KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 selama satu tahun terakhir ini membuat proses pendidikan terpaksa dilakukan secara daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Namun, banyak siswa tidak bisa mengakses belajar secara virtual karena terkendala akses pada ponsel dan infrastruktur internet.
Tidak semua daerah, mendapat infrastruktur internet, gawai yang memadai. Jika siswa tersebut tinggal di wilayah perkotaan, maka saat ia belajar daring tidak banyak menghadapi kendala. Beda cerita bagi siswa di pelosok pedesaan atau daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Mereka lebih kesulitan mengakses pembelajaran daring dan mau tidak mau, seringkali ada materi yang tertinggal.
Apalagi, dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat akibat pandemi sekarang ini menyebabkan adanya penurunan kualitas kemampuan linguistik pada anak karena guru tidak bisa menyampaikan materi ajar secara kontekstual.
Guru harus berinovasi
Oleh karena itu, guru diminta untuk melakukan improvisasi dan inovasi dalam memberikan materi belajar yakni membangun interaksi dengan siswa meski dilakukan secara daring.
Bukan sekadar menyerahkan tugas kepada siswa lewat grup media sosial. Hal itu patut dilakukan untuk terus mengasah kemampuan berbahasa pada anak selama pandemi. Apalagi, setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda.
"Kalau melihat dari sisi pendidikan dan pengajaran, banyak terjadi distorsi materi ajar karena hanya dipahami secara tekstual yang seharusnya guru bisa membangun secara kontekstual," kata Pakar Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Sailal Arimi, dilansir dari laman resmi UGM.
Menurut dia, dalam kondisi normal seorang guru bahasa bisa mengajarkan materi secara kontekstual.
Namun lantaran secara daring bahkan tidak semua siswa belajar secara virtual, menyebabkan penyerapan materi ajar lebih bersifat tekstual, sehingga besar kemungkinan terjadi penurunan pengajaran bahasa atau penurunan kemampuan linguistik.
Menyiasati kondisi ini, ia mengusulkan agar guru banyak melakukan inovasi dan modifikasi agar interaksi dengan siswa bisa terbangun.
Sebab, proses belajar mengajar tidak hanya transfer pengetahuan, namun juga mampu mengubah perilaku dan karakter siswa.
"Jika selama ini hanya mengirimkan perintah mengerjakan tugas sehingga kehilangan konteks. Yang ada hanya teks. Memang murid membaca buku tematik, namun guru tidak hadir di situ," ungkapnya.
Bangun interaksi secara virtual
Meski kondisi pandemi yang mengharuskan guru dan murid menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak, maka salah satu yang bisa dilakukan membangun interaksi secara virtual.
Ia menilai jika siswa SMP dan SMA bisa melakukan kegiatan belajar daring lewat aplikasi pertemuan virtual. Namun berbeda dengan siswa SD. Untuk itu perlu membentuk grup di aplikasi pesan dalam batas waktu tertentu.
"Di aplikasi pesan itu bisa menerapkan umpan balik antar siswa dan guru. Bila ada feedback dan diskusi diberi penilaian dengan waktu setengah atau satu jam. Waktu belajar bisa gantian guru-gurunya," jelasnya.
Sailal mengatakan, agak maklum dengan adanya kegiatan belajar mengajar secara daring di mana pendampingan dari guru digantikan orangtua.
Otomatis, tidak sedikit para orangtua yang merasa kewalahan dan mengeluh dikarenakan mau tidak mau harus belajar kembali untuk memahami dan menguasai materi pelajaran si anak.
"Akibatnya guru sebagai role model untuk belajar budi pekerti bahasa yang baik akibat pandemi ini menjadi jauh berkurang," ungkapnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/02/27/165009971/pakar-linguistik-ugm-kemampuan-siswa-menurun-selama-belajar-daring