KOMPAS.com - Setiap anak memiliki potensi berbeda-beda, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Anak dengan keterbatasan fisik, psikis atau kemampuan otak yang berbeda, sejatinya memiliki potensi asalkan cara mengasahnya dilakukan dengan tepat.
Itulah mengapa, mendeteksi kemungkinan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) harus dilakukan orangtua sesegera mungkin, bahkan sejak dua tahun pertama kehidupan, agar anak bisa mendapatkan terapi yang tepat.
Pasalnya, anak ABK tetap memerlukan penanganan untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya.
Hanya saja, proses deteksi dini anak dengan kebutuhan khusus bagi masyarakat Indonesia saat ini masih tergolong awam. Masih banyak orang tua yang belum peka terhadap deteksi dini anak dengan kebutuhan khusus.
Demi meningkatkan kesadaran orang tua dalam proses pendeteksian dini untuk anak dengan kebutuhan khusus, Sekolah Cikal berkolaborasi dengan RSIA Bunda Jakarta menggelar Webinar Cikal Bincang-Bincang bertemakan “Mendeteksi Anak Berkebutuhan Khusus Sejak Dini."
Psikolog sekaligus Tim Program Akademik Pendidikan Inklusi Cikal Vitriani Sumarlis mengatakan, proses pendeteksian dini untuk anak dengan kebutuhan khusus itu alangkah baiknya dilakukan sesegera mungkin.
“Dalam proses pendampingan tumbuh kembang anak, proses pendeteksian dini untuk anak dengan kebutuhan khusus itu alangkah baiknya dilakukan sesegera mungkin artinya semakin segera semakin baik (The sooner the better)," paparnya dalam Webinar Cikal dan RSIA Bunda Jakarta bertema “Mendeteksi Anak Berkebutuhan Khusus Sejak Dini", beberapa waktu lalu.
Bagi Vitriani, proses deteksi diri anak dengan kebutuhan khusus di usia dini dapat dilihat dari beberapa tanda. Salah satunya memiliki riwayat keterlambatan pada satu atau lebih area perkembangan mereka, baik area perkembangan motorik (kasar dan atau halus), wicara dan bahasa, dan sosial emosi.
“Orang tua perlu mengamati tanda-tanda perkembangan (milestone) yang diharapkan pada 2 tahun pertama perkembangan anak, untuk ketiga area perkembangan (motorik, wicara dan bahasa), serta sosial emosi, ”ucap Vitriani.
Ia pun menjelaskan bahwa pada beberapa anak juga ada yang memiliki faktor risiko, seperti kelahiran prematur, atau riwayat kebutuhan khusus dalam keluarga.
Deteksi dini ABK dimulai sebelum usia 1 tahun
Orang tua, kata Vitriani, perlu mengamati fungsi adaptif anak sesuai usianya, seperti fungsi adaptif anak untuk melakukan tugas-tugas yang diharapkan pada usianya secara mandiri (bina diri), melakukan fungsi sosial (berinteraksi & bermain), atau fungsi belajar (bila anak sudah mulai bersekolah) sehingga deteksi dini alangkah baiknya sesegar mungkin dilakukan.
Hal tersebut juga disampaikan pada kesempatan yang sama oleh Dokter Spesialis Anak Konsultan Tumbuh Kembang, Rini Sekartini.
Ia menjelaskan bahwa orang tua memiliki peran yang paling penting dalam proses deteksi dini ABK.
“Dalam proses deteksi dini, masih banyak anak yang datang dengan keterlambatan. Jadi, program deteksi dini belum optimal. Deteksi dini sangat penting, karena ini peran orang tua mengingat 24 jam x 7 yang paling banyak orang tua di rumah,” ucap Rini.
Rini mengatakan, menurut American Academy of Pediatric, sejak usia 9 bulan sampai satu tahun itu, orang tua harus melakukan deteksi dini pada anak sebulan sekali.
“Menurut American Academy of Pediatric, sejak usia 9 bulan sampai satu tahun itu, orang tua harus melakukan deteksi dini pada anak sebulan sekali dengan memantau dua hal yakni pertumbuhan dan perkembangan anak. Alangkah baiknya, tidak disingkat dengan istilah tumbang, mengingat dua hal tersebut mengandung makna yang penting," terang dia.
Anak usia dini itu, lanjut dia, biasa dimasukkan dalam kelompok anak yang dideteksi dalam tumbuh kembang, sehingga penting bagi para orang tua untuk memantau dengan buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak).
“Pemantauan tumbuh kembang anak di masyarakat dapat dilakukan melalui buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) atau yang disebut buku Pink digunakan kementerian kesehatan, dan ikatan dokter anak Indonesia serta digunakan oleh orang tua. Jangan hanya dibawa saat kontrol saja,” tambah Rini.
Namun, ia juga menjelaskan bahwa setiap anak dalam fase tumbuh kembangnya memiliki ciri khas, sehingga kita tidak bisa menyamaratakan kebutuhan semua anak.
Deteksi anak ABK di masa pandemi
Baik Rini maupun Vitriani menjelaskan bagaimana proses deteksi anak dengan kebutuhan khusus selama masa pandemi yang berlangsung lebih dari satu tahun.
“Hal yang miris itu orang tua saat pandemi takut ke rumah sakit, tapi tidak takut ke mal. Orang tua harus percaya bahwa rumah sakit punya protokol yang ketat sehingga aman untuk pasien dan tenaga kesehatan,” ucap Rini.
Ia pun menekankan bahwa penting sekali melakukan pengecekan dan penilaian perkembangan melalui buku KIA di rumah selama pandemi.
“Untuk memantau perkembangan anak di usia 12-18 bulan dapat dilakukan di buku KIA, apabila menemukan satu yang tidak harus segera konsultasi ke tenaga kesehatan. Sayangnya, di masa pandemi, orang tua banyak menunda pengecekan anak di rumah sakit, dengan keraguan. Orang tua harus sadar usia anak akan bertambah terus. Jadi, kalau tidak segera deteksi, semakin banyak yang tertinggal dalam proses tumbuh kembang anak,” jelas dia.
Bagi Rini, tumbuh kembang anak merupakan proses yang berkesinambungan sehingga penting bagi proses pemantauan berkala bagi tumbuh kembang anak. Apabila ada hal yang bermasalah segera melakukan intervensi tenaga kesehatan, atau terapis.
Selain itu, bagi Psikolog Vitriani, dilema orang tua untuk tidak melakukan terapi di luar rumah selama masa pandemi dapat dipahami.
Namun, yang perlu diingat anak tetap memerlukan penanganan untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya.
https://edukasi.kompas.com/read/2021/06/01/201818871/psikolog-cikal-deteksi-anak-berkebutuhan-khusus-sebelum-usia-2-tahun