Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Gerakan Sekolah Menyenangkan: Penggunaan Anggaran Pendidikan Belum Optimal

KOMPAS.com - Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM) menengarai duduk soal anggaran pendidikan Indonesia bukan hanya soal alokasi melainkan juga dalam optimalisasi penggunaanya.

Hal ini disampaikan Muhammad Nur Rizal, pendiri GSM dalam rapat Bimbingan Teknis Tim Strategis Pendampingan SMK dan GSM, Ditjen Diksi, Balai Besar dan beberapa guru dan kepala sekolah SMK pilihan di Jakarta, 23 Juni 2021.

Murujuk data Indonesia Corruption Watch, Rizal mengemukakan 40- 50 persen anggaran pendidikan menghilang sebelum sampai ke anak.

Ia menilai, anggaran bocor ditengarai salah satu penyebabnya adalah pengelolaan pendidikan yang teknokratis dan cenderung programmatic. Pengelolaan pendidikan seperti ini sangat terikat dengan persoalan administrasi dan anggaran.

"Selain itu, berbagai inisiatif program pendidikan umumnya berasal dari pakar yang bersifat top down menyebabkan sering kehilangan konteks dengan kondisi atau tantangan di lapangan," tegas Rizal.

Di sisi lain, Rizal juga menilai pengelolaan pendidikan selama ini terbukti tidak memberikan hasil belajar yang baik dan berkualitas berdasarkan data PISA dan PIAAC.

“69 persen tingkat literasi penduduk dewasa Jakarta berumur 23-65 tahun berada pada atau di bawah level 1 dari 5 level, alias paling bawah,” ungkap Nur Rizal mengutip data OECD untuk tes PIAAC (Programme for the International Assessment of Adult Competencies).

Data yang sama, tambah Rizal, menunjukkan kemampuan literasi siswa SMA berbasis tes PISA (Programme for International Student Assessment) juga menunjukkan tingkat kemampuan membaca siswa Indonesia sebanyak 70 persen masih berada di kompetensi minimum.

“Artinya, tidak ada kenaikan kemampuan literasi ketika siswa sekolah di SMA dengan ketika telah lulus dari perguruan tinggi. Hal ini mengakibatkan OECD memprediksi bahwa lulusan literasi sarjana kita berada di bawah lulusan SMP di Denmark,” ungkap Nur Rizal.

Prediksi serupa disampaikan professor dari Harvard, Lant Pritchett yang menyatakan Indonesia membutuhkan 128 tahun untuk mengejar ketertinggalannya.

"Data tersebut merefleksikan bahwa Indonesia sedang mengalami kebuntuan dalam reformasi pendidikannya. Belum lagi, banyak guru atau stakeholder di lapangan yang pro status quo dan anti perubahan," ujar Rizal.

Kalaupun ada inisiatif terobosan program baru, Rizal mengatakan periodenya hanya seumur sebesar anggaran yang ada.

“Artinya, persoalan bukan pada alokasi anggaran pendidikan melainkan pada penggunaannya yang belum optimal,” tegasnya.

Sama seperti yang dialami oleh Vietnam yang memiliki 20 persen alokasi budget seperti Indonesia, tetapi Vietnam mampu menghasilkan kemampuan literasi, numerasi, dan saintifik yang jauh di atas Indonesia.

5 Kompas Perubahan

Melihat situasi ini, Nur Rizal menyampaikan perlunya model pengelolaan transformasi pendidikan yang lebih relevan dengan keadaan zaman.

Model yang diperkenalkan oleh GSM dalam acara bimtek tersebut adalah transformative change making. Teori ini bertujuan untuk membentuk aliansi baru yang transformatif untuk memobilisasi sumber daya dalam menyelesaikan reformasi yang terganggu.

Teori ini menekankan pentingnya narasi yang dapat digunakan sebagai instrumen pencipta perubahan. Narasi itu terdiri dari visi atau focal point yang akan diubah, narasi "Kompas Perubahan" GSM dan kisah sukses dari guru-guru setelah mengadopsi GSM.

Focal point yang dituju adalah menjadikan sekolah sebagai ekosistem belajar yang menyenangkan, menuntun kodrat, dan membangun penalaran.

Visi itu diterjemahkan ke dalam "5 Kompas Perubahan", yakni;

  • Perubahan dari budaya feodalistik menuju budaya yang memerdekakan dan memberdayakan,
  • Dari penguasaan materi kurikulum ke penalaran dan analisis,
  • Dari ekosistem kompetisi ke ekosistem kolaborasi dan sharing, 
  • Dari guru yang hanya mengajar ke guru yang memfasilitasi pembelajaran, dan
  • Dari sistem belajar yang seragam ke sistem belajar yang mengembangkan individu.

Sedangkan, kisah sukses seperti adanya sekolah pilot GSM yang sering menjadi rujukan bagi sekolah lain yang ingin bertransformasi serta guru-guru yang selalu aktif berbagi atau bertukar praktik secara mandiri.

Pendekatan akar rumput

“Pendekatan akar rumput ini memungkinkan antar komunitas atau sekolah yang belum mengadopsi GSM akan saling melebur untuk mendefinisikan ulang kepentingan atau prioritas dari sekolahnya masing-masing untuk bersatu, bekerjasama membangun imajinasi akan masa depan yang baru,” jelas Nur Rizal tentang teori tersebut.

Rizal optimis, masa depan baru itu yang akan menjaga spirit untuk beraliansi menuju visi baru, yakni sekolah menyenangkan yang menuntun kodrat dan membangun penalaran.

Namun, Rizal menegaskan, narasi perlu diterjemahkan menjadi tindakan. Maka, diperlukan desain aksi yang mudah dan terukur.

Rizal menjelaskan, "dalam teori tersebut dikenal dengan aksi katalitik. Aksi katalitik ini diterjemahkan dalam bentuk program pendampingan yang memastikan bahwa perubahan mindset akan visi pendidikan yang baru diikuti oleh perubahan perilaku di sekolah hingga mencapai sistem keyakinan diri setiap pelaku pendidikan."

“Agar proses aksi katalitik ini dapat membudaya dan terinstitusionalisasi di sekolah hingga kementerian, perubahan dilakukan dengan landasan teori tahapan perubahan John Kotter.” terang Nur Rizal.

Harapannya, pendampingan ini akan membantu pengelolaan pendidikan menjadi lebih efisien dan efektif sehingga menyelesaikan persoalan separuh anggaran yang tidak sampai ke anak menurut ICW.

https://edukasi.kompas.com/read/2021/06/24/204327671/gerakan-sekolah-menyenangkan-penggunaan-anggaran-pendidikan-belum-optimal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke