KOMPAS.com - Sejumlah calon wisudawan mengaku postingan-postingan tantangan hashtag #WisudaLDR2020 berakhir menjadi toxic positivity.
Ungkapan-ungkapan semangat dari para netizen kepada calon wisudawan yang terkendala wisuda secara offline justru dinilai membuat sedih, kecewa, dan hingga sakit hati.
Aileen, calon wisudawan dari perguruan tinggi negeri di Jawa Barat menyayangkan adanya hashtag #WisudaLDR2020.
Ia terintimidasi oleh narasi yang dituliskan dan foto toga yang diunggah para netizen.
"For me personally, cukup disayangkan sih karena hashtag itu end up jadi toxic positivity, di lingkunganku juga banyak yang sepaham sama ini. Karena momen wisuda bagi tiap orang pasti punya arti yang beda," kata Aileen kepada Kompas.com, Rabu (10/6/2020).
Wisuda baginya tak hanya berarti bagi wisudawan, melainkan juga untuk para orangtua wisudawan .Ia beranggapan mahasiswa angkatannya yang lulus tahun ini terasa menyedihkan karena postingan-postingan yang dirasakannya tak berempati.
"Angkatan saya kok kaya dianggapnya menyedihkan banget padahal possibility kita wisuda offline juga ada gitu, kenapa harus kaya gitu banget hashtag dan narasinya," ujarnya.
Beberapa narasi yang berujung toxic positivity, lanjut Aileen seperti "“Iya semangat ya, ngga wisuda bukan akhir dari hidup lu kok”, “Kelulusan ga selamanya harus ditandain pake wisuda, kamu masih bisa foto-foto di studio kok nanti”.
Ada juga seperti, "Lagi pula, wisuda itu hanya prosesi saja. Mungkin yang tidak boleh hilang itu kenangan memakai toganya dan potret berangkulan bersama orang tua,"
"Well people could just simply say (Orang-orang cukup mengucapkan), 'semoga pandemi ini cepet berakhir ya, semangat nunggu wisudanya' kaya gitu juga udah cukup. Kalau ngga bisa nyemangatin diem aja juga gapapa," tambahnya.
Orangtua Aileen sampai saat ini pun masih berharap adanya wisuda offline. Beberapa kali orangtuanya bertanya, "Gimana wisuda, Aileen?".
"Ya sedih juga saya cuma jawab belum tau atau belum ada kabar dari kampus. Semoga yang menggunakan #WisudaLDR2020 bisa lebih bijak lagi alias tidak asal ikut-ikutan ya. Coba posisikan diri kalian dulu sebelum mengikuti challenge ini, bakal ngerasa tersemangatikah kalo liat postingan dan narasi seperti itu?," ujar Aileen.
Majid, calon wisudawan dari perguruan tinggi dari Jawa Barat juga merasa tantangan hashtag #WisudaLDR2020 sama sekali tak meninggalkan kesan yang baik dan menunjukkan empati jika dibarengi dengan foto-foto wisuda.
Ia tak menampik tantangan tersebut berniat untuk menyemangati calon wisudawan yang tak bisa wisuda offline tahun ini karena wabah pandemi Covid-19.
"Menurut saya malah bikin sedih. Saya gak tahu poin dari tagar tersebut buat wisudawan sekarang. Karena walaupun pada intinya ingin menyemangati wisudawan yang terkena musibah Covid ini, itu sama sekali gak memberikan semangat," kata Majid kepada Kompas.com.
Ia melihat adanya kontradiksi dalam tantangan #WisudaLDR2020. Di satu sisi memberikan semangat dengan menunjukkan "suatu kejadian menyenangkan", di sisi lain semangat lewat foto unggahan toga tersebut tak bisa didapatkan oleh wisudawan sekarang bahkan malah membuat semakin sedih dan iri.
"Poin yang dibawa untuk menyemangati bagus, namun alangkah baiknya jangan nge-share foto wisuda yang gak LDR. Menyemangati kalo bisa jangan nunjukkin kesenangan diri kalian yang dapet privilege bisa wisuda di tahun sebelumnya gitu," kata Majid.
Ia berharap para netizen yang bisa lebih bisa empati dan simpati lagi jika ingin membuat tantangan. Majid berharap para netizen bisa melihat bagaimana efek yang akan terjadi sebelum membuat tantangan seperti #WisudaLDR2020.
Toxic Positivity
Melansir Psychology Today, ungkapan toxic positivity mengacu pada konsep bahwa seseorang hanya berfokus pada hal-hal positif tetapi menolak apa pun yang dapat memicu emosi negatif.
Kata-kata seperti "seharusnya kamu lebih bersyukur" atau "coba pikirkan hal-hal bahagia" ternyata tidak benar-benar bisa membantu orang yang sedang mengalami kesulitan.
Bahkan menurut psikolog Mary Hoang seperti dilansir dari laman Elle Australia, kata-kata penyemangat yang dianggap positif sering kali bisa membuat orang merasa lebih buruk.
Hal ini memang terdengar bagus, tetapi tidak semua orang dapat menerimanya, terutama mereka yang sedang membutuhkan bantuan.
Hal ini memang terdengar bagus, tetapi tidak semua orang dapat menerimanya, terutama mereka yang sedang membutuhkan bantuan.
Ketika seseorang menyangkal atau menghindari emosi yang tidak menyenangkan, maka dia membuat emosi negatif tersebut berubah menjadi lebih besar.
Apalagi manusia tidak dapat memprogram dirinya sendiri untuk bahagia.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/06/10/210741671/curhat-calon-wisudawan-tentang-wisudaldr2020-narasi-dan-foto-toga-bikin