KOMPAS.com - Anggaran belanja pendidikitan yang mengalami kenaikan 200 persen sejak 2002 hingga 2018, dinilai belum memberikan hasil optimal pada belajar siswa dan pemerataan kualitas pendidikan.
"Menurut laporan Bank Dunia tahun 2018 menyebutkan kesenjangan belajar di antara 50 persen siswa dari golongan masyarakat terbawah dan masyarakat teratas naik dua kali lipat dari satu tahun belajar pada tahun 2003 menjadi dua tahun belajar pada tahun 2015," ungkap pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), Muhammad Nur Rizal.
Data dan pernyataan ini disampaikan Rizal dalam "Workshop CEO SMK" yang digelar GSM dan Direktorat Kemitraan dan Penyelarasan Dunia Usaha dan Dunia Industri, Ditjen Vokasi Kemendikbud. Acara diikuti 500 kepala sekolah SMK dan berlangsung 15-19 November 2020, di Yogyakarta.
Rizal mengakui kenaikan anggaran tersebut telah memperluas akses pendidikan, terutama di antara anak-anak yang terpinggirkan, meningkatkan jumlah guru dan kualifikasinya melalui program sertifikasi, dan meningkatkan jumlah pendaftar ke sekolah sebesar 25 persen.
"Namun hasil belajar siswa kita tidak memenuhi target pembelajaran nasional yang telah ditetapkan Indonesia sendiri," tegasnya.
Kejar ketertinggalan 50 tahun
Lebih lanjut Rizal mengungkapkan data Bank Dunia tahun 2011 yang menyebut 40 persen siswa kelas 2 tidak dapat mengenali angka dua digit dan 50 persen siswa kelas 4 tidak dapat menyusun serangkaian angka empat digit, dan pembelajarannya tetap rendah saat siswa berpindah kelas.
"Bahkan menurut survey PISA (Program International Student Assessment) tahun 2019, kemampuan penguasaan literasi, berpikir analitis dan kemampuan memecahkan persoalan siswa kita, masih dibawah 19 poin dari perkiraan Bank Dunia," ungkap Rizal lebih lanjut.
Bahkan, tambahnya, Indonesia tertinggal 50 tahun untuk mengejar ketertinggalan tersebut, dibandingkan rerata negara OECD lainnya.
Melihat soal ini, Rizal menegaskan perlunya perubahan arah kebijakan politik pendidikan dan narasi bersama antara pemerintah pusat dan daerah untuk bergerak bersama meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaan di bidang pendidikan.
"Untuk itu, kami melihat langkah Ditjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud menggandeng Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) adalah dalam rangka untuk itu," ujarnya.
Hal ini bertujuan meningkatkan kualitas belajar siswa SMK melalui penciptaan ekosistem sekolah yang menyenangkan agar siswa termotivasi belajar secara terus menerus dan percaya diri menjadi diri sendiri dengan mengeluarkan talenta terbaik mereka.
"Acara ini adalah workshop pelatihan ekosistem sekolah yang menyenangkan kepada kurang lebih 500 kepala sekolah SMK yang terpilih dalam program Kepsek CEO agar memiliki mindset yang baru didalam memimpin dan mengelola SMK di era ke depan yang penuh perubahan tak menentu ini," jelasnya.
Indonesia, menurutnya, kini harus bekerja secara berbeda.
"Paradigma berpikir pejabat dan birokrasinya tidak boleh terpaku pada laporan monitoring yang diterima melalui Standar Pelayanan Minimum (SPM) dan Standar Pendidikan Nasional (SPN) yang tidak berkorelasi erat dengan pembelajaran siswa," kata Rizal.
Hal ini ia sampaikan mengingat banyak data dilaporkan tidak akurat atau bukan berdasarkan pengamatan langsung di lapangan.
GSM memandang, pendekatan pemenuhan administrasi itu harus diubah secara fundamental. Fokus kementrian pendidikan dan pemerintah daerah lebih pada aspek terukur dan teramati dari pembelajaran.
Hal ini akan mengirimkan sinyal ke seluruh sistem dan stakeholder bahwa pembelajaran itu penting, serta dapat memberikan informasi kepada sekolah tentang ke mana mereka harus memfokuskan perhatian guna meningkatkan hasil.
5 strategi bangun ekosistem belajar
Rizal menjelaskan perlunya menciptakan ekosistem pendidikan yang mendorong lahirnya 5 hal penting berikut;
1. Ruang otonomi siswa mengembangkan dirinya, membuat target belajarnya sendiri serta mampu untuk mengelola waktu dan membuat keputusan dalam menyiapkan masa depannya di sekolah. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan antusiasme murid di sekolah.
2. Pembelajaran yang lebih relevan atau otentik dan bertujuan pada penguasaan strategi belajar aktif dan teknologi untuk mengasah kemampuan memecahkan masalah nyata.
Jadi, ekosistem GSM akan mengalihkan fokus bukan pada penilaian "seberapa banyak ingatan dan pemahaman yang diperoleh siswa" karena situasi itu akan melahirkan budaya sekolah yang tak sehat bagi siswa, guru, dan orang tua
3. Ada ruang bagi passion dan talenta untuk berkembang. Guru yang selalu menanyakan kebutuhan siswa, mengamati dan mendampingi siswanya dalam mengembangkan bakat dan passionnya.
Bukan lagi budaya standarisasi yang memaksa anak harus belajar "hal yang sama" dalam "waktu yang sama" dengan "cara yang sama" karena akan berpotensi membunuh kodrat dasar manusia yang unik dan beragam.
4. Terdapat banyak pilihan dalam strategi belajar untuk membangun pembelajaran yang berpusat pada individu.
Pilihan ini akan membuat anak terbiasa berpikir fleksibel dalam mencari alternatif cara untuk memecahkan persoalan yang kompleks, sebagai ketrampilan yang paling dibutuhkan di era industri 4.0.
Anak menjadi merasa tidak sebagai obyek pembelajaran karena mereka senang , dan belajar menjadi “candu” bagi mereka untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.
5. Ekosistem belajar yang berorientasi pada anak, dimana pembelajaran berdasarkan perkembangan usia, mental dan talenta mereka yang berbeda. Interaksi akan terbangun lebih empatik dan saling apresiatif satu sama lain.
"Melalui ekosistem ini, diharapkan dapat memenuhi janji Presiden Jokowi pada periode kedua pemerintahannya, dimana ingin menitikberatkan pada pembangunan manusia Indonesia yang adaptif, kompetitif, inovatif dan produktif," harap Rizal.
Ia menambahkan, "masih banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan bangsa ini, tapi jika kita mampu bergerak bersama mengubah haluan pendidikan kita untuk melahirkan ekosistem sekolah yang menyenangkan."
"Dengan memberikan ruang bagi setiap individu bisa menemukan dirinya sendiri secara terus menerus, maka optimisme untuk bisa memanfaatkan bonus demografi dengan melahirkan generasi emas Indonesia akan terbukti seiring perjalanan waktu," pungkas Rizal.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/11/16/120757371/workshop-ceo-smk-gsm-kualitas-pendidikan-kita-tertinggal-50-tahun