KOMPAS.com - Bappenas memberi dukungan besar kepada Perpusnas untuk mengintegrasikan sisi hulu dan hilir literasi dalam konteks pemulihan ekonomi dan reformasi, terutama di masa pandemi ini.
Dukungan ini disampaikan Subandi Sardjoko, Deputi Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Bappenas yang menilai literasi, kreativitas, dan inovasi sebagai pilar penting perwujudan masyarakat Indonesia yang maju dan berdaya saing.
“Secara khusus di masa pandemi ini, bagaimana peran literasi sangat penting, tidak hanya soal membaca, tapi juga mengaktualisasikan pengetahuan itu untuk meningkatkan kehidupan,” katanya," ujar Subandi.
Pentingnya peran literasi sebagai daya ungkit ekonomi dan sosial mengemuka dalam gelar wicara yang digelar Perpusnas bertajuk “Integrasi Penguatan Hulu dan Hilir Budaya Literasi dalam Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Sosial” (20/4/2021).
Selain itu, Bappenas juga mendorong gerakan literasi berbasis iklusi sosial, di mana pengetahuan yang diperoleh dari bahan bacaan bisa langsung dipraktekan dalam kehidupan sehari-hari guna mendapatkan manfaat ekonomi.
Bukan malas baca
Dalam kesempatan sama, Kepala Perpustakaan Nasional (Kaperpusnas), Muhammad Syarif Bando kembali menegaskan Indonesia hanya kekurangan bahan bacaan, bukan malas membaca.
Ia mengungkapkan data, penduduk Indonesia berdasarkan data BPS kurang lebih 270 juta jiwa, sementara jumlah bahan bacaan yang Perpusnas data di semua jenis perpustakaan umum (bukan di sekolah, perguruan tinggi, atau di rumah) adalah 22 juta.
"Artinya, rasio buku dengan total penduduk belum mencapai satu buku per orang/tahun 0,098. Sedangkan, di benua Eropa dan Amerika rata-rata sanggup menghasilkan 20-30 buku per orang setiap tahun," ungkapnya.
"Angka ini cukup menguatkan bahwa orang Indonesia bukan malas membaca, tapi ketersediaan buku yang kurang," tegas Syarif Bando.
Ie menjelaskan, anak-anak tidak membaca buku karena berbagai faktor. Pertama, akses ke buku cukup sulit. Karena bila masyarakat disodori buku-buku yang sesuai, mereka akan sangat senang membaca.
“Faktor kedua yang menyebabkan minat baca Indonesia rendah, yakni bukunya jelek-jelek. Jadi bukan salah orang Indonesia-nya yang malas membaca, tapi salahkan bukunya yang kebanyakan tidak menarik, bahkan sebagian merusak imajinasi anak,” jelasnya.
Menurutnya, akibat buku terbitan dalam negeri kurang menarik, anak-anak di banyak daerah menjadi gandrung dengan buku-buku terbitan/terjemahan dari luar negeri yang lebih memikat.
Disinilah letak kekhawatiran, karena anak-anak bisa terasing dari lingkungannya sendiri.
Banyak anak-anak di daerah yang lebih tahu soal hewan-hewan di belahan bumi lain ketimbang hewan-hewan di lingkungannya, dikarenakan mereka kekurangan suplai buku asli terbitan dalam negeri.
“Anak-anak lebih fasih berbicara tentang beruang kutub atau dinosaurus, ketimbang tentang kuda Sumba karena banyak dijumpai di buku-buku terjemahan. Tapi kalau tentang kuda Sumba atau tentang elang Jawa, harusnya ditulis oleh orang Indonesia sendiri yang lebih menarik,” tambahnya.
Empat tingkatan literasi
Syarif Bando juga mengklasifikasi empat tingkatan literasi, yang menurutnya ampuh membantu memulihkan ekonomi dan reformasi sosial, terutama di masa pandemi saat ini.
Tingkatan tersebut yang pertama, tersedianya akses kepada sumber-sumber bahan bacaan baru yang terbaru (up to date). Kedua, kemampuan memahami bacaan secara tersirat dan tersurat. Ketiga, kemampuan menghasilkan ide-ide, gagasan, kreativitas dan inovasi baru.
Dan keempat, literasi adalah soal kemampuan menghasilkan produk barang dan jasa yang bermanfaat bagi khalayak.
Ia mengatakan, “transformasi layanan dari Perpusnas berbasis inklusi sosial mampu menjawab keresahan dan kekhawatiran masyarakat saat situasi pandemi Covid-19."
"Keterlibatan peran masyarakat lewat bermacam aktivitas transformasi pengetahuan atau transfer knowledge, seperti pelatihan, tutorial, dan pendampingan kegiatan yang memiliki nilai ekonomis,” tambahnya.
Terkaitnya hal itu Kaperpusnas menyampaikan pihaknya memberikan pendampingan pilihan ekonomi masyarakat yang dikehendaki lalu mencarikan informasi agar bisa dipraktekkan sehingga akhirnya mampu membangun usaha mikro sekelas home industry.
"Perpustakaan nasional dengan program perpustakaan berbasis inklusi, sudah membuktikan bahwa masyarakat termarginalkan bisa menghasilkan usaha sekelas home industry yang paling rendah," ungkap Syariuf Bando.
Menurutnya, ini adalah potensi luar biasa yang harus direspon, karena cocok dengan potensi sumber daya melimpah yang ada di sekitar masyarakat bermukim.
“Literasi ini adalah kita menemui orang-orang termarjinalkan untuk belajar bersama dengan buku-buku ilmu terapan, dengan internet, sampai mereka berdiri di atas kaki sendiri,” pungkasnya mengingatkan.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/04/20/213518871/bappenas-dan-perpusnas-perkuat-fungsi-literasi-sebagai-daya-ungkit-ekonomi