Oleh: Avicenna Raksa Santana | Penerbit KPG
KOMPAS.com - Film komedi romantis atau romcoms kerap menjadi wahana eskapisme bagi penikmatnya. Dari segi penceritaan, komedi romantis bisa dibilang “mudah ditebak”, karena memang didefinisikan sebagai film yang berakhir bahagia.
Akan tetapi, komedi romantis masih terus digemari, bahkan tidak jarang menjadi karya klasik yang dikenang sepanjang masa. Hal inilah yang tampaknya coba diangkat oleh Candra Aditya dalam novel terbarunya, "When Everything Feels Like Romcoms".
"When Everything Feels Like Romcoms" bercerita tentang dua pekerja film, Reza dan Kimmy.
Reza adalah sutradara sinetron yang mendapat kesempatan membuat biopic tokoh ternama, sementara Kimmy merupakan penulis yang baru saja menggarap naskah film komedi romantis.
Seperti tampak dalam judul, romcoms terasa begitu kental dalam novel ini. Saat pertama kali bertemu, Reza dan Kimmy sama-sama menyebutkan film komedi romantis favorit mereka "Ada "Apa dengan Cinta?" dan "Janji Joni".
Seiring cerita berjalan, tampak kemudian bahwa komedi romantis bukan hanya hadir sebagai topik bahasan, melainkan juga sebagai pakem penceritaan.
Pembaca dapat melihat bagaimana novel ini diatur sedemikian rupa mengikuti kisah romcoms pada umumnya.
Saking kentalnya cara bercerita tersebut, tokoh Kimmy dalam novel bahkan memberi kesan “meta” dengan mengandaikan bahwa nasib yang menimpanya adalah: “… cerita fiksi yang ditulis oleh penulis kesepian yang enggak pernah merasakan cinta seumur hidupnya.”
Latar dunia film
Perfilman Indonesia bukan pertama kali diangkat ke dalam cerita fiksi. Misbach Yusa Biran, misalnya, pernah melakukannya lewat "Oh, Film" yang pertama terbit pada 1973 (diterbitkan kembali oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada 2008).
Dalam "Oh, Film" bisa ditemui kisah-kisah jenaka seputar dapur produksi, kalangan seniman Senen, hingga wartawan film.
Keresahan Misbach Yusa Biran, yang juga adalah tokoh perfilman, terpancar dari humornya.
Salah satu yang begitu mengena adalah apa yang digambarkannya lewat cerita berjudul “Cara Bikin Cerita Film”. Di sana digambarkan bagaimana skenario film dibuat berdasarkan niat mencari untung semata, tanpa ada kepedulian terhadap gagasan ataupun logika cerita.
Keresahan semacam itu juga terdapat dalam "When Everything Feels Like Romcoms".
Walaupun, sebagai satu kisah utuh, novel terbitan POP ini memang tidak mengangkat terlalu banyak topik—beda dengan kumpulan cerpen "Oh, Film" yang memungkinkan cakupan topik lebih luas.
Dalam sedikit ruang yang ada, Candra Aditya memang menyiratkan sindirian terhadap, misalnya, pemilihan aktor yang berdasarkan jumlah followers ataupun minimnya ruang bagi seorang filmmaker untuk bereksperimen.
Namun, sindiran sepertinya bukan hal utama. Ketimbang menyindir, Candra Aditya lebih banyak memotret kondisi terkini dunia perfilman.
Hasilnya, bisa kita temukan bagaimana layanan streaming disebut beberapa kali oleh para tokoh. Lalu ada pula penggambaran tentang Blok M Square (yang menayangkan banyak film Indonesia) dan Epicentrum Walk (yang sering menjadi lokasi premiere).
Pembaca bahkan disuguhkan gambaran singkat tentang “lingkaran pertemanan” para pelaku industri film yang tampak saat premiere.
Itu semua, selain memberi kesan make-believe, merupakan sumbangsih tersendiri yang dapat menjadi “kenangan” pada masa depan. Mungkin tidak sefenomenal "Pasar Senen" dalam karya Misbach.
Tapi tentu akan berarti, jika suatu saat hal-hal yang disebut-Blok M Square, Epicentrum Walk, dan lainnya-mati.
Perpaduan antara latar dan karakter di dunia film adalah keunikan yang membuat "When Everything Feels Like Romcoms" terasa spesial.
Pembaca tidak hanya diajak menikmati kisah romcom, tapi juga melihat bagaimana industri di baliknya bekerja.
Bagaimana hal-hal tersebut saling bertautan dibahas dalam peluncuran "When Everything Feels Like Romcoms" pada 6 Mei 2020.
Dalam acara peluncuran tersebut, Paul Agusta (sutradara), Dea Panendra (aktris), dan Stephany Josephine (reviewer film), memberikan gambaran yang dapat membantu pembaca memahami lebih jauh apa yang digambarkan oleh Candra Aditya.
Tekanan dari proyek film panjang pertama yang dialami Reza, misalnya, menurut Paul Agusta adalah hal yang wajar.
Sutradara "Daysleepers" (2018) ini mengatakan bahwa film panjang pertama merupakan milestone yang penting, sehingga gangguan sedikit saja dapat berpengaruh besar.
“Tidak ada produksi yang perfect. Cuma, when you’re making your first feature (film panjang), karena risiko yang ada di kepala itu sangat besar, setiap polisi tidur terasa kayak gempa bumi,” katanya.
Menurut Dea Panendra, orang semacam itu memang ada. “Tidak sama kejadiannya seperti di novel, tapi aku sempat bertemulah dengan orang-orang yang cukup egois, padahal film adalah kerja tim,” ucapnya.
Sementara soal romcoms, Teppy mengatakan kisah happy ending dan tokoh rupawan memang apa yang dicari oleh penonton. Penulis yang terkenal lewat gayanya mengulas film itu menyebut kekuatan romcoms adalah membawa penonton lari dari kenyataan.
Alhasil, jika pun ada yang bisa dipetik dari kisah ada romantis, hal itu adalah ketidaknyataan kisah itu sendiri. “Romcoms membuat gue untuk tidak berpikir [bahwa kehidupan] seperti itu,” ucapnya.
Masih banyak lagi hal yang dibicarakan dari "When Everything Feels Like Romcoms". Sebagian besar menyangkut bagaimana novel 312 halaman meletakkan tokoh-tokohnya dalam latar dunia film.
Di satu sisi, Candra membuat latar perfilman yang realistis, bahkan disertai dengan nama-nama tokoh nyata; tapi narasi utamanya, yang kental akan romcoms, adalah wahana hiburan yang sepenuhnya bertujuan menghibur.
Hasilnya adalah sebuah romansa pop yang segar. Mengutip Paul Agusta, “[This novel] is about people who love movies, it feels like movies, dan menghiburnya minta ampun.”
https://edukasi.kompas.com/read/2020/07/21/215623771/when-everything-feels-like-romcoms-novel-berlatarkan-dunia-film