Oleh: Budi Widianarko | Anggota Pusat Kajian Pendidikan Tinggi Indonesia
Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik (APTIK) | Guru Besar Unika Soegijapranata
KOMPAS.com - Di awal masa jabatannya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, menggebrak dengan kebijakan “Merdeka Belajar - Kampus Merdeka” (Permendikbud No 3 Tahun 2020).
Kini Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah menerbitkan panduannya. Salah satu inti utama kebijakan itu adalah pemberian hak kepada mahasiswa untuk belajar tiga semester di luar program studinya.
Melalui program itu mahasiswa mendapat kesempatan luas untuk memperkaya dan meningkatkan wawasan serta kompetensinya di dunia nyata sesuai dengan minat dan kecintaan (passion) serta cita-citanya.
Asumsi yang melandasi kebijakan ini adalah bahwa pembelajaran dapat terjadi di mana pun, semesta belajar tak berbatas, tidak hanya di ruang kelas, perpustakaan dan laboratorium, tetapi juga di desa, industri, tempat-tempat kerja, tempat-tempat pengabdian, pusat riset, maupun di masyarakat.
Kelak, dalam pelaksanaannya mahasiswa dapat mengambil SKS di luar perguruan tinggi paling lama 2 semester atau setara dengan 40 SKS; dan dapat mengambil SKS di program studi yang berbeda di perguruan tinggi yang sama sebanyak 1 semester atau setara dengan 20 SKS.
Terobosan dan "tamparan"
Gebrakan Menteri Nadiem Makarim adalah langkah terobosan dan sekaligus “tamparan” bagi kalangan perguruan tinggi.
Ketika dunia pendidikan tinggi kita sedang sangat terobsesi oleh pemeringkatan dan luaran penelitian berupa publikasi di jurnal ilmiah, seorang Nadiem makarim malah hadir menawarkan gagasan kuliah lintas program studi dan penyetaraan pengalaman kerja terhadap perkuliahan.
Keniscayaan bahwa ilmu pengetahuan semakin terbuka terhadap perjumpaan lintas bidang (interdisciplinarity) sama sekali bukan barang baru bagi komunitas kampus.
Begitu pula, keniscayaan bahwa ilmu pengetahuan semakin multipolar – tidak hanya terpusat di perguruan tinggi – sebenarnya sudah sangat lama dan sering diperbincangkan di ruang-ruang perjumpaan dalam kampus.
Sayangnya ortodoksi keilmuan dan kekakuan birokrasi akademik telah mengunci sendi-sendi pergerakan keilmuan di kampus-kampus kita sehingga gagal mengakomodasi kedua keniscayaan itu.
Sungguh sebuah ironi ketika kemampuan “menerawang” kebuntuan akademik itu justru dimiliki oleh sosok Nadiem Makarim yang notabene tidak berasal dari dunia pendidikan tinggi.
Mungkin ungkapan “Gajah di pelupuk mata tidak tampak, kuman di seberang lautan tampak” dapat menggambarkan keadaan ini.
Lintas bidang; multidisiplin, interdisiplin hingga transdisiplin
Demi memahami kompleksitas suatu persoalan maka penggunaan berbagai disiplin ilmu adalah sebuah keniscayaan.
Kompleksitas hubungan antara sistem manusia dan sistem lingkungan dengan titik perhatian pada keberlanjutan (sustainability), misalnya, sangat mustahil dipelajari mengandalkan satu disiplin ilmu saja.
Dalam menguak kebenaran sebuah kompleksitas dapat digunakan tiga pendekatan, yaitu multidisiplin, interdisiplin dan transdisiplin.
Pendekatan multidisiplin
Pada pendekatan multidisiplin, sebuah fenomena kompleks dikaji dari berbagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Untuk fenomena perubahan iklim, misalnya, kajian mandiri berbagai disiplin ilmu dapat dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan iklim.
Peneliti budidaya pertanian dapat mempelajari dampak perubahan iklim terhadap produktivitas tanaman pangan tertentu.
Begitu pula, peneliti bisnis dapat mempelajari peluang pengembangan bisnis asuransi dengan adanya perubahan iklim atau peneliti klimatologi dapat mengembangkan model perubahan cuaca yang mengantisipasi perubahan iklim. Intinya, suatu fenomena yang kompleks – seperti perubahan iklim - dapat menjadi obyek berbagai kajian monodisiplin yang mandiri.
Pendekatan interdisiplin
Berbeda dengan pendekatan multidisiplin, pada kajian interdisiplin telah terjadi “dialog” antar disiplin dalam mengkaji sebuah fenomena kompleks.
“Dialog” tersebut terjadi melalui terbentuknya jembatan antar disiplin ilmu berupa peralihan metode, yaitu penerapan piranti kajian suatu disiplin diterapkan pada disiplin lain.
Banyak contoh pendekatan interdisiplin yang kemudian berkembang menjadi suatu disiplin baru, misalnya biokimia, psikolinguistik, ekotoksikologi dan sebagainya.
Biokimia adalah contoh bidang interdisiplin yang sangat gamblang karena merupakan irisan antara biologi dan kimia. Dengan kata lain, interdisiplin bisa melibatkan irisan lebih dari dua disiplin ilmu yang berbeda untuk menghasilkan sebuah disiplin baru.
Masih dalam kasus “keberlanjutan”, sebagai sebuah abstraksi baru ia tidak dapat dipahami secara utuh dengan pendekatan multidisiplin atau interdisiplin.
Pendekatan transdisiplin
Untuk mengukur “keberlanjutan”, misalnya, maka dibutuhkan peleburan berbagai disiplin ilmu – baik ilmu-ilmu alam, kesehatan, ilmu-ilmu sosial, rekayasa, informatika dan banyak lagi – untuk mengembangkan sebuah piranti pengukuran baru yang khas.
Dengan kata lain, tidak ada satu disiplin yang secara mandiri bisa menawarkan piranti untuk mengukur “keberlanjutan”.
Ia memiliki watak transdisiplin.
Dalam pembukaan Piagam Transdisiplinaritas yang diadopsi pada Kongres Transdisiplinaritas Dunia Pertama (Convento da Arrábida, Portugal, 2-6 November 1994) disebutkan bahwa secara inheren pendekatan transdisiplin mengakui keberadaan realitas dengan aras yang berbeda yang masing-masing diatur oleh jenis logika yang berbeda.
Pendekatan ini menawarkan pembangkitan data dan interaksi baru yang berasal dari perjumpaan antar disiplin, sehingga menawarkan visi baru tentang alam dan realitas.
Multipolar, bukan monopoli perguruan tinggi
Pendekatan transdisiplin juga sering diasosiasikan dengan pengutamaan manfaat penelitian bagi masyarakat.
Solusi yang dihasilkan oleh penelitian transdisiplin dapat diterapkan melalui proses yang
berorientasi pada tindakan oleh kelompok-kelompok yang terlibat dalam penelitian tersebut. Cara pelaksanaan penelitian yang demikian ini dikenal sebagai post-normal science, mode-2 thinking atau co-produced knowledge – yang mengutamakan partisipasi dan produksi pengetahuan untuk perubahan sosial (Stokols, 2006 dalam Toomey et al., 2015).
Dengan demikian, idealnya penelitian transdisiplin bukan saja meleburkan berbagai disiplin ilmu yang terlibat tetapi juga mengutamakan partisipasi warga dan perubahan sosial yang dihasilkan.
Partisipasi warga dalam pemecahan berbagai masalah aktual - melalui mekanisme mind-sharing atau crowd-sharing – juga semakin mewujud dan mengukuhkan pendekatan transdisiplin.
Ilmu pengetahuan dan teknologi sudah bukan lagi menjadi monopoli perguruan tinggi. Banyak keahlian yang berakar dalam pengalaman hidup warga. Begitu pula kebenaran ilmu pengetahuan dan teknologi mulai tersebar merata dalam masyarakat.
Dalam ungkapan Beth Simone Noveck (2016), Guru Besar Universitas New York, telah berlangsung pergeseran dari pakar "resmi" (credentialed experts) ke pakar "warga" (citizen experts).
Sangat boleh jadi, sebagian besar dari kita telah memanfaatkan berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dibagikan oleh "pakar warga" secara cuma-cuma di media sosial.
Perguruan tinggi sudah tidak bisa lagi mendaku sebagai pemegang monopoli riset dan ilmu pengetahuan.
Mungkin, hanya satu monopoli perguruan tinggi yang masih dapat dipertahankan, yaitu pendidikan peneliti karena otoritasnya dalam pemberian gelar akademik.
Perguruan tinggi harus menggeser haluannya, bukan lagi sebagai kutub utama pengetahuan, tetapi hanya merupakan satu dari banyak kutub dalam konstelasi ilmu pengetahuan yang multipolar.
Akhirnya tidak ada pilihan lain bagi perguruan tinggi untuk tidak ikut “menari” mengikuti irama genderang yang ditabuh oleh Menteri Nadiem, bukan karena jabatan Menterinya tetapi lebih pada kecerdikannya untuk mentransformasi dua keniscayaan tersebut menjadi sebuah kebijakan konkrit.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/11/05/120946071/kampus-merdeka-tamparan-dan-terobosan-dunia-pendidikan-tinggi-kita