KOMPAS.com - Anak-anak merupakan peniru ulung. Bisa saja apa yang biasa dilakukan orangtua, akan ditiru atau bahkan memengaruhi tumbuh kembangnya.
Selain hal positif yang bisa ditiru, hal negatif yang dilakukan orangtua tentunya juga membawa dampak tidak baik bagi anak.
Salah satunya jika anak biasa mendengar atau melihat kedua orangtuanya bertengkar. Meski masih kecil, anak memiliki daya rekam yang memengaruhi perkembangannya di masa remaja dan dewasa nanti. Bahkan anak sudah memiliki daya rekam terkait peristiwa yang terjadi mulai dari usia 3 tahun.
Menurut Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto, ada 4 kemungkinan atau kecenderungan bagi anak yang sering melihat orangtuanya bertengkar atau adanya tindakan kekerasan dalam rumah tangga.
Dampak negatif terhadap anak
Jika pelaku kekerasannya adalah ayah, maka anak laki-laki bisa meniru atau akan sadar bahwa itu tidak baik.
Bagi anak perempuan, dampak yang ditimbulkan juga akan berbeda. Anak perempuan akan memiliki persepsi negatif pada laki-laki, pacar atau suami. Selain itu, anak perempuan juga bisa mengalami trauma untuk pacaran dan menikah.
Kemungkinan lain bisa terjadi jika pelaku kekerasannya adalah sosok ibu. "Dampak negatif bagi anak laki-laki akan memiliki persepsi negatif terhadap perempuan atau istri. Atau dia akan trauma untuk pacaran atau menikah," kata Suprapto kepada Kompas.com, Jumat (12/2/2021).
Bagi anak perempuan, berpotensi meniru atau dia justru sadar bahwa kelak dia tidak boleh melakukannya.
Suprapto menerangkan, jika tindak kekerasan dilakukan baik oleh ayah maupun ibu juga akan memengaruhi tumbuh kembang si anak. Bagi anak lelaki, bisa saja ia tumbuh dengan persepsi pada perempuan akan cenderung negatif. Selain itu dia juga bisa saja meniru tindakan kekerasan yang biasa dilakukan kedua orangtuanya.
"Terlalu sering melihat kedua orangtua juga bisa menyebabkan anak menjadi trauma," imbuh Suprapto.
Dampak negatif yang sama juga terjadi bagi anak perempuan. Saat remaja atau dewasa, dia bisa saja meniru, memiliki persepsi negatif terhadap pria. Selain itu juga muncul kemungkinan anak akan sadar jika perbuatan tersebut (melakukan kekerasan) adalah tindakan yang tidak baik.
Harus berada di lingkungan yang positif
"Tapi 4 kemungkinan itu bisa berubah jika anak mendapat lingkungan yang positif atau mendapat edukasi yang positif dari orang lain," papar Suprapto.
Menurut Suprapto, anak yang berasal dari keluarga yang sering bertengkar, jika dia memiliki sifat introvert maka dia berpotensi banyak diam di lingkungan teman sebayanya.
Tapi jika dia bersifat ekstrovert maka dia akan mendominasi aktivitas di lingkungan pertemanan sebayanya.
"Namun potensi tersebut bisa larut jika di dalam peer group-nya didapati anak atau teman panutan yang memiliki Emotional Quotient (EQ) baik," imbuh Suprapto.
EQ baik itu ditandai dengan beberapa tanda:
"Dampak negatif pada anak bisa saja hilang jika terjadi intensitas interaksi positif. Hal ini sangat berperan dalam mengedukasi anak," beber Suprapto.
Suprapto menambahkan, beberapa kemungkinannya yang bisa terjadi antara lain:
1. Pertama, anak dari keluarga dengan latar belakang yang tidak baik, ada pertengkaran dan kekerasan dalam rumah tangga jika berada di lingkungan negatif akan memperburuk tumbuh kembangnya jadi pribadi yang tidak baik.
2. Kedua, anak dari keluarga dengan latar belakang tidak baik, jika berada di lingkungan yang positif bisa menjadi positif.
3. Ketiga, anak dari keluarga dengan latar belakang baik, jika berada di lingkungan yang positif pasti akan bertahan melakukan dan bertumbuh kembang dalam atmosfer positif.
4. Keempat, anak dari keluarga dengan latar belakang baik dan positif, jika berada di lingkungan yang buruk bisa saja terbawa melakukan kegiatan yang negatif," tutup Suprapto.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/02/12/155404771/sering-bertengkar-di-depan-anak-ini-dampaknya-menurut-sosiolog-ugm