Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Mendobrak Pengajaran Dogmatis dengan Pendidikan Bernalar

KOMPAS.com - Sekitar dua tahun yang lalu, pada satu kedai kopi di pasar Cihapit, Bandung, saya berkesempatan diskusi dengan guru besar jurusan matematika ITB Prof. Iwan Pranoto. Saya sempat bercerita mengenai betapa tidak becusnya saya dalam pelajaran matematika.

Sejak kecil, saya sudah terpapar cerita-cerita mengenai pelajaran matematika yang tidak mudah, dan guru-guru matematika yang terkenal angker.

Orangtua dan kedua kakak saya tidak ada yang menyukai matematika. Bahkan kata Ibu saya, beliau bertemu Bapak saya karena bolos pelajaran matematika. Saking takutnya bertemu matematika lagi, ibu saya memutuskan untuk tidak lanjut kuliah.

Walau sebenarnya, saat SD, nilai matematika saya tergolong lumayan, mungkin karena hitungannya juga masih sangat dasar. Baru menginjak SMP dan SMA, saya menyadari mungkin saya memang tidak punya bakat dalam ketrampilan berhitung, dalihnya karena ‘keturunan’.

Karena merasa terbelakang dalam pelajaran ini, saya minta ke orangtua untuk mencari guru les privat matematika, yang menurut saya cukup efektif karena sangat membantu dalam proses belajar secara intens.

Bagi saya saat itu, matematika adalah ilmu berhitung dengan rumus-rumus pasti yang harus dihapal. Pelajaran dengan orientasi hasil, prosedurnya pasti, dan begitu pula dengan jawabannya.

Bila tidak hapal rumusnya, atau lupa tahapan menyiasati hubungan antar bilangan, sudah pasti celaka. Guru matematika tidak mau tahu.

Murid yang tidak bisa meneruskan tahapan dalam rumus yang diajarkannya, harus berdiri di depan kelas sambil memegang kapur tulis, sampai jam pelajarannya berakhir, atau bila sedang beruntung, teman sekelas yang pandai akan menggantikan posisi untuk menyelesaikan soal tersebut.

Barangkali, bukan saya saja yang pernah merasakan pengalaman berdiri di depan papan tulis karena tidak bisa menyelesaikan soal matematika tersebut.

Sekarang, ketika pekerjaan saya adalah mengajar dan mulai memahami bagaimana metode belajar, saya mulai menyadari ketertinggalan saya pada pelajaran ini bukan hanya berasal dari kemampuan saya.

Namun hal ini terjadi lebih pada ketidakmampuan saya menyerap prosedur materi yang diberikan secara tunggal.

Pengajaran dogmatis

Saya adalah produk dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), yang metode pengajarannnya juga tidak berbeda jauh dengan kurikulum peninggalan orde baru di mana pengajaran berpusat pada guru.

Sebagai sentral, guru sendiri tidak menyadari bahwa yang diajarkan adalah wacana yang tunggal dan mutlak. Tidak ada referensi rumus lain yang mungkin lebih mudah dipahami oleh murid lainnya.

Jangankan berani untuk menanyakan alternatif cara, bisa dipastikan sebagai murid yang bingung saat itu akan tertuju pada buku tulis, sok sibuk, pura-pura mengerti dengan penjelasan sang guru.

Ketika itu, pertanyaan ‘kenapa’ mungkin harus dikubur dalam-dalam. Pun hal ini tidak hanya dalam pelajaran matematika.

Pada pelajaran yang seharusnya diajarkan penalaran seperti rumpun ilmu pengetahuan sosial, murid malah dijejali bacaan yang seragam untuk dihapal.

Seperti identitas pahlawan beserta tanggal lahir, tanggal dan tahun perang yang dipimpinnya. Bukan pada hal substansial seperti nilai-nilai apa yang diperjuangkan dalam perang hingga menalar relevansinya dengan kondisi yang sekarang.

Dalam pembelajaran di kelas, guru bukan dewa penentu kebenaran. Guru bukan pula hakim yang memutuskan satu pernyataan salah atau benar.

Akan tetapi, kenyataannya, beberapa guru kerap terjebak dalam skenario yang menyuapkan ilmu pengetahuan secara satu arah, seakan dirinya merupakan sumber utama kebenaran.

Hal seperti ini yang membuat pendidikan menjadi dogmatis di akar rumput, bahkan jika kurikulum baik, tetap praktik pengajarannya akan menjadi dogmatis.

Pendidikan bernalar

Pada prinsipnya, ilmu pengetahuan bukan ada pada guru semata, melainkan ada pada setiap pelajar dan gurunya. Guru hanyalah pemandu belajar, seperti pemandu wisata, yang mendampingi setiap pelajar untuk mengembangkan sendiri talentanya. (Pranoto:2020).

Namun, bila ditelaah lebih lanjut, cara mengajar guru hampir seragam seperti di atas, berarti guru juga menjadi produk dari gagalnya kurikulum pedagogi. Kata pedagogi diturunkan dari bahasa latin yang berarti mengajari anak.

Kurikulum pedagogi hanya diajarkan pada kampus pendidikan pencetak produk guru. Meski nyatanya tidak ada jaminan bahwa guru dari kampus pendidikan bisa memberikan alternatif metode dan ilmu pengetahuan pada muridnya.

Di negara kita, ada tiga kurikulum yang diimplementasikan pada daerah-daerah yang berbeda, yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Kurikulum 2013, dan Kurikulum 2013 revisi.

Mengingat kondisi infrastruktur Indonesia yang tidak merata, ditambah cara belajar anak yang beragam, adanya tiga kurikulum yang dijalankan di tempat-tempat berbeda bukanlah hal yang buruk.

Bahkan, kurikulum yang berbeda mungkin bisa mengantar pada teknik pedagogi yang lebih menjunjung tinggi diferensiasi pada peserta didik.

Kurikulum beragam bisa jadi hulu yang inklusif, yang mengalirkan metode dan ilmu pengetahuan majemuk pada peserta didik yang menjadi hilir dari sebuah pendidikan bernalar.

https://edukasi.kompas.com/read/2021/02/08/193340371/mendobrak-pengajaran-dogmatis-dengan-pendidikan-bernalar

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke