Oleh: Armiwati | Dosen FKIP Universitas Jambi, Fasdos Tanoto Foundation
KOMPAS.com - Dalam peringatan Hari Perempuan Internasional, dunia lebih mudah mengenang dan mengenang sosok heboh dan luar biasa dari "Wanita si Tangan Besi" Margaret Thatcher dari Inggris, Corazon Aquino dari Filipina, atau Aung San Suu Kyi dari Myanmar.
Namun jauh di Desa Santanamekar Cisayong di tanah Pasundan juga dikenal "perempuan bertangan besi", Mak Eroh peraih Kalpataru.
Dengan kegigihannya, tangannya seperti besi menggali bukit batu untuk saluran air sepanjang lima kilometer melintasi perbukitan di lereng Gunung Galunggung pada 1987.
Kondisi sulit dialami warga tidak ada sumber air untuk persawahan teratasi dengan sempurna menjadi ijo royo-royo.
Mak Eroh telah terlebih dahulu berjuang, "mencuri start" sebelum orang lain memulai. Namun, hampir tidak pernah dikenal. Mak Eroh adalah perempuan tangguh pejuang hajat hidup orang banyak. Mak Eroh pejuang sumber air untuk pertanian dan kehidupan.
Menghadirkan sekilas contoh yang sangat kecil perempuan istimewa dan ibu sebagai tokoh impersonal yang mengingatkan kita bahwa banyak perempuan di luar sana yang namanya hampir tidak dikenal adalah pejuang pendidikan baik formal maupun informal.
Membangun kecerdasan afektif
Salah satunya adalah Ibu Guru Sairah pejuang pendidikan formal, sekaligus pejuang informal Bahasa Ibu. Sairah merupakan Guru SDN 1 Simpang Sender, dusun damai yang diapit dua provinsi yang bertetangga Lampung dan Sumatra Selatan.
Disitulah Ibu Guru Sairah mengabdikan hidupnya sebagai guru, dengan setia menunggu siswa kelas awal untuk berangkat bersama ke sekolah melewati beberapa dusun.
Memutar beberapa kali menelusuri jalan setapak mendaki dan menurun harus dijalani untuk menghindari sungai kecil berarus deras.
Setiap pagi wajah cerianya dan suara riuh menghiasi jalan setapak dusun demi dusun menuju sekolah. Saat siswa memasuki kelas tinggi, senyum sumringah Sairah melambaikan tangan berpisah di simpangan jalan.
Siswa mungil telah menjadi siswa kelas tinggi, minta izin di persimpangan jalan memisahkan diri untuk berani menyebangi kali kecil bersama yang lain agar lebih dahulu sampai ke sekolah.
Sairah telah terlebih dahulu mengembangkan dan membentuk kecerdasan afektif: sikap empati terhadap kawan yang kesusahan, disiplin agar tidak ditinggal rombongan, saling menghargai seperti sabar menunggu giliran dan kebersamaan.
Pembentukan pola perilaku sosial melalui sikap simpati, berbagi, bekerja sama dan mandiri melalui pemodelan dan learning by doing sudah dilakukan dalam perjalanan pulang dan pergi sekolah selama bertahun-tahun.
Sairah hampir tidak pernah dikenal. Hanya ada dalam memori murid-murid yang menyayanginya.
Mengamati perilaku murid kelas rendah di desa dipinggiran Sungai Batanghari teringat akan sosok Ibu Guru Sairah. Perjuangan Ibu Sairah semakin menginspirasi untuk berusaha menjadi lebih baik.
Bahasa Ibu, "jembatan awal" pendidikan
Ini baru potret awal menjelang pembelajaran di sekolah yang dilakukan Ibu Sairah. Hanya bagian kecil dari awal tugas pokoknya. Ibu Sairah sudah terlebih dahulu "mencuri start" dalam pembelajaran.
Dia sudah mulai proses pembelajaran di perjalanan sebelum proses pembelajaran di sekolah dimulai. Berbicara "mencuri start" ada yang luput dari pandang mata yaitu Ibu dan Bahasa Ibu.
Pemerintah mencanangkan bahasa ibu dapat digunakan di kelas rendah/awal.
Penggunaan bahasa ibu ini membantu dan memberikan kemudahan pada anak penutur tunggal yang belum fasih menggunakan bahasa resmi negara yaitu bahasa Indonesia untuk memahami pelajaran sesuai dengan usianya.
Bahasa ibu dapat menunjang inklusivitas dalam pendidikan. Bahasa ibu dapat menjembatani proses pembelajaran dan penyampaian materi secara multilingual untuk kelas awal bagi anak-anak penutur homogen menuju transisi penggunaan bahasa resmi dalam pembelajaran.
Dalam hal ini ibu sudah terlebih dahulu "mencuri start".
Ibu adalah orang yang pertama mengajarkan bahasa ibu. Ibu mungkin tidak menguasai ilmu bahasa secara teori; fonologi, morfologi semantik, sintaksis dan lain-lain, keterampilan berbahasa; menyimak, berbicara, membaca dan menulis, dan mungkin tanpa mengenal ilmu pedagogi, ibu terlebih dahulu mencuri start mengajarkan semua ini pada anaknya.
Ibu adalah guru bahasa ibu yang sukses. Mungkin tanpa mengenal ilmu sastra dan ragam sastra ibu telah terlebih dahulu mengenalkan sastra lisan seperti mendongeng, berpantun, peribahasa dan lain-lain pada anaknya jauh sebelum program Bahasa Ibu dicanangkan pemerintah.
Ibu telah "mencuri start" dalam pembelajaran Bahasa Ibu dan mengenalkan sastra lisan dari generasi ke generasi melalui pemodelan dan learning by doing.
Menelusuri peran dan perjuangan perempuan di sektor pendidikan maupun sektor kemasyarakatan lewat sosok Mak Eroh dan Ibu Guru Sairah dapat membuka mata akan makna perjuangan perempuan yang sebenarnya dalam kehidupan.
Perhatian pada pejuang pendidikan atau pejuang hajat hidup orang banyak yang dilakukan masyarakat, yayasan filantropi atau perorangan adalah subuah keberpihakan dan kepeduliaan yang membuat ibu pertiwa bangga dan tersenyum.
Selamat berjuang perempuan, perjuanganmu belum selesai.
Tulisan ini didedikasikan untuk mengenang jasa Ibu Guru Sairah yang telah meninggal pada akhir tahun 1980-an.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/03/08/172529471/hari-perempuan-internasional-dari-margaret-thatcher-ke-ibu-guru-sairah