Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Fenomena Marah Berlebihan di Muka Umum, Ini Kata Psikolog Unpad

KOMPAS.com - Lebaran di tengah pandemi memiliki banyak cerita. Salah satunya larangan mudik yang menyebabkan banyak orang tak bisa pulang ke kampung halaman. Sejumlah pemudik ada yang "tertangkap" kamera sedang marah-marah diminta diputar balik Polisi, menjadi viral di berbagai platform media sosial.

Menanggapi fenomena ini, pakar psikologi Universitas Padjadjaran Ahmad Gimmy Pratama mengatakan, kondisi tersebut bisa diakibatkan oleh sejumlah faktor.

“Dalam psikologi, marah itu adalah perilaku. Jadi, semua yang berkaitan dengan perilaku bisa dilihat latar belakangnya,” ungkap Gimmy seperti dirangkum dari laman Unpad, Selasa (19/5/2021).

Perilaku marah seseorang, kata dia, dapat dilatarbelakangi aspek personal dan lingkungan.

Kepala Departemen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Unpad itu menerangkan, dari aspek personal, marah dipengaruhi sistem psikofisiologis. Mulai dari tingkat ketahanan fisik hingga kemampuan berpikir, mengelola emosi, serta kemampuan individu dalam membaca nilai-nilai yang ada di sekitar.

Sementara aspek lingkungan, perilaku marah dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, cuaca, hingga reaksi lingkungan sosial maupun lingkungan fisiknya.

Dipicu frustasi

Jika dikaitkan dengan peristiwa pemudik yang marah-marah saat ditegur Polisi, Gimmy menjelaskan hal tersebut bisa diakibatkan oleh luapan emosi yang mengendap saat pemudik melakukan perjalanan.

Kondisi lalu lintas yang macet ditambah fisik yang lelah dan cuaca panas akan membuat emosi seseorang mengendap. Sehingga ketika menghadapi hambatan selanjutnya, emosi yang mengendap tersebut akan bisa meledak.

“(Pemudik) mengalami frustasi. Adanya kebijakan penghambat akhirnya frustasi menimbulkan agresi dan menimbulkan kondisi yang tidak menyenangkan,” papar Gimmy.

Meski demikian, marah juga dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam mengendalikan dirinya. Karena itu, tidak semua orang akan langsung marah saat menemui kondisi serupa. Selama aspek rasionalnya masih ada, kemampuan orang dalam mengendalikan emosinya akan lebih baik.

Tak cukup dengan minta maaf

Gimmy menyayangkan bila tindakan pemudik yang marah tersebut hanya berakhir dengan permintaan maaf. Hal ini, kata dia, tidak membuat seseorang menjadi lebih matang dan jera.

Ia mengatakan efek jera harus diberikan kepada pelaku. Pasalnya, reaksi marah berlebihan akan berdampak buruk. Salah satunya jika reaksi tersebut dilihat langsung oleh anak kecil.

“Kalau anak kecil melihat reaksi-reaksi tersebut, maka nanti dia akan berpikir bahwa kalau kesal boleh demikian. Itu yang mengkhawatirkan,” tuturnya.

Sehingga, ia menyarankan perlu dikendalikan dan diberi punishment (hukuman). Hukuman yang diberikan tidak perlu dilakukan hukuman kurungan penjara, melainkan sanksi sosial.

Polisi sebaiknya melakukan pendekatan restorative justice atau pendekatan yang menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan atau keseimbangan bagi pelakunya.

“Jangan hanya minta maaf lalu selesai. Harusnya ada hukuman sosial, seperti bersih-bersih kantor polisi atau kerja sosial lainnya. Biar orang melihat bahwa pelaku tersebut dihukum,” ujarnya.

Cara kelola amarah

Gimmy mengatakan, perilaku marah bisa dikelola dengan baik. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengenali situasi dan menyiapkan tindakan antisipasi.

Pandemi Covid-19 mendorong seseorang harus bisa menyiapkan sejumlah tindakan antisipatif. Salah satunya menerima adanya kebijakan pembatasan mobilitas.

Dengan mengenali situasi dan menyiapkan tindakan antisipasi, diharapkan emosi yang keluar akan jauh lebih layak.

Jika emosi berlebihan telanjur keluar, seseorang perlu menyampaikan permintaan maaf. Namun, permintaan maaf tersebut perlu dibarengi dengan konsekuensi yang harus ditanggung.

“Harus diperlihatkan bahwa tingkah laku tersebut adalah salah dan perlu menerima konsekuensinya,” kata Gimmy.

Terakhir, kata Gimmy, seseorang perlu membiasakan diri untuk mampu mengungkap emosi dengan cara yang pantas. Namun, hal ini tidak bisa secara instan, butuh proses yang panjang dan komitmen tinggi untuk bisa mengelola emosi dengan baik.

Bahkan, Gimmy menganjurkan agar proses kelola emosi ini sudah dilatih sejak dini.

“Biasakan untuk berpikir apakah marah ini benar atau tidak. Itu yang harus dilatih dan tidak bisa serta merta langsung pintar,” pungkasnya.

https://edukasi.kompas.com/read/2021/05/19/122705271/fenomena-marah-berlebihan-di-muka-umum-ini-kata-psikolog-unpad

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke