KOMPAS.com - Hampir setahun program belajar dari rumah (BDR) sebagai dampak pandemi global Covid-19 telah menimbulkan dampak dalam dunia pendidikan Indonesia. Salah satu kekhatiran muncul adalah terjadinya learning proverty.
Learning poverty adalah kondisi ketidakmampuan anak pada usia 10 tahun dalam membaca dan memahami cerita sederhana.
Bank Dunia memprediksi learning poverty secara global akan meningkat sebesar 10 persen dan Indonesia mungkin akan mengalami dampak lebih besar, khususnya di daerah Indonesia timur.
Data bank dunia khusus di Indonesia, learning poverty akan terjadi sebesar 35 persen karena di akhir SD tapi tak bisa membaca.
Data ini diungkapkan oleh pengagas Gerakan Sekolah Menyenangkan, Muhammad Nur Rizal, dalam acara Kita Bicara yang digelar TVRI Yogyakarta pada Selasa, 9 Maret 2021.
"Jika hal ini terus terjadi, akan berdampak pada kualitas membaca atau memahami teks anak-anak dan dalam jangka panjang akan menurunkan kemampuan kompetensi yang dibutuhkan di dunia kerja," ujar Rizal.
Mewaspadai learning poverty
Selain itu, Rizal juga mengungkap fakta lain sebagai dampak dari PJJ (pembelajaran jarak jauh) yang perlu diwaspadai. Rizal mengutip data dari KPAI yang menyebut 79,9 persen proses pembelajaran PJJ dilakukan tanpa interaksi sehingga mengakibatkan anak stres dan lelah.
"Guru hanya memberikan dan menagih tugas tanpa ada interaksi belajar bahkan tidak ada penjelasan materi. Alpa interaksi ini menyebabkan anak kebingungan dalam mengerjakan tugas," ungkapnya.
Hal ini mengakibatkan, tambahnya, menyebabkan 76,7 persen anak menyatakan tidak senang dengan PJJ.
Rizal mengatakan, selama PJJ ini masih berorientasi pada akademik dan tugas, hal ini mengakibatkan kebutuhan koneksi internet dan infrastruktur gawai sangat tinggi. Padahal anak miskin atau di desa memiliki permasalahan dengan hal tersebut.
"Pandemi semestinya menjadi titik balik pendidikan. Kalau pendidkan masih menyeragamkan dan hanya fokus pada kemampuan akademik, apapun strategi PJJ akan tetap menyulitkan karena disparitas infrastruktur," tegas Rizal.
Ia mengatakan, "akibatnya, terjadi jurang kesenjangan yang sangat tinggi antara anak-anak di kota dan desa. Kesenjangan ini mengakibatkan learning poverty yang lebih riskan dialami oleh masyarakat miskin maupun yang tinggal di pulau terluar."
Artinya, PJJ berpotensi untuk membuat siswa yang berasal dari keluarga miskin dan terpinggirkan semakin tertinggal.
"Sehingga, learning poverty ini krusial untuk segera ditangani karena akan berdampak pada kemampuan dasar pembelajaran selanjutnya yang lama kelamaan akan mengakibatkan defisit SDM di Indonesia," kata Rizal mengungkapkan kekhawatirannya.
Merubah paradigma pendidikan
Untuk itu, Rizal terus mendorong penataan kembali arah pendidikan Indonesia. GSM menyarankan kementerian mengubah paradigma pendidikan.
Menurutnya, penyeragaman dan kepatuhan kepada konten akademik harus ditrasnformasi pada pendidikan yang lebih mengembangkan penalaran kritis dan empati sosial tinggi untuk membangun siswa agar mereka menjadi lebih bahagia, sekaligus kompetitif di era ke depan.
"Perubahan paradigma ini harus dilakukan secara holistik dengan mengubah berbagai macam regulasi yang mendorong penguasaan konten akademik yang berlebihan seperti dihapusnya Ujian Nasional serta berbagai macam bentuk ujian lainnya," jelasnya.
Metode asesmen siswa, tambah Rizal, perlu segera digantikan dengan model evaluasi yang berbasis umpan balik terkait proses belajar siswa.
"Agar kebijakan ini sejalan maka perlu koordinasi yang intensif antara pemerintah pusat dengan daerah agar kebijakan dapat dijalankan dengan benar dan baik," tambahnya.
Salah satu upaya yang dilakukan GSM untuk mengatasi permasalahan PJJ adalah membuat kurikulum berbasis rumah dan komunitas yang disebut Home Based Learning (HBL), yang bertujuan memberikan pendidikan yang sumber belajarnya berbasis persoalan di rumah dan masyarakat.
Merdeka Belajar yang digagas Mas Menteri, ujar Rizal, semestinya jika dioperasionalkan secara tepat di lapangan, tidak membuat guru dan siswa tergantung pada gawai dan kuota.
"Ketika goals berubah, orientasi kurikulum (juga) berubah. Sumber belajar tidak hanya dikurikulum tapi bisa melalu pemecahan berbagai persoalan yang ada dalam kehidupan dan masyarakat. Jadi walau tidak punya gawai atau akses tetap memiliki sumber belajar. Ini esensi dari Merdeka Belajar," tegas Rizal lagi.
Kurikulum alternatif Home Base Learning
Hal ini akan berdampak baik karena guru bisa menciptakan ekosistem bagi siswa untuk belajar memahami persoalan nyata di sekitarnya tetapi dengan cara-cara ilmiah dan berbasis procedural knowledge.
Untuk memberikan feedback terhadap proses belajar siswa, guru bisa melakukan kunjungan ke rumah siswa atau mengadakan pertemuan seminggu sekali dengan jumlah siswa terbatas untuk mendiskusikan proses belajar yang baru tersebut.
Baru-baru ini, Direktorat SMA Kemdikbud RI dan GSM bekerjasama membuat video HBL untuk dibagikan ke seluruh SMA di Indonesia di mana ditemui anak dan orangtua lebih senang dengan proses belajar HBL karena merasa tidak terbebani dan justru semakin antusias di dalam melakukan proses pembelajaran yang berbasis proyek dan persoalan nyata.
Guru merasa memiliki banyak metodologi pembelajaran serta lebih interaktif sehingga guru tidak terpaksa membebani murid dengan tumpukan tugas.
Anak, guru dan orang tuatidak lelah dan senang dengan proses pembelajaran HBL. HBL ini juga diterapkan di GSM tidak hanya sekolah di kota, tetapi juga di sekolah desa dan pinggiran dari tingkat SD – SMA/SMK.
Sehingga HBL ini juga dapat membantu untuk menutup kesenjangan pendidikan tanpa harus melakukan PJJ yang konvensional.
"Tujuan pendidikan bukan untuk mengisi pengetahuan, melainkan mampu menuntun harkat manusia yaitu; rasa ingin tahu yang tinggi, rasa berimajinasi untuk berinovasi dan keberagaman potensi minat bakat," jelas Rizal.
Ia menambahkan, "alternatif kurikulum HBL ini menunjukkan siswa ternyata menjadi lebih mandiri, antusias, adaptif, dan termotivasi dalam belajar meskipun dalam kondisi pandemi. Selain itu, keterampilan sosial dan komunikasi dapat terbangun dalam menyelesaikan proses pembelajaran yang terjadi."
"Kompetensi inilah yang justru dibutuhkan agar anak-anak produktif dan kompetitif di era disrupsi ke depan. Hal ini sekaligus menandakan bahwa pandemi sebenarnya bisa menjadi titik balik untuk mengubah paradigma pendidikan serta bagaimana kita menata kembali pendidikan yang lebih adaptif untuk masa depan anak-anak kita," pungkasnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/03/09/220143671/muhammad-nur-rizal-gsm-pandemi-mestinya-jadi-titik-balik-paradigma