Oleh : Hery Sutarto | Dosen Matematika, FMIPA Universitas Negeri Semarang
KOMPAS.com -Wabah Covid-19 mempengaruhi semua sektor kehidupan, tak luput pula dunia pendidikan. Guru, siswa, bahkan orangtua “dipaksa” melek teknologi dalam proses pembelajaran.
Belajar daring menjadi kata yang akrab dengan telinga kita. Platform-platform untuk belajar daring berusaha untuk dieksplore, mulai dari Zoom, Google Meet, Google Hangout Microsoft Team, sampai Facebook pun mengeluarkan aplikasi sejenis Messenger Room.
"Pemaksaan" ini pula yang memisahkan antara orang-orang yang siap dan mudah beradaptasi dan sisi sebaliknya yang selalu melihat sisi negatif dan kekurangan dari pembelajaran moda daring.
Banyaknya pilihan platform tersebut terkadang membuat kita disibukkan dengan belajar bagaimana menggunakan platform-platform tersebut.
Berusaha mengeksplor satu persatu apa yang ditawarkan dari aplikasi, tetapi sayanganya, terkadang konten dan esensi dari suatu pelajaran terabaikan.
Sebagai contoh, pada bidang matematika, kemampuan-kamampuan bernalar, berpikir kritis dan pemecahan masalah, berpikir kreatif, kemampuan berkomunikasi, kemampuan melakukan suatu koneksi, dan kemampuan berkolaborasi yang merupakan kemampuan yang dibangun dari orang-orang yang belajar matematika (ruh) dapat dipertahankan?
Ataukan menjadi miskin akan kemampuan-kemampuan tersebut?
Kemampuan yang disebutkan sebelumnya dulu dikenal dengan 4C ability. Sekarang menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan kini lebih dikenal dengan 6C ability: Computational Thinking, Creative Thinking, Critical Thinking, Collaboration, Communication, Compassion.
Banyak data-data yang disodorkan di depan mata kita setiap harinya tentang Covid-19 dan semua hal yang diakibatkannya, baik berupa grafik ataupun angka-angka selama masa pandemi.
Apakah kita tahu mengerti maksud dari grafik-grafik tersebut? Apakah kita tahu makna di balik angka-angka yang disajikan?
Yah semua hal ini bisa dijadikan sumber belajar pada masa pandemik dan atau pasca wabah usai.
Sebagai contoh, apakah siswa-siswa kita, setidaknya untuk jenjang SD-SMP yang sudah belajar tentang persentase, ketika ditanya “Angka 37,48 persen pada kolom dirawat dengan kategori positif Covid-19. Didapat darimana dan apa maknanya?”
Apakah siswa kita mampu ketika diminta menyelesaikan “Ceritakan informasi apalagi yang kalian dapat ketika melihat sajian data di atas?”
Itulah yang disebut sebagai literasi numerasi. Jika kita sudah cakap literasi numerasi, maka kita akan menerima dan memaknai informasi-informasi tersebut lebih bijak.
Literasi numerasi merupakan satu diantara 6 literasi dasar, selain literasi baca tulis, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan yang disepakati World Economic Forum pada tahun 2015.
Kemampuan literasi dasar menjadi sangat penting tidak hanya bagi peserta didik, tetapi juga bagi orang tua dan seluruh warga masyarakat.
Kecakapan literasi numerasi
Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk
(a) menggunakan berbagai macam angka dan simbol-simbol yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari dan
(b) menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, dan sebagainya) lalu menggunakan interpretasi hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan mengambil keputusan.
Masa Pandemi menyadarkan kepada kita untuk tidak hanya puas belajar matematika, tetapi literat terhadap matematika yang dikenal dengan literasi numerasi.
Gambar di atas dapat dijadikan ilustrasi yang baik. Apakah siswa kita mampu menjelaskan apa makna dari data yang disajikan?
Apakah siswa mampu mengonekasikan istilah “radius” dalam data dengan istilah yang sudah dipelajari oleh siswa dalam kelas-kelas matematika?
(1) Pembiasaan dan kebiasaan menggunakan teknologi dalam proses belajar mengajar perlu tetap di lakukan dengan intesnitas tertentu. Biarlah Covid-19 selesai dan hilang, tetapi kita semua tetap menjadi orang yang literat teknologi.
(2) Numerasi, menjadi kemampuan lanjutan ketika kita sudah mengajarkan matematika dalam kelas-kelas kita. Jangan hanya berhenti dan puas ketika siswa mampu berhitung dan mengerjakan soal matematika.
Tingkatkan dengan kemampuan memanfaatkan matematika dalam kelas untuk menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan riil dan dekat dengan siswa. Sampaikanlah anak-anak untuk bisa menafsirkan grafik, tabel, serta angka-angka yang dihasilkan dan ditemui.
(3) Pertahankan sinergisitas antara guru, orangtua, dan siswa untuk keberhasilan anak-anak didik seperti yang kita lihat selama belajar daring. Betapa guru dan orangtua punya peran yang seimbang dan saling mendukung untuk satu kata “keberhasilan”.
(4) Terakhir, ketika kita mampu menyelaraskan teknologi, menggunakan secara tepat dalam pembelajaran matematika (mathematical content), sehingga roh belajar matematika, yaitu Computational Thinking, Creative Thinking, Critical Thinking, Collaboration, Communication, Compassion, maka itulah yang disebut New Normal Pengajaran dan Pembelajaran Matematika.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/06/09/222738171/literasi-numerasi-yang-terabaikan-di-keriuhan-new-normal-pendidikan