KOMPAS.com - Pandemi corona atau Covid-19 yang terjadi saat ini mulai memunculkan tekanan baru. Terlebih bagi orang tua yang memiliki anak sekolah pasti sangat terdampak.
Selain harus melaksanakan kerja dari rumah (work from home/WFH), orang tua juga harus mendampingi anaknya untuk mengikuti pembelajaran daring atau online.
Tapi, hal itu juga berpengaruh pada anak-anak itu sendiri, yakni merasa stres karena banyaknya tugas yang diberikan dari pihak sekolah.
Munculkan stres baru
Menurut Psikolog Universitas Brawijaya (UB) Ary Pratiwi, S.Psi., M.Psi., kerja di rumah memunculkan stressor atau tekanan baru bagi orang tua dan anak.
"Dengan adanya tugas yang biasanya dikerjakan di sekolah dan saat WFH harus mengerjakan berbagai macam tugas sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan, maka dapat menimbulkan stres," ujar Ary seperti dikutip dari laman UB, Jumat (22/5/2020).
Tak hanya itu saja, tugas yang diberikan ditambah harus online di jam yang ditentukan, membuat anak punya tekanan sendiri.
Dengan bekerja di rumah, menyebabkan pola jam kerja juga berubah. Dari biasanya pagi sampai siang, kini bisa menjadi malam bahkan tengah malam.
Luangkan waktu untuk bermain
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi terjadinya stres, Ary berharap agar para orang tua tetap meluangkan waktu bermain terutama bersama keluarga.
"Hal ini tentu untuk menciptakan hati yang gembira. Karena hati yang gembira adalah obat di masa pandemi seperti saat ini," katanya.
Walaupun pandemi Covid-19 ini memunculkan tekanan sosial baru, namun Pengamat Komunikasi UB, Maulina Pia Wulandari, S.Sos,. M.Kom., Ph.D mengakui kerja di rumah justru membuat intensitas komunikasi antara anggota keluarga mengalami peningkatan.
"Anggota keluarga yang biasanya hanya berinteraksi pada malam hari. Di masa pandemi corona seperti saat ini akan lebih banyak bertemu dan berkomunikasi," tuturnya.
Menurut dia, suami istri yang biasanya bertemunya hanya pada malam hari maka ketika ada penerapan WFH akan bertemu mulai pagi sampai paginya lagi hingga akhirnya bisa memperlihatkan sifat asli masing-masing.
Komunikasi harus ada rambunya
Namun, meningkatnya intensitas komunikasi tersebut tidak selalu dibarengi dengan kualitas komunikasi. Kondisi ini tergantung dengan kondisi psikologi masing-masing keluarga.
Dia menjelaskan anggota keluarga yang si ayah baru saja mendapat Pemutus Hubungan Kerja (PHK) tentu akan berpengaruh terhadap pola komunikasi.
Maka, harus ada rambu-rambu yang harus dipahami saat berkomunikasi terutama menyangkut hal-hal yang sifatnya sensitif.
"Jika mau bicara jangan membicarakan soal ekonomi. Boleh menyinggung tapi sedikit saja dan tidak sensitif membicarakan masalah uang," ujarnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/05/22/162703671/akademisi-ub-wfh-munculkan-tekanan-sosial-baru-salah-satunya-stres