang telah diganjar sebagai buku laris New York Times ini pasti bukan sekumpulan kisah fiksi ilmiah tentang perubahan iklim. Latar kisahnya pun terjadi di berbagai negara, bukan di benua yang tak berpenghuni di Artika sana.

Berawal dari artikelnya yang cukup menggemparkan di New York Magazine, Wallace-Wells kemudian mengelaborasi tulisannya dengan berbagai penelitian yang cukup luas sehingga terkumpullah tiga ratusan halaman kisah tentang masa depan––yang mengerikan!

Dengan menghadirkan berbagai ilmuwan otoritatif, dari John Tyndall di abad 19 sampai Charles David Keeling di abad 20, buku ini menghunjam pada problem perubahan iklim yang telah sampai pada ambang kehancuran Bumi dan manusia.

Dalam Unsur-unsur Kekacauan (Element of Chaos), Wallace-Wells menunjukkan malapetaka menakutkan yang telah siap menanti: panas yang mematikan, kekeringan hebat, kebakaran hutan, banjir bandang, kelaparan, udara yang tak bisa dihirup, wabah purba, perang, ambruknya ekonomi, sampai migrasi besar-besaran.

Seberapa pun tidak nyaman dan melelahkan membaca berbagai kisah yang disajikannya, tetapi itulah yang sedang terjadi. Ya, inconvenient truth.

Wabah Purba

Mencairnya es telah menyingkap banyak hal yang belum pernah diteliti manusia. Selain sebagai pencatat iklim, es juga telah bekerja sebagai pembeku sejarah.

Ada sedemikian banyak organisme beku yang tersimpan dalam es, bahkan yang belum pernah beredar lagi selama jutaan tahun. Ketika lapisan es raksasa itu meleleh, persis saat itulah tersingkap berbagai organisme yang belum pernah tercatat dalam sejarah manusia.

Organisme beku itu mungkin tidak semuanya mematikan. Namun, di Alaska, para peneliti telah menemukan sisa-sisa flu 1918 yang menulari sampai 500 juta orang, yang kala itu menewaskan sampai 50 juta orang.

Siapa pula yang menduga pada 2016, seorang anak laki-laki meninggal dan dua puluh orang lain tertular antraks ketika es abadi yang meleleh mengungkap bangkai rusa kutub yang mati karena bakteri yang tersimpan sejak tujuh puluh lima tahun lalu.

Bangkitnya berbagai potensi wabah purba itu jelas bukan dongeng.

Jika itu yang terjadi, bagaimana sistem kekebalan tubuh manusia dapat menangkalnya? Itu perkara besar yang belum terpecahkan.

Hari-hari ini dunia kita mengalami sendiri bagaimana pandemi Covid-19 telah melumpuhkan lebih dari seratus negara dan merenggut lebih dari dua ratus ribu nyawa.

Lebih mencemaskan lagi, virus itu terus berpindah tempat, berubah, dan mengalami evolusi lanjutan karena perubahan iklim.

Dengan pola mobilisasi manusia milenium ketiga, apa pun dapat dengan cepat menyebar dengan tak terkendali, termasuk berbagai wabah yang belum pernah teramati.

Barangkali ada begitu banyak wabah purba yang akan tetap menjadi tanda tanya, dan pemanasan iklim ini akan menguak beberapa misteri itu.

Bumi yang dapat dihuni

Buku ini tepat jika dijadikan sebagai “surat peringatan ketiga”. Dalam salah satu komentarnya, The Economist menulis, “Buku ini berkisah tentang kemungkinan masa depan yang mengkhawatirkan.

Wallace-Wells sangat cemas, dan juga seharusnya Anda.” Sebagai kolumnis dan deputi editor majalah New York, Wallace-Wells tampak cukup paham bahwa persoalan perubahan iklim pasti tidak berdiri sendiri.

Itulah yang kemudian membuat ia terlihat tidak terlalu banyak memberikan panduan apa yang seharusnya menjadi jalan keluar.

Setelah semua potret tentang “kiamat yang tertunda” itu, apakah manusia bergeming?

Perubahan iklim memang menjadi masalah sains yang paling kontroversial di abadi ini, sebab dinamika politik, ekonomi, sosial, dan budaya erat mengikuti.

Namun, terlepas dari segala kontroversinya, tidak ada alasan untuk tidak bertindak jika manusia ingin tetap tingal di bumi. Tentu, ada banyak jalan yang bisa ditempuh dalam skala sekecil apa pun.

Seperti kata-kata Greta Turenberg, gadis Swedia yang Januari lalu genap berusia 17 tahun, di depan Kongres Amerika (17 September 2019), “Anda harus bertindak. Anda harus melakukan apa yang Anda pikir itu mustahil. Karena menyerah takkan pernah bisa menjadi pilihan.”

Tautan pembelian buku: https://www.gramedia.com/products/bumi-yang-tak-dapat-dihuni

https://edukasi.kompas.com/read/2020/05/12/232221971/bumi-yang-tak-dapat-dihuni-kisah-tentang-masa-depan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke