KOMPAS.com - Pandemi membawa keajaiban-keajaiban baru dalam menterjemahkan imajinasi ke dalam inovasi.
Qantas Australia menjadi maskapai besar pertama mengumumkan program 'flight to nowhere'. Program baru itu diumumkan bulan September 2020, dan saat awal Oktober penjualan tiket dimulai, 134 kursi ludes terbeli dalam waktu sepuluh menit.
Tiket termurah AUD 575 dan termahal AUD 2,765. Dalam program itu, penerbangan dilakukan dalam waktu 7 jam, take off dari Sydney, dan landing kembali di Sydney. Tujuh jam, nowhere. Penumpang di ajak melihat secara fly-by pulau-pulau di kawasan Uluru hingga Great Barrier Reefs.
Pembaca bisa membayangkan pesawat modern berbadan lebar 787 Dreamliner terbang dengan ketinggian 'hanya' 1.300 meter di atas daratan dan permukaan laut.
Ini adalah penerbangan mirip dengan safari di taman nasional Krueger atau Kalahari di Afrika, di mana bus wisatawan menjelajah taman margasatwa tersebut di antara lalu lalang puluhan singa, hyenna, gajah dan kawanan ratusan banteng liar.
Inilah "safari angkasa" yang saya maksud. Jeli melihat peluang, sekaligus bernyali mengeksekusinya.
Belajar dari Vietnam, Thailand dan China
Pandemi telah menghantam sektor pariwisata global.
Tak hanya maskapai yang terpukul: jaringan hotel besar dan kecil, restauran, tempat wisata alam dan seni (museum, cultural landmark) serta usaha jasa transport lokal yang selama ini menopang gegap gempita industri pariwisata.
Semuanya babak belur. Ribuan pemandu wisata tiba-tiba mendapati diri mereka tak punya pekerjaan.
Tiba-tiba seorang pengusaha muda, Sandiaga Uno, diumumkan oleh Presiden Jokowi menjadi Menteri Parekraf (Pariwisata dan Ekonomi Kreaftif).
Nomenklaturnya sudah tepat: pariwisata dan ekonomi berbasis kreatifitas, imajinasi, dan tentu saja intellectual property. Tiga kata kunci penting hari-hari ini di hampir semua industri.
Sandiaga Uno, barangkali ini adalah sosok yang memang memiliki kapasitas untuk menggabungkan ketiganya.
Lebih dari dua dekade malang melintang di dunia bisnis, sosok muda ini tahu betul bahwa terobosan inovasi di berbagai sektor industri adalah suatu keniscayaan, dan bisa jadi ini adalah jawaban atas kekosongan gagasan mengenai harus diapakan industri pariwisata Indonesia saat ini.
Sektor pariwisata tidak bisa menjadi silo, stand alone issue, yang seolah bersakit-sakit lalu bersenang-senang sendirian.
Vietnam misalnya. Vietnam jelas ngebut kalau soal terobosan pariwisata. Nyatanya sepanjang tahun 2019 lebih dari 18 juta wisatawan asing masuk ke Vietnam dengan memberi devisa bagi negara sebesar 33 milyar dollar.
Jumlah penduduk Vietnam sekitar 100 juta di akhir tahun 2019. Itu artinya jumlah wisatawannya di tahun itu sekitar sebesar 18 persen dari jumlah penduduknya.
Apakah Vietnam lalu ngebut hanya mengkampanyekan industri pariwisatanya? Tidak.
Dalam dua dekade terakhir justru pariwisata bergerak bersama industrialisasi moderen Vietnam. Puluhan pabrikan global berduyun-duyun memindahkan pusat-pusat produksi ke Vietnam secara bertahap. Tak hanya wisman masuk, tapi juga ekspat dan keluarga mereka.
Bagaimana dengan Thailand? Secara tradisional Thailand memang sudah jauh di depan kita kalau soal pariwisata, sementara industri otomotifnya termasuk kelas raja di kawasan Asia Tenggara.
Lain halnya dengan China. Pesisir China telah melengkapi wisata budaya dengan wisata 'Silicon Valley' versi China mulai dari Beijing, Shanghai, Hanzhou, Shenzhen, hingga Guangzhou.
Beberapa agen perjalanan global bahkan membuat program 'Innovation Tour' ke China, sebuah gabungan dari banyak aktivitas bagi eksekutif perusahaan dan keluarganya selama seminggu dua minggu mengunjungi perusahaan-perusahaan teknologi di pesisir China.
Tidak hanya aspek bisnis, acara dilanjutkan pula dengan main golf di berbagai resort yang aduhai, lalu mengunjungi tempat-tempat yang secara tradisional disebut 'tujuan wisata sejarah dan budaya China'.
Satu perjalanan wisata yang menjual semuanya tentang China yang modern sekaligus China klasik yang usianya 4000-5000 tahun. Sim salabim! Berhasil!
Kebijakan Parekraf perlu selaras
Selaras dengan apa? Selaras dengan keseluruhan kebijakan pemulihan perekonomian nasional tanah air.
Sebagai negara kepulauan -archipelagic- ragam budaya masyarakat masing-masing wilayah akan menyajikan kekhasan tersendiri: tarian, karya seni masyarakat, corak cara berkehidupan, kuliner, dan tentu saja kontur lansekap wilayah yang menawarkan ketakjuban tak kunjung henti.
Mari saya bandingkan dengan Vietnam lagi. Secara kultur besar, Vietnam hanya terbagi atas Vietnam bagian Utara dan Vietnam bagian Selatan. Tentu sub kultur tetap terdapat banyak di masing-masing bagian, juga dialek bahasanya.
Bagaimanapun juga Vietnam adalah tanah daratan utuh dengan beberapa pulau kecil di pesisirnya. Bukan archipelagic. Namun meski tampak tak banyak yang ditawarkan, Vietnam tetap bisa mengemas pariwisatanya dengan sangat efektif.
Tidakkah angka USD 33 milyar dalam satu tahun berbanding dengan GDP Vietnam di tahun yang sama sebesar USD 262 milyar adalah angka yang menunjukkan betapa pentingnya kontribusi pariwisata terhadap ekonomi Vietnam?
Bagaimana dengan Indonesia? Di tahun yang sama, GDP Indonesia mencapai USD 1,119 milyar, sementara devisa pariwisata tercatat Rp. 280 triliun atas setara dengan USD 20 milyar (1 USD = Rp. 14,000).
Begitu kecilnya. Jadi bagaimana kita bisa menyelaraskannya?
Koordinasi antar sektor. Apakah sudah pernah dilakukan? Sudah dan belum optimal. Program Creating the New Bali adalah contohnya.
Empat dari sepuluh kawasan yang dicanangkan sedang berjalan: Kawasan Danau Toba, Labuan Bajo, Candi Borobudur dan yang terkini, Mandalika.
Mandalika adalah contoh yang baik, karena sektor wisata ini melibatkan wisatawan penggemar olahraga otomotif dengan dibangunnya sirkuit MotoGP. Namun apakah hanya akan berhenti di situ?
Jangan. Mandalika bisa menghadirkan lebih banyak hal: pantai yang eksotis, kuliner yang dikemas dengan pendekatan festival rutin bersamaan dengan ragam budaya lokal. Jangan sampai Mandalika hanya didatangi wisatawan setahun sekali.
Candi Borobudur? Memang tidak ada pantai yang bisa ditawarkan di sana, tetapi tidakkah kita tetap bisa menghadirkan convention center bercorak desain etnik untuk acara tahunan Tourism Summit, dengan museum hi-tech yang menampilkan visualisasi Indonesia atas 'Sembilan Bali' yang lain?
Tidakkah itu promosi dengan edifikasi yang cerdik? Bayangkan saat anda sedang berada di Borobudur, anda sudah 'diiming-imingi' juga keindahan Labuan Bajo, Danau Toba, Raja Ampat dan tempat-tempat eksotik lainnya?
Saat tulisan ini dibuat, Morotai yang masuk dalam radar kebijakan 'Bali Baru' sedang menggenjot dirinya dengan kawasan industri moderen terpadu. Kawasan ini kaya akan wisata alam. Sangat pas dan cerdik.
Tetapi bagaimana memaparkan kepada calon wisman akan kekontrasan Morotai sebagai tujuan wisata eksotik bagi turis sekaligus tujuan investasi bagi pabrikan global untuk berlabuh di kawasan industrinya?
Monash University adalah kampus asing pertama di Malaysia. Lokasinya tak main-main, di kawasan Petaling Jaya di mana destinasi wisata moderen Sunway Lagoon berada, pun beberapa kampus dan berbagai mall lainnya di wilayah itu juga bertebaran.
Orang Indonesia, Vietnam, Filipina, dan wilayah regional Asia Tenggara serta Selatan cukup belajar di kampus prestisius tersebut tanpa perlu melanglang buana ke kampus pusatnya di Melbourne, Australia.
Bukankah mahasiswa asing di Monash Malaysia adalah wisatawan bagi Sunway Lagoon dan mall-mall yang berserakan di kawasan itu?
Semoga seorang Sandiaga Uno yang cukup visioner berbisnis mampu menterjemahkan visi parisiwasta Indonesia dengan cerdik dan menyatu selaras dengan strategi pemulihan ekonomi dari sektor-sektor yang lain.
Semper Fi!
https://edukasi.kompas.com/read/2021/01/25/111344771/inovasi-parekraf-dan-pemulihan-multi-sektor