KOMPAS.com - Saat ini, salah satu obat sedang ramai diperbincangkan. Yakni Remdesivir. Sebab, obat itu telah mendapatkan persetujuan izin edar dari BPOM.
Tentu untuk digunakan sebagai salah satu obat yang dapat diberikan pada pasien Covid-19 di tanah air.
Menurut Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Zullies Ikawati, Apt., remdesivir tidak bisa didapat secara bebas di pasaran.
Dikatakan, obat ini diberikan izin edar dalam bentuk 'Emergency Use Authorization (EUA)'. Artinya, izin penggunaan obat diberikan secara darurat karena belum ada obat Covid-19 yang definitif dan disetujui.
"Bukan keadaan darurat karena pasien dalam kondisi darurat," ujar Prof. Zullies seperti dikutip dari laman UGM, Senin (5/10/2020).
Persingkat penyembuhan
Dijelaskan, obat langsung didistribusikan ke rumah sakit dan tidak tersedia di apotik. Obat ini dalam beberapa bulan terakhir dipakai dalam uji coba yang dilakukan oleh WHO.
Sejumlah negara juga menggunakan obat tersebut dan hasilnya menunjukkan adanya efektivitas yang baik saat digunakan dalam pengobatan pasien Covid-19. Pemberian remdesivir mampu mempersingkat masa penyembuhan pada pasien Covid-19.
"Remdesivir merupakan obat antivirus. Dulu dikembangkan untuk mengatasi virus-virus RNA dan pernah dicobakan saat ada wabah Ebola dan MERS," imbuhnya.
Remdesivir sendiri adalah senyawa analog (mirip) dengan adenosine dan bisa menyusup ke dalam rantai RNA. Obat ini bekerja dengan menghambat replikasi virus dalam tubuh.
Namun untuk keunikan dari remdesivir adalah prodrug dimana obat akan mengalami perubahan menjadi zat aktif ketika sudah berada dalam tubuh pasien.
Bentuk ini dapat meningkatkan masuknya obat ke dalam sel dan melindungi obat sampai di tempat kerjanya. Lalu, modifikasi penting pada remdesivir adalah gugus karbon nitrogen (CN) yang melekat pada gula.
Selanjutnya, begitu remdesivir dimasukkan ke dalam rantai pertumbuhan RNA, keberadaan gugus CN akan menyebabkan bentuk gula mengerut.
"Pada akhirnya ini menghentikan produksi rantai RNA dan menyabotase replikasi virus," jelas Zullies.
Tak hanya itu saja, adanya perubahan ikatan C-N menjadi C-C menyebabkan remdesivir tidak dapat dilepaskan oleh enzim targetnya yaitu RNA-dependent RNA Polymerase.
Di mana kondisi tersebut menjadikannya tetap berada dalam rantai RNA yang tumbuh dan memblokir replikasi virus.
Ada efek sampingnya
Meski dapat membantu dalam pengobatan Covid-19, Zullies menyebutkan remdesivir memiliki sejumlah efek samping, yakni:
Oleh sebab itu, penggunaan obat ini harus diberikan secara hati-hati pada pasien yang terindikasi memiliki gangguan fungsi hati.
Saat ini, lanjut Zullies, belum ada laporan adanya interaksi obat remdesivir dengan obat lain. Namun, ada kemungkinan penggunaan obat lain justru akan memengaruhi ketersediaan remdesivir dalam darah.
Beberapa antibiotik seperti rifampin dan clarithromycin dilaporkan memengaruhi ketersediaan remdesivir dalam darah.
"Namun, itu masih sementara, mungkin bisa bertambah lagi obat yang berinteraksi jika sudah banyak informasi tentang penggunaannya," katanya.
Sedangkan keamanan penggunaan remdesivir bagi wanita hamil dan menyusui juga belum diketahui. Namun, pada uji pre klinik pada tikus dan kera diketahui penggunaan remdesivir bisa memengaruhi ginjal pada janin.
Untuk penggunaan remdesivir hanya boleh digunakan pada pasien terkonfirmasi positif Covid-19 dengan usia di atas 12 tahun dan berat badan minimal 40 Kg. Untuk pemberian obat dilakukan melalui injeksi dengan infus, yakni:
https://edukasi.kompas.com/read/2020/10/05/153006471/guru-besar-ugm-belum-ada-obat-covid-19-remdesivir-untuk-darurat