Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

41 Tahun Perpusnas: Menolak Stigma Orang Indonesia Malas Membaca

KOMPAS.com - Memperingati ulang tahun ke-41, tepat pada 17 Mei, Perpustakaan Nasional RI (Perpusnas) mengadakan gelar wicara dengan tema “Integrasi Penguatan Sisi Hulu dan Hilir Budaya Literasi dalam Pemulihan Ekonomi dan Reformasi Sosial”.

Dalam acara yang digelar Pusat Analisis Pengembangan Perpustakaan dan Pengembangan Budaya Baca di Jakarta, Kepala Perpusnas Muhammad Syarif Bando kembali menepis anggapan bahwa orang Indonesia malas membaca.

"Faktanya tidak demikian. Budaya literasi di Indonesia sudah jauh tinggi," ungkap Syarif Bundo.

Ia menjelaskan, salah satu fakta yang bisa menjelaskan adalah bukti peninggalan sejarah pada abad ke-2 di Kerajaan Kutai Kartanegara, lalu berlanjut ke Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, dan peradaban yang tercipta pembangunan Candi Borobudur pada 724 Masehi.

Sedangkan, di belahan benua lain pada abad ke- 15, Christopher Colombus baru menemukan benua Amerika, lalu Abel Tasman menemukan Selandia Baru abad 16.

“Artinya, negara-negara Eropa selalu mengakui Indonesia sebagai negara tertua seribu tahun dari mereka. Bagaimana bisa kita katakan Indonesia mempunyai budaya baca yang rendah?,” tanya dia.

Maka, jika banyak penelitian menunjukkan bahwa budaya Indonesia rendah, itu hanya persoalan ketersebaran buku yang belum merata ke berbagai pelosok daerah. Bayangkan saja, ujar Syarif, satu buku ditunggu 90 oleh orang untuk dibaca.

“Indonesia hanya kekurangan buku. Merujuk ketentuan UNESCO, Indonesia masih kekurangan 500 juta buku yang harus didistribusi,” tambahnya.

Digitalisasi Perpusnas

Maka pada tahun ini, Perpusnas makin gencar meminta para pelaku di sisi hulu untuk menulis. Para pakar, dosen, guru bisa menulis buku sebanyak mungkin untuk disebarluaskan ke seluruh negeri.

Hilir dari proses literasi ini adalah penciptaan barang dan jasa baru. Ia menekankan bahwa Indonesia harus menjadi negara produsen, bukan hanya pemakai.

Di sisi lain, Syarif Bando mengajak semua masyarakat yang mengalami imbas pandemi untuk datang ke perpustakaan di setiap daerah agar bisa diberikan stimulan dan pelatihan lewat program transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial.

Dari data yang dicatat Kaperpusnas, 30 juta warga Indonesia telah kehilangan pekerjaannya karena pandemi ini.

Melalui program perpustakaan berbasis inklusi sosial ini nantinya diharapkan mereka akan mampu menciptakan lapangan pekerjaan sesuai dengan keahlian dan modal yang mereka punyai. 

Program ini mendapat dukungan dari anggota Komisi X DPR, Putra Nababan yang menegaskan pada momen pandemi Covid-19 seperti saat ini, digitalisasi konten perpustakaan yang digiatkan Perpusnas sejak 2015 sangat dinikmati pada masa-sama sulit ini.

“Data BPS menunjukkan ada peningkatan literasi, meski sedikit, tapi ini cukup signifikan. Apalagi pada saat pemerintah memberikan bantuan pulsa pada murid, dosen dan guru, fasilitas layanan perpustakaan itu dinikmati,” kata Putra.

Maka itu sebagai seorang legislator, Putra meminta Perpusnas untuk terus mengusahakan gerakan literasi dengan maksimal, meski mengalami pembatasan dan pemotongan anggaran, yang sebagian besar dialifungsikan untuk penanggulangan bencana pandemi Covid-19.

“Program transformasi ini harus didanai, harus dibuat masif, karena ini solusi. Catatannya, harus berkolaborasi dengan UKM dan ekonomi kreatif, karena membaca itu sudah arahnya ke sana,” sambung Putra Nababan.

Syarif Bando menjelaskan Perpusnas menjadi salah satu lembaga negara yang paling siap dalam menghadapi pandemi Covid-19 karena sejak 2015, Perpusnas sudah memulai bermigrasi ke konten digital.

“Alhamdulilah, dua tahun belakangan ini, Perpusnas telah menjadi perpustakaan terbaik dunia dalam menyajikan jurnal ilmiah,” katanya.

Pernyataan ini diperkuat data bahwa sudah 6,5 juta orang pengguna aktif dalam konten digital Perpusnas yang mengakses 3 - 4 miliar artikel ilmiah.

Namun, data Perpusnas menyebutkan baru 30 juta penduduk Indonesia yang familiar dengan digitalisasi konten ilmu pengetahuan. Dari angka itu, 6,5 juta orang diantaranya mengaku tidak bisa memisahkan hidup mereka dari ilmu pengetahuan berbasis digital.

“Itu artinya, masih terdapat kesenjangan 240 juta penduduk Indonesia yang belum terkoneksi. Ini ruang yang harus dibangun bersama,” kata Syarif Bando.

https://edukasi.kompas.com/read/2021/05/17/204416171/41-tahun-perpusnas-menolak-stigma-orang-indonesia-malas-membaca

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke