KOMPAS.com - Bagi kamu calon mahasiswa atau mahasiswa yang berencana melanjutkan studi ke luar negeri dan mencoba meniti karier di Eropa, dua alumni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) berbagi pengalaman berharga.
Irfan Fachrudin dan Rachmat Gunawan, merupakan dua alumni ITS yang telah menjajaki pendidikan maupun berkarier di Jerman dan Perancis.
Dalam sharing session yang dilaksanakan ITS secara daring pada Sabtu (13/6/2020) lalu, Irfan dan Rachmat menjelaskan mengenai sektor pendidikan dan sektor profesional di Jerman dan Perancis.
Jerman gratiskan biaya perkuliahan
Sebagai salah satu negara maju, Irfan menjelaskan, dalam hal pendidikan Jerman menduduki posisi kelima dalam segi Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan (Research and Development Expenditure) di Eropa.
Meski begitu, biaya perkuliahan di Jerman digratiskan. Namun, mahasiswa wajib membayar sebesar 150-400 Euro (sekitar Rp 2,3-6,4 juta) tiap semester untuk layanan transportasi publik dan biaya kontribusi lain.
Di samping murah, pendidikan Jerman juga berkualitas tinggi. Terbukti pada 2011 Jerman menjadi inisiator Revolusi Industri 4.0,” papar Irfan yang merupakan alumnus Rostock University Jerman.
Menurut Irfan, cara mendaftar kuliah di Jerman cukup mudah. Calon mahasiswa bisa mencari informasi melalui laman masing-masing perguruan tinggi atau melihat daftar Lembaga Pengelola Dana Pendidikan Indonesia (LPDP).
“Selanjutnya silakan dipenuhi dokumen yang disyaratkan dan tunggu dua sampai lima bulan untuk konfirmasi penerimaan,” papar Irfan seperti dikutip dari laman ITS, Selasa (16/6/2020).
Dari sisi karier, lanjut Irfan, Jerman merupakan negara yang tepat untuk dituju oleh para pelamar kerja.
Hingga 2020 ini, Jerman merupakan negara dengan perekonomian terbesar di Eropa sekaligus peringkat keempat dunia dengan GDP sebesar 3,84 triliun Dolar AS
“Software Market Jerman juga terbesar di Eropa dengan pendapatan sebesar 27.6 juta Euro pada 2020,” ucapnya.
Irfan berpendapat Jerman memiliki budaya kerja yang sangat baik, sebab masyarakat di sana produktif dan efisien, terencana dan berorientasi pada hasil, disiplin serta komunikasi yang langsung menuju inti.
“Makanya meskipun durasi kerja masyarakat Jerman rendah, tapi produktivitasnya peringkat ketiga di dunia,” pungkasnya.
Perancis, negara paling populer bagi mahasiswa internasional
Sementara itu, Rachmat yang meniti karier dan pendidikan di Perancis mengatakan, di luar negara berbahasa inggris, Perancis merupakan negara paling populer bagi mahasiswa internasional.
Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) yang merupakan Lembaga Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis, lanjut dia, adalah organisasi penelitian terbesar di Eropa.
“Pun dalam bidang matematika, Perancis mendapat posisi kedua negara peraih Field Medals setelah Amerika Serikat,” papar alumnus Departemen Teknik Sistem Perkapalan ITS ini.
Lebih lanjut Rachmat menjelaskan, pendidikan tinggi di Perancis terbagi menjadi dua jenis, yakni Université dan Grande École.
Dua tipe ini nantinya terkait dengan besar biaya perkuliahan, yakni untuk Université sebesar 170-380 Euro (sekitar Rp 2,7-6 juta) bagi mahasiswa lokal, dan 2.700-3.700 Euro (sekitar Rp 43-60 juta) bagi mahasiswa asing.
Sedangkan untuk Grande École sebesar 5.000-24.000 Euro (sekitar Rp 80-384 juta) bagi seluruh mahasiswa.
Tak berbeda jauh dengan perguruan tinggi Jerman, ujar Rachmat, bagi pelajar yang ingin mendaftar berkuliah di Perancis cukup mencari informasi kampus tujuan atau LPDP.
“Sama saja, cukup memenuhi dokumen yang disyaratkan, melamar dan menunggu konfirmasi kira-kira 2 bulan,” sambungnya.
Di sisi karier, Rachmat berpendapat Perancis merupakan negara yang sangat menjanjikan untuk dijajal. Sebab negara ini merupakan negara paling atraktif di Eropa untuk ditanami modal asing (Foreign Direct Invesment).
“Di antara 10 bank terbesar di Eropa, empat sampai lima di antaranya adalah bank-bank di Perancis,” imbuh lulusan École Centrale de Nantes, Perancis ini.
Mengenai budaya kerja masyarakat Perancis, menurut Rachmat, pekerja Perancis lebih unggul dibanding Amerika Serikat dan Jerman dalam hal hierarki di dunia kerja dan keakuratan kerja.
“Di sini juga tidak ada sama sekali rasisme dan perbedaan gender. Semua diperlakukan sama, sekalipun dalam komunikasi,” pungkasnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/06/18/125921571/kisah-sukses-kuliah-dan-bekerja-di-jerman-perancis-dari-alumni-its