KOMPAS.com - Rencana pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas yang dikukuhkan melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri diharapkan menjadi momentum mengubah paradigma pendidikan.
"PTM menjadi momentum melakukan reorientasi paradigma pendidkan memasuki era tidak menentu dengan perubahan yang cepat," tegas Muhammad Nur Rizal penggagas dan pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan dalam konferensi pers yang diinisiasi Fortadik (Forum Wartawan Pendidikan) bekerja sama dengan Biro Kerjasama Hubungan Masyarakat (BKHN) Kemendikbud (17/4/2021).
Rizal mengatakan, "perubahan ini harus dimaknai sebagai titik balik dunia pendidikan. Kebosanan dan rasa stres ini harus menjadi pangkal awal paradigma pendidikan kita berubah agar anak lebih engaged (terlibat)."
Isu kesehatan mental siswa
Dalam kesempatan tersebut, Rizal mengutip data KPAI yang mencatat 80 persen siswa mengalami kebosanan dan stres yang tinggi akibat pembelajaran yang minim interaksi dan hanya berorientasi pada penyelesaian capaian kurikulum.
"Hal ini menandakan bahwa belum ada keseriusan untuk mengetahui dampak langsung yang dialami siswa, baik secara mental, karakter maupun pengetahuan yang dapat mengakibatkan learning loss yang berakibat fatal pada lost generation," tegas Rizal.
Padahal, Pemerintah sudah mengeluarkan SKB 4 Menteri yang mengatur bagaimana pembelajaran tatap muka sebaiknya dilaksanakan. "Tetapi, tanpa dasar hasil asesmen yang terukur, dikhawatirkan proses PTM tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang dialami siswa," tambah Rizal.
Hal ini yang menjadi perhatian Nur Rizal, pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, dalam forum tersebut sehingga semakin menegaskan perlunya reorientasi arah kebijakan pendidikan yang baru.
"Semua upaya perbaikan PTM harus berhamba pada siswa, bukan semata-mata untuk memenuhi kepentingan pemerintah," ujar Rizal.
Yang paling besar, dalam penilaian Rizal, adalah krisis kesehatan mental siswa. Hal ini semakin diperparah sebagai dampak pandemi yang menyebabkan siswa tidak bisa bertemu dengan teman-temannya.
"Maka, hal yang harus menjadi titik fokus perhatian pemerintah dan stakeholder pendidikan adalah upaya mengatasi rasa bosan siswa tersebut. Jika tidak, maka akan berdampak ke persoalan mental lainnya," jelasnya.
Rizal menambahkan, "bahkan yang lebih besar adalah rendahnya motivasi untuk selalu belajar."
Ekosistem belajar berorentasi siswa
Dalam forum tersebut, Rizal mengingatkan, tujuan perombakan kurikulum beserta strategy delivery yang baru adalah untuk menumbuhkan rasa senang belajar di sekolah.
Sehingga, asesmen yang menjadi perhatian utama pemerintah ke depan adalah terciptanya ekosistem yang memfasilitasi dan lingkungan belajar yang menyenangkan.
"Ekosistem itu mengarahkan guru untuk menjadi fasilitator yang menuntun kodrat anak-anak selama belajar sehingga mereka bisa menemukan versi terbaiknya masing-masing serta mampu menemukan solusinya sendiri dalam memecahkan persoalan nyata," ujarnya.
Rizal melanjutkan, "hal ini harus menjadi kaidah usul (alasan mendasar) paradigma pendidikan kita harus diubah. Isu ini harus menjadi narasi utama bangsa ini dalam mengadaptasi sistem pendidikannya untuk memenuhi kebutuhan perubahan masa depan."
Dalam pemaparannya, Rizal mengatakan, organisasi OECD menetapkan arah pendidikan ke depan harus berorientasi pada wellbeing siswa, yaitu keseimbangan intelektual, mental, fisik dan sosial.
"Untuk mencapai hal tersebut, maka Indonesia perlu melakukannya dengan pertama kali mengatasi rasa kebosanan siswa itu dengan proses belajar yang menyenangkan agar mereka kasmaran belajar," kata Rizal.
"Jika anak kita kasmaran, maka motivasi belajarnya muncul dari dorongan internal diri, bukan faktor eksternal," ujarnya memberikan gambaran.
Sehingga, Nur Rizal mengusulkan untuk menghentikan (unlearn) cara-cara lama dan melakukan penataan ulang (relearn) cara-cara baru untuk mencapai tujuan pendidikan di masa depan, dalam hal ini wellbeing siswa.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/04/20/223112971/nur-rizal-pembelajaran-tatap-muka-jadi-momentum-ubah-paradigma-pendidikan