KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 di Indonesia sudah berlangsung satu tahun lebih. Lambat laun, masyarakat mulai membiasakan diri dengan kondisi pandemi Covid-19.
Namun pandemi yang berlangsung cukup lama juga berdampak negatif pada kesehatan mental seseorang.
Tak hanya kesehatan mental anak dan remaja saja yang rentan terganggu.
Tapi kesehatan mental kalangan orangtua juga berisiko terganggu karena adanya pandemi berkepanjangan ini.
Menurut Pakar dari Fakultas Psikologi Universitas Padjdjaran (Unpad) Hendriati Agustiani, faktor psikologis menjadi isu penting yang tidak luput untuk diperhatikan dalam situasi pandemi Covid-19.
Dampak pandemi terhadap kesehatan mental
Hendriati mengatakan, dampak psikologis adanya pandemi ini seperti kaitannya dengan emotional distress dan disrupsi social.
"Dampak psikologisnya cukup luas. Situasi pandemi dapat memunculkan ketakutan berlebihan stigmatisasi dan xenophobia yang merupakan respon terhadap situasi sulit ini. Diikuti juga dengan kemungkinan adanya perilaku maladaptif, emosi dan reaktif defensive," kata Hendriati dalam Kegiatan Satu Jam Berbicanng Ilmu yang diadakan Unpad, Sabtu (3/4/2021).
Dia menekankan, mengingat dampak kesehatan mental yang disebabkan situasi pandemi cukup besar, ada pembelajaran yang bisa diperoleh manusia pada umumnya.
Situasi pandemi, lanjut Hendriati, sebenarnya sudah beberapa kali terjadi dan juga menimbulkan korban jiwa tak sedikit.
Pandemi akibatkan motivasi menurun
Timbulnya situasi darurat nasional ini menyebabkan pembatasan sosial, kewaspadaan ekstra terhadap kebersihan diri dan lingkungan hingga kebijakan isolasi.
"Situasi pandemi ini mencabut rutinitas kita dan mengakibatkan motivasi kita menurun. Hal ini membuat persoalan besar baik untuk anak-anak maupun orangtua," jelas Hendriati.
Aspek yang terguncang akibat pandemi menurut penelitian Lora Park dari University of Buffalo, antara lain otonomi (autonomy), kompetensi (competence) dan hubungan (relationship).
Dia menegaskan, dampak pandemi yang perlu diperhatikan yakni kesehatan mental pada anak.
Penelitian di Jerman menyebut, sebanyak 2/3 remaja berusia 7-17 tahun memiliki quality of life yang lebih rendah dibandingkan sebelum ada pandemi.
Selain itu ada peningkatan terhadap kesehatan mental dan tingkat kecemasan pada remaja.
"Anak-anak dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah dan tempat tinggal yang lebih sempit, cenderung terdampak lebih signifikan dalam hal kesehatan mental. Jurnal ini meski dilakukan di Jerman namun relatif hampir sama di seluruh negara," tegas Hendriati.
Kesehatan mental anak dan remaja terganggu
Dia menambahkan, orangtua menilai anak mereka mengalami ketidakpastian, ketakutan dan terisolasi selama pandemi.
Terdapat juga temuan terhadap anak-anak sulit tidur nyenyak, mimpi buruk, tidak nafsu makan dan mengalami separation related anxiety.
Selain itu kegiatan belajar dan bermain yang terus dilakukan di rumah berkaitan dengan ketidakpastian dan kecemasan dikarenakan pembatasan terkait aktivitas fisik dan kesempatan bersosialisasi di sekolah.
"Rutinitas anak juga dapat terganggu karena tidak adanya kegiatan yang terstruktur seperti di sekolah. Anak-anak cederung menjadi irritable (lekas marah), clingy (melekat), mencari perhatian dan lebih tergantung pada orangtua karena adanya pergeseran rutinitas," imbuhnya.
Perlu membangun kehangatan keluarga
Dari permasalahan kesehatan mental pada anak yang ditimbulkan karena pandemi, ada satu hal yang bisa dilakukan keluarga.
Yakni, membangun kehangatan di rumah. Hal ini juga bukan persoalan gampang bagi orangtua.
Pasalnya, orangtua juga dihadapkan dengan pekerjaan atau melakukan work from home sekaligus mendampingi anak-anak mereka di rumah.
"Orangtua juga butuh suatu struktur atau keteraturan. Membangun kehangatan bisa memberikan rasa aman bagi anak untuk melakukan aktivitas sehari-hari di rumah. Tugas utama orangtua memang jadi lebih besar dibandingkan sebelum pandemi," ungkap dia.
Kelekatan anak dengan orangtua perlu dibangun agar anak tidak merasa tak berdaya.
Selain itu juga kelenturan seseorang untuk bangkit dari peristiwa atau tantangan berat perlu dimiliki semua orang dalam kondisi ini.
"Dalam kondisi terpuruk tapi bisa bangkit lagi. Kita perlu mengubah mindset bahwa kondisi ini suatu tantangan yang harus diwaspadai. Meski kita terpuruk tapi harus bangkit karena semua harus berjalan," tandas Hendriati.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/04/06/201648171/pandemi-berdampak-pada-kesehatan-mental-anak-ini-kata-pakar-unpad