Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Melawan Stigma "Anak Gifted", Noble Academy: Perlu Penanganan Khusus

KOMPAS.com - Semua anak adalah spesial. Namun, ada beberapa anak yang secara khusus membawa kecerdasan di atas rerata sehingga masuk dalam kategori jenius.

Kelebihan, atau gifted ini, terkadang membuat anak-anak dengan kecerdasan di atas rata-rata ini kurang dipahami lingkungan sekitar, kurang mendapat penanganan baik atau bahkan dianggap "bermasalah".

"Kekecewaan dan frustasi seringkali terjadi ketika idealisme mereka tidak tercapai. Ketika anak-anak gifted mencoba untuk mengutarakan keprihatinan ini ke orang lain, mereka biasanya mereka justru menerima reaksi dalam bentuk keheranan hingga kekasaran," ungkap Julie Jurisa, Ibu dari Niko, seorang anak gifted.

Julie menambahkan, "mereka merasa terisolasi dari teman-temannya dan mungkin juga dari keluarga."

Julie mengatakan, "setiap Minggu malam Niko selalu stres karena besoknya Senin Niko akan masuk sekolah biasa yaitu SD."  Julie menyampaikan, Niko tak bisa mengikuti pelajaran sekolah biasa itu, dan tak cocok dengan teman-temannya di sekolah itu.

"Sedangkan adik Niko yang perempuan Charis kelas IV SD bisa mengikuti pelajaran di sekolah biasa," cerita Julie.

Melawan stigma anak gifted

Ada pula kisah Joel, anak jenius dengan tingkat kecerdasan IQ 140. Ia pun mengakui dirinya punya masalah di sekolah. Saat datang ke Noble Academy dan mengikuti tes intelegensia dan diketahui IQ Joel di atas rata-rata.

Kemudian Joel mulai berpkir, mungkin ini sebabnya dirinya tidak cocok dengan teman-teman di sekolah, sebab Joel tidak mengerti teman-temannya dan teman-temannya tak mengerti Joel.

"Perbincangan ini membuat rasa bersalah saya semakin dalam. Betapa tidak? Begitu banyak dari kita yang tak pernah bersungguh-sungguh berusaha lebih kuat untuk memahami mereka," kata Joel.

Joel memiliki kemampuan di atas rata-rata atau jenius baik secara intelektual maupun kreativitas. Namun sayang, di sekolahnya dulu sering mendapat catatan merah dari guru.

Nilai raportnya selalu pas-pasan. Ia tak pernah serius mengerjakan tugas yang diberikan atau tak mau menyelesaikannya. Joel juga memiliki penilaian negatif terhadap guru dan sekolah. Ia sering menyalahkan mereka untuk nilai-nilainya yang rendah.

Menurutnya, pelajaran sekolah membosankan dan para guru tak cukup pandai.

Padahal, Joel merupakan remaja yang sangat kreatif dan produktif. Setidaknya sudah ada 6 karya ilmiahnya yang dituangkan dalam bentuk buku antara lain; "Effects of Climate Change Science Report", "Portopolio ART", "Projects", "Portopolio Language Arts", "Portopolio Psychology", "Project 49".

Psikolog dari Universitas Surabaya (Ubaya) Evy Tjahjono menyampaikan anak dengan talenta kecerdasan secara intelektual secara sosial ingin berada dalam kelompoknya. Namun, seringkali mereka "tidak nyambung" dengan rekan sebayanya.

"Anak-anak jenius ini punya ketidaksejajaran antara kemampuan mental mereka dengan emosional. Inilah yang membuat anak-anak gifted itu seringkali frustasi dengan kehidupan," ungkap Evy.

Ia melanjutkan, "mereka sudah bisa memikirkan jauh ke depan sementara orang lain belum memikirkannya tapi banyak yang tak memahami dirinya."

"Sungguh ini suatu kelebihan bukan kekurangan. Anak-anak ini sebuah anugerah karena ia punya potensi lebih yang diberikan Tuhan. Saya yakin dengan kelebihan yang mereka miliki, mereka dapat mengubah dunia," tegas Evy.

Inisiator dan Director Noble Academy Jakarta, Nancy Dinar menceritakan motivasinya mendirikan lembaga pendidikannya dilatarbelakangi keresahan sebagai seorang ibu dengan anak gifted.

"Dua anak saya cukup cerdas mereka tak bisa mengikuti pelajaran di sekolah biasa. Akhirnya saya buka lembaga pendidikan ini Noble Academy. Kurikulumnya dua yaitu kurikulum Nasional indonesia dan kurikulum Nasional Amerika," ungkap Nancy.

Ia mengatakan, berdasarkan data 67 persen anak gifted mengalami underachievement atau tidak ditangani dengan baik. Sementara di Indonesia diperkirakan sebanyak 2,6 juta anak Indonesia yang berpotensi gifted salah dalam penanganan.

"Meski sekarang banyak orang bicara soal underachievement tapi tidak ada sekolah yang bisa menampung mereka. Di sinilah kami mengambil andil," ujar Nancy Dinar.

Di balik segala keterbatasan pembelajaran jarak jauh akibat pandemik, ujar Nancy, seluruh Noblian (sebutan untuk civitas akademika Noble Academy) tetap bersemangat dan akhirnya bisa melanjutkan proses belajar mengajar.

Keberhasilan ini tidak lepas dari upaya Noble Academy dalam meningkatkan kompetensi guru, di antaranya dengan mengirim guru mengikuti training selama liburan semester, sehingga para guru mengantongi Apple Certified Teacher dan Google Certified Educator.

"Dengan demikian guru mudah mengikuti dan melakukan pengembangan teknologi dan gadget terkini," ujar Nancy.

Lebih jauh Nancy menyampaikan, hal lain yang menjadi sorotan pada tahun ajaran baru ini adalah penekanan pada passion project yang akan mengarahkan para siswa agar menghasilkan project berkualitas.

Nancy mengatakan, "passion project memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengeksplorasi minat dan bakat, mengaplikasi skill belajar."

"Harapannya, para anak gifted ini akan mampu menjawab tantangan karier di masa revolusi industri 4.0 yang tak hanya akan melenyapkan sejumlah jenis pekerjaan namun di sisi lain juga menghadirkan jenis pekerjaan baru," pungkas Nancy Dinar.

https://edukasi.kompas.com/read/2020/11/30/123705971/melawan-stigma-anak-gifted-noble-academy-perlu-penanganan-khusus

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke