KOMPAS.com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim menyatakan sekolah boleh melaksanakan pembelajaran tatap muka pada Januari 2021.
Kewenangan pembukaan sekolah, diterangkan Nadiem akan diserahkan langsung kepada pemerintah daerah (Pemda), sekolah, dan orangtua. Tiga komponen ini menjadi kunci diselenggarakannya pembelajaran tatap muka atau tidak.
Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Bayu Satria Wiratama mengatakan, keputusan untuk memulai pembelajaran tatap muka di sekolah perlu melibatkan sejumlah pihak, mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, dan juga pakar epidemiologi.
Langkah tersebut, lanjut dia, diperlukan untuk membantu merumuskan langkah-langkah yang perlu diambil di masing-masing daerah, mulai dari asesmen kesiapan hingga manipulasi infrastruktur, karena pengambilan keputusan ini tidak cukup didasarkan pada zonasi risiko Covid-19.
"Zonasi kurang bagus akurasinya, perlu ditambah dengan parameter lain seperti positivity rate juga," terang Bayu dalam keterangan tertulis di laman resmi UGM, Kamis (3/12/2020).
Positivity rate sendiri, terang dia, diharapkan berada di bawah angka 5 persen. Namun, indikator ini perlu dilihat dari masing-masing daerah, bukan indikator secara nasional.
"Dan ini salah satunya selain jumlah yang di-tracing, juga jumlah kasus aktif, jumlah kasus baru, ketersediaan tempat tidur di rumah sakit, dan lainnya," imbuh dia.
Sekolah tatap muka di Januari bisa jadi belum tepat
Bayu berpendapat keputusan pemerintah memperbolehkan pembelajaran tatap muka pada Januari mendatang dapat dikatakan belum tepat jika melihat Covid-19 di Indonesia secara umum saat ini.
Namun, ia menyebut bahwa untuk dapat menakar kesiapan hal ini perlu dilihat dari kondisi di setiap provinsi, kabupaten, atau kota.
"Karena ada daerah yang memang kasusnya dari awal sedikit dan tergolong bagus, mungkin di situ bisa dipertimbangkan," jelasnya.
Menurutnya, protokol umum Covid-19 seperti menjaga jarak, mengenakan masker, dan mencuci tangan tak cukup. Diperlukan sejumlah protokol tambahan.
Protokol itu berupa pengawasan harian kondisi murid, guru dan orang tua murid, pengaturan jam kelas menjadi lebih pendek, pengaturan posisi duduk di kelas dan ruang guru, serta bagaimana memastikan setiap kelas memiliki ventilasi yang baik.
Terlebih untuk anak-anak yang lebih muda. Ia mengatakan perlu asesmen yang lebih detail untuk pembukaan sekolah pada jenjang SD dan jenjang pendidikan di bawahnya, karena lebih sulit untuk memastikan setiap siswa dapat tetap menerapkan protokol kesehatan.
“Anak usia SD ke bawah yang paling susah untuk menggunakan masker. Jadi, tingkat kesulitannya memang lebih tinggi dibandingkan dengan SMP dan SMA," jelasnya.
Sementara untuk jenjang perguruan tinggi, pemerintah daerah setempat perlu berkoordinasi dalam melakukan pengawasan terhadap mahasiswa yang akan memasuki daerah tersebut.
Semua mahasiswa yang akan datang ke suatu daerah menurutnya wajib melakukan karantina mandiri selama 14 hari.
“Kemudian jika memastikan akan melakukan perkuliahan, perlu mempersiapkan kondisi ruang kuliah, pengawasan mahasiswa terkait dengan gejala, komunikasi dengan Dinas Kesehatan, dan lain sebagainya,” kata Bayu.
https://edukasi.kompas.com/read/2020/12/03/151244471/soal-pembukaan-sekolah-2021-pakar-ugm-harus-melibatkan-epidemiolog