KOMPAS.com - Dibutuhkan revolusi dalam dunia pendidikan Indonesia agar lulusan mampu menjawab tantangan zaman, baik dari sisi kebijakan, guru dan pembelajaran di ruang-ruang kelas.
Hal ini dikupas Muhammad Nur Rizal, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) dalam seminar "Menyiapkan SMK Kondusif dan Hebat melalui Ekosistem Gerakan Sekolah Menyenangkan" di Solo, 23 dan 26 Oktober 2020.
Di hadapan Kepala Bursa Kerja Khusus (BKK) SMK se-Indonesia Rizal secara tegas mangajak untuk melakukan revolusi dunia persekolahan karena dipandang tidak lagi relevan dengan tantangan zaman.
Mengutip data World Economic Forum dalam laporan terbarunya 2020 tentang "The Future Jobs", Rizal mengungkapkan dalam lima tahun kedepan akan ada 85 juta pekerjaan saat ini hilang dengan cepat, dan lahir 97 juta pekerjaan baru muncul tetapi dalam laju sangat lambat.
Dalam situasi itu, 50 persen pekerja membutuhkan reskilling dengan 40 persen kemampuan dasar yang bakal berubah.
Tantangan dunia kerja masa depan
Rizal mengutip, laporan tersebut juga menjelaskan sekitar 43 persen pengusaha yang disurvei akan mengurangi tenaga kerja manusia yang akan digantikan integrasi teknologi.
Bahkan 97 persen pemimpin bisnis mengharapkan pekerjanya memiliki ketrampilan baru yang belum pernah ada sebelumnya agar bisnisnya bisa bertahan.
"Dampak wabah covid akan mempercepat proses untuk menggantikan tenaga kerja manusia dengan proses digitalisasi dan remote working sebesar 84 persen," ungkap Rizal.
Yang jadi persoalan, lanjut Rizal, apakah paradigma dan fokus pendidikan kita secara fundamental sudah mengantisipasi dengan mengubah haluan kebijakan politik atau sekadar memperbaiki yang rusak secara tambal sulam saja.
"Untuk menjawab tantangan tersebut, maka baik policy makers dan guru SMK harus mampu menciptakan ekosistem dan konten baru dengan pendekatan a whole school approach, bukan hanya dengan menawarkan program baru seperti DUDI (dunia usaha dunia industri) serta kurikulum baru yang sesuai kebutuhan industri saja," tegasnya.
Sekolah, menurutnya, juga harus mampu menciptakan ekosistem dan kondisi di mana anak bisa menjadi dirinya sendiri agar bisa mengeluarkan talenta terbaiknya karena punya gairah (passion) selama belajar di sekolah.
"Lingkungan belajar yang bisa membuat anak berani memiliki 3D yakni dream, design, and deliver. Agar bergairah, anak tidak diseragamkan kemampuan dan keminatannya, namun diberi ruang untuk punya mimpinya sendiri bagi masa depannya," papar Rizal.
Hal itu dapat terjadi dengan memberikan banyak pilihan dalam meracik kurikulum dan target belajar di sekolah.
Selain itu, perlu dibangun berbagai skenario agar siswa dapat belajar sesuai kekuatan yang dimilikinya sendiri.
"Skenario ini akan meningkatkan ketrampilan anak dalam mendisain dan mendeliver atau menjalankan proses belajar untuk mencapai mimpinya (dream) secara sistematis dan konsisten," jelas Rizal.
Ekosistem persekolahan 3D, harap Rizal, akan memberikan iklim baru bagi anak untuk melakukan upskilling atau reskilling sesuai tuntutan industri masa depan, di mana porsi penguasaan konten pengetahuan hanya diperlukan 10 persan saja.
"Sebaliknya, 90 persen penguasaan pada ketrampilan pengelolaan diri, emosi dan empati sosial serta berpikir kritis-analitis dan kreatif dalam memecahkan persoalan kompleks," ujar Rizal.
Selain menyangkut aspek ekonomi, ekosistem 3D dapat memjawab tantangan pembelajaran yang mengedepankan kodrat individu atau personalised learning.
"Ada 3 kodrat manusia yang termatikan oleh budaya pendidikan saat ini yang terlalu didominasi oleh standarisasi, konformitas dan linearitas akibat tuntutan revolusi industri 2.0. Tiga kodrat itu adalah curiosity (rasa ingin tahu), creativity (kreatifitas) dan diversity (keragaman)," papar Rizal.
Ia menyampaikan, budaya sekolah di SMK punya peluang lebih besar dibandingkan SMA dalam menerapkan ekosistem 3D karena sifatnya lebih kejuruan yang semestinya lebih "hands on" dalam proses belajarnya.
"Sayangnya, program kejuruan saat ini lebih ditujukan pada penyiapan tenaga kerja untuk kebutuhan dunia industri yang didominasi low level skills," ujarnya.
Ia melanjutkan, "padahal pekerjaan dengan low level tersebut yang paling cepat tergantikan oleh percepatan otomatisasi akibat resesi ekonomi oleh kasus pandemi Covid-19."
Maka, mau tidak mau perlu dibutuhkan desain pemikiran ulang terhadap program agar SMK lebih menciptakan budaya enterpreneurial bagi siswanya dan dapat mengukur kekuatan yang dimilikinya.
"Sekaligus bisa memberikan dampak di sosial yang berkontribusi pada perkembangan personal dan ekonomi secara keseluruhan," tambahnya.
Hal ini sejalan dengan survei "The Future Jobs 2020" di mana sekitar 88 persen pengusaha memandang persoalan personal development harus mendapat perhatian serius di dunia pendidikan.
"Semoga ekosistem 3D (dream, design and deliver) yang ditawarkan Gerakan Sekolah Menyenangkan dapat memberikan kontribusi nyata bagi kualitas sumber daya manusia di Indonesia melalui perubahan pendidikan di akar rumput," harap Rizal.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/10/26/214948871/gerakan-sekolah-menyenangkan-revolusi-pendidikan-jawab-kebutuhan-kerja-masa