KOMPAS.com - Wanita yang satu ini, Telma Margaretha Huka, patut diacungi jempol. Pasalnya, dirinya memperjuangkan pendidikan bagi warga yang ada di pedalaman Papua.
Ada cara atau konsep tersendiri yang dia lakukan bersama timnya, Yayasan Suluh Insan Lestari (SIL), yakni dengan penggunaan bahasa ibu di Papua.
Kenapa pakai bahasa ibu? Menurut Telma, penggunaan bahasa ibu akan sangat efektif diterapkan di pedalaman. Sebab, di daerah tersebut, bahasa ibu lebih dominan daripada bahasa Indonesia atau bahasa lainnya.
"Pembelajaran dengan bahasa ibu akan lebih efektif di Papua," ujar Telma, dikutip dari laman Ruang Guru PAUD Kemendikbud, Kamis (15/10/2020).
Tuntaskan buta aksara
Dijelaskan, sejak 2005, ia dan yayasannya bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Provinsi Papua. Kemudian, pengunaan bahasa ibu itu diterapkan di jenjang PAUD melalui bahan ajar berupa Rencana Kegiatan Harian (RKH), buku-buku cerita lokal dan Alat Permainan Edukatif (APE).
Hal ini ia lakukan untuk mengatasi masalah tingginya angka buta aksara yang dialami warga di daerah-daerah pedalaman Papua. Hanya saja, di Papua tidak semua bahasa ibu bisa diberdayakan untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan suku-suku di pedalaman Papua.
"Ada hampir 300 bahasa lokal di Papua, namun hanya sekitar 11 bahasa lokal Papua yang jumlah penuturnya masih banyak dan penggunaannya masih tersebar merata. Ada juga sekitar 20-an bahasa di Papua yang sudah bercampur dengan bahasa Indonesia," terangnya.
Agar mengurangi buta aksara di Papua, Telma dan Yayasan SIL tidak langsung terjun ke anak-anak didik PAUD, tetapi melalui para guru.
Karenanya, Telma dan SIL hanya sebatas mendesain bahan ajar, buku cerita lokal dan menciptakan APE dalam bahasa ibu. Ia juga tetap berpedoman pada desain Kurikulum 13.
Selanjutnya, ia melatih para guru tentang bagaimana menstimuli para anak usia dini itu dengan menggunakan bahasa ibu yang mengacu pada RKH, buku cerita dan APE.
"Karena itu, guru-guru yang kami latih harus sudah menguasai dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan bahasa ibu di mana ia mengajar," terang Telma.
Namun tak hanya memakai buku cerita dan APE, ia juga memanfaatkan teknologi informasi yakni tablet. Alasan penggunaan tablet itu, bahwa tidak semua guru senang membaca.
Jadi anak-anak cukup membuka tablet itu yang di dalamnya ada video, ada suara, dan gambar-gambar untuk menstimuli kemampuan kognitif anak.
Sedangkan informasi yang penggunaan tablet. Alasan, penggunaan tablet itu, bahwa tidak semua guru senang membaca.
Maka, anak-anak cukup membuka tablet itu yang di dalamnya ada video, ada suara, dan gambar-gambar untuk menstimuli kemampuan kognitif anak.
Untuk RKH disusun melalui 10 topik, antara lain topik tentang:
Sementara itu juga ada sebanyak 60 buku cerita lokal yang juga bisa dijadikan sebagai bahan ajar.
Latih 500 guru PAUD
Lebih jauh, Telma menjelaskan bahwa dirinya membuat pilot project kegiatan penggunaan bahasa ibu ialah di Kabupaten Lanny Jaya. Kemudian menyebar ke wilayah lainnya.
Sejak 2015, di 11 kabupaten, Telma dan SIL telah melatih sekitar 500 guru PAUD dan sekolah dasar. Adapun pelatihan berlangsung antara 3-5 hari.
Para guru itu dilatih mengenai:
Dengan cara ini, yakni penggunaan bahasa ibu di jenjang PAUD, ternyata memancing keingintahuan kakak-kakaknya yang masih tunaaksara.
"Mereka lantas ikut belajar dengan bahasa ibu dan sebagian di antaranya sudah bisa membaca. Jadi tampaknya apa yang kami lakukan ini menjadi semacam pemancing untuk penuntasan tunaaksara," tandas Telma.
Tak hanya itu, dengan bahasa ibu, anak-anak akan lebih mudah memahami bentuk serta makna huruf dan angka. Setelah itu, mereka baru belajar membaca dan berhitung dengan bahasa Indonesia.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/10/20/124856271/perjuangan-telma-di-pedalaman-papua-demi-tuntaskan-buta-aksara